[LN] Yome ni Uwaki Saretara, Daigaku Jidai ni Modotte Kimashita! - Vol 1 - Bab 6

Bab 6 -  Aku Benar-benar Berharap Kalau Keluar dari Suatu Kelompok itu Tidak Berarti Harus Terus Terbebani Oleh Ikatan-ikatan dalam Hubungan

“Senang bertemu denganmu, Kanahisa Tokiwa-kun. Aku Misaki Isumi, mahasiswa tahun pertama dari Sekolah Budaya Modern, Fakultas Sastra.”

Di bawah sinar bulan, Miran tersenyum dengan pesona menggoda—ia hampir tampak seperti dewi. 

Tapi intuisi dalam diriku berkata bahwa semua itu hanyalah kedok belaka.

“Jadi, apa yang sebenarnya kamu ingin aku lakukan? Tolong katakan saja langsung.”

“Wah, wah. Meskipun ini terdengar egois… apa kamu tidak tertarik menikmati obrolan bersama gadis secantik aku?”

“Kalau kamu tadi melihat keributan sebelumnya, harusnya kamu mengerti, kan? Aku sudah cukup bersenang-senang hari ini.”

Hari ini aku sudah merasakan seperti apa rasanya dikelilingi para gadis. 

Pada titik ini, aku tidak punya niat untuk pura-pura menikmati obrolan hanya karena lawan bicaraku cantik. 

Aku justru lebih penasaran dengan tujuan asli kedatangan gadis ini—bukan sesuatu yang sementara dan sepele seperti sebelumnya, tapi sesuatu yang mungkin bisa aku tanggapi dengan lebih serius.

“Oh, begitu? Tapi aku belum sempat ngobrol banyak denganmu, tahu?”

Biasanya, gadis yang menggunakan kata ganti laki-laki seperti boku akan terkesan aneh. Tapi pada Miran, hal itu justru terasa pas. 

Gayanya keren, tanpa harus menunjukkan sisi menyebalkan yang kadang muncul pada laki-laki. 

Semuanya pas dengannya.

“Tapi permintaan yang mau kamu sampaikan… bukankah itu sesuatu yang cukup mendesak? Aku salah? Pasti cukup penting sampai-sampai gadis secantik kamu mau memulai pembicaraan lebih dulu dengan seorang laki-laki, bukan?”

Aku belajar dari istriku bahwa biasanya perempuan tidak akan langsung meminta sesuatu dari laki-laki. 

Mereka akan memberi sinyal atau bertingkah agar laki-lakinya menyadari sendiri dan bergerak. 

Tapi gadis ini berbicara langsung kepadaku. Itu sudah jadi tanda jelas bahwa yang sedang dia hadapi bukanlah masalah biasa.

“Haa~… sepertinya sudah ketebak, ya. Yah, aku juga gak bisa banyak akal di hadapan orang yang bisa membaca situasi sebaik kamu. Pada akhirnya, di depan seorang raja sepertimu, yang bisa kulakukan hanya menjadi badut istana.”

“Raja? Aku?”

“Benar sekali. Kamu adalah seorang raja. Kamu mengalahkan orang yang telah menyusahkan semua orang dan duduk di atas takhta. Rasanya seperti dongeng. Aku sangat menikmati melihatnya. Itu pertunjukan yang hebat Fufufu.”

Miran tertawa kecil dengan manis. 

Disebut sebagai ‘raja’ tidak membuatku merasa buruk. 

Tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. 

Karena aku tahu ada raja lain yang jauh lebih besar. Seseorang yang telah merebut orang penting dariku dan menghancurkan hidupku.

“Permintaannya sederhana. Aku ingin kamu membantuku lolos seleksi masuk klub yang ingin kuikuti. Tidak ada orang lain yang memenuhi syarat seperti kamu.”

Wah, akhirnya muncul juga topik yang menarik. 

Seleksi masuk klub, ya. Aku tahu klub tenis sering punya seleksi berdasarkan penampilan, dan klub sosial biasanya menilai kemampuan komunikasi. 

Tapi aku juga pernah dengar bahwa ada klub-klub budaya yang mengadakan seleksi ketat untuk mencari anggota terbaik.

“Syarat? Klub apa ini sebenarnya?”

“Syaratnya simpel! Wajah, tinggi badan, dan kemampuan akting! Klub yang ingin aku masuki adalah kelompok teater antaruniversitas! Dan ini adalah tes masuknya! Aku butuh pasangan untuk itu!”

“Teater?”

Klub teater… dunia yang sama sekali belum pernah aku masuki. 

Aku tahu mereka biasanya tampil saat festival budaya dan sejenisnya. 

Di kehidupanku yang dulu, aku bahkan pernah dipaksa membeli tiket pertunjukannya.

“Benar! Teater! Biasanya mereka mengadakan audisi individu, tapi tahun ini, pemimpin kelompok teater—yang juga merangkap sebagai sutradara—adalah orang yang cukup nyentrik. Jadi, dia memutuskan kalau audisinya harus dilakukan berpasangan.”

“Tunggu sebentar. Kalau kita lolos, bukankah itu berarti aku juga harus masuk klubnya?”

“Enggak, bukan begitu. Dan di sinilah letak kerumitannya. Kali ini, meskipun tesnya berpasangan, salah satu dari dua orang itu haruslah seseorang yang dekat dengan peserta, tapi tidak berniat masuk klub. Itu syarat yang aneh.”

“Kenapa begitu? Aneh sekali. Yang satu jadi tidak dapat apa-apa.”

“Menurut pemimpin kelompok tahun ini, seorang aktor harus punya minimal satu atau dua orang yang bersedia membantunya tanpa pamrih. Dan kalau dia bilangnya begitu, ya mau bagaimana lagi. Dunia seni pertunjukan memang tentang menarik perhatian orang. Kalau kamu bahkan gak bisa bikin temanmu sendiri membantumu, berarti kamu gak cocok di dunia ini.”

“Wah, cara berpikirmu cukup ketat. Kamu benar-benar punya hasrat besar soal ini. Hebat juga. Aku mengerti syarat-syaratnya. Soal wajah, ya masuk akal sih. Semakin bagus, semakin baik. Tapi soal tinggi badan?”

“Aku tingginya 171 cm. Dan ternyata, adegan seleksi yang harus kami mainkan adalah saat pria dan wanita saling jatuh cinta. Jadi, pasanganku jelas harus lebih tinggi dariku. Selain itu, aku berencana memakai sepatu hak tinggi supaya siluetnya kelihatan bagus. Jadi tinggi badan makin penting. Kamu tingginya sekitar 180 cm kan?”

“Ya, tinggiku tepatnya 183,1 cm.”

Satu-satunya hal yang bisa kubanggakan dibanding bajingan yang selingkuh dengan istriku dulu, hanyalah soal tinggi badan. 

Kata Mashiba di dunia sebelumnya, si bajingan Hagiri itu ngaku-ngaku tingginya 180 cm, padahal aslinya cuma 179,9 cm. 

Aku ngerti sih, cowok suka lebih-lebihin tinggi badan 0,1 cm, tapi tetap aja bohong itu salah.

“Wah, sempurna! Dengan tinggi segitu nggak bakal ada masalah! Bahkan kalau aku pakai hak tinggi pun kamu tetap bakal kelihatan cocok di sampingku!”

“Senang dengarnya. Tapi aku gak bisa akting atau hal-hal seperti itu.”

“Itu nggak penting sama sekali! Yang aku mau itu adalah caramu waktu siang tadi! Cara kamu pamer, mengelabui orang, memikat dengan karisma! Kemampuan itulah yang aku butuhin!”

Tatapan Miran terlihat bersinar penuh semangat. 

Mendengar dia berkata begitu setelah melihat bagaimana aku bertindak tadi siang, rasanya ada sesuatu dalam diriku yang ikut terpanggil. 

Miran sama sekali tidak mengecewakanku.

“Dari semua yang kamu bilang, aku jadi sulit untuk menolak. Tapi izinkan aku bertanya satu hal. Ada banyak orang lain yang juga tinggi dan punya wajah bagus. Kalau kamu, dengan penampilan secantik ini, minta tolong pada mereka, aku yakin mereka pasti mau membantu, kan?”

Begitu aku mengajukan pertanyaan itu, ekspresi Miran langsung berubah agak murung. 

Sepertinya memang ada sesuatu yang cukup serius.

“Pertama-tama, kalau aku minta tolong ke orang lain, aku takut mereka akan punya maksud tersembunyi. Terus terang saja, aku cukup percaya diri dengan penampilanku. Aku tahu, buat kebanyakan pria, aku ini seseorang yang bisa memicu keinginan mereka.”

“Menurutku, memanfaatkan hasrat pria itu adalah salah satu hak istimewa perempuan.”

Begitulah dinamika antara pria dan wanita. 

Wanita menggunakan pesonanya untuk membuat pria melakukan sesuatu. Dan pria pun biasanya berharap imbalan. 

Situasi seperti itu sudah biasa. Pada akhirnya, cukup dengan mengucapkan ‘terima kasih’, perempuan bisa pergi begitu saja.

Tapi orang seperti itu tidak akan pernah bisa menyentuh hati penonton dengan aktingnya! Dunia teater adalah tentang menyampaikan kebohongan yang indah kepada penonton! Tapi aktor tidak boleh berbohong pada hasratnya sendiri untuk berakting! Aku tidak akan membiarkan siapa pun ikut pertunjukan hanya karena suka dengan penampilanku!

Aku terkesan. Dia punya prinsip yang kuat. 

Kupikir, gadis ini pasti seseorang yang tulus. Tapi, di dunia sebelumnya aku tidak pernah melihatnya di televisi. 

Aku juga tidak ingat pernah mendengar namanya di dunia teater. Itu berarti dia tidak pernah benar-benar sukses sebagai aktris, atau mungkin dia menyerah di tengah jalan.

“Tadi kamu dikelilingi banyak cewek, tapi kamu nggak membawa mereka pergi, kan? Dua cewek yang ada di sampingmu jelas-jelas terpesona oleh karismamu. Kalau kamu mau, kamu pasti bisa saja menggandeng keduanya dan pulang bertiga. Tapi kamu nggak melakukannya. Dalam hatimu, kamu orang yang serius, ya? Meski bersenang-senang, kamu tahu batasannya. Orang seperti itu yang bisa kupercaya. Seseorang yang bisa mengendalikan dirinya sendiri, bisa memberi penampilan yang hebat di atas panggung.”

Tapi kenyataannya aku hanya memang tidak tertarik melakukan hal seperti itu. 

Miran terlalu melebih-lebihkanku. Memang benar, aku ingin tahu rasanya bersenang-senang dan berpesta. 

Tapi alasan kenapa waktu itu aku mengambil alih suasana dari pria tadi, adalah karena aku kesal dilihat rendah oleh perempuan-perempuan itu. 

Aku hanya ingin mereka terobsesi padaku. Tak lebih.

Sekarang aku mengerti. 

Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku juga bisa menjadi pria yang diinginkan oleh wanita selain istriku. 

Pria yang bukan raja tidak akan pernah dipandang oleh wanita. 

Dulu aku hanya seorang pegawai biasa. Sekadar roda penggerak dalam sistem, budak kerja. 

Sedangkan pria yang merebut istriku adalah seorang presiden perusahaan, seseorang yang menggerakkan masyarakat, seorang raja yang bisa memperbudak orang sesukanya. 

Kalau kamu bukan seorang raja, kamu tak akan bisa selamanya mempertahankan wanita yang kamu cintai.

“Aku mengerti. Aku cukup yakin sekarang kenapa kamu memilihku. Tapi, ada satu hal lagi, kan? Semua keributan yang terjadi hari ini mungkin memang kebetulan. Tapi Miran, apa benar kebetulan juga kalau kamu melihat semuanya? Hari ini kamu terus mengawasiku, bukan?”

Sejak awal, ada sesuatu dalam kata-kata Miran yang membuatku merasa tak nyaman. Rasanya dia terlalu memperhatikanku. 

Apa benar dia kebetulan menyaksikan semua kejadian itu lalu tiba-tiba memutuskan untuk bicara padaku? 

Bukankah lebih masuk akal jika dia sudah mengawasiku dari awal, mencari momen yang tepat untuk mendekat? 

Atau bahkan menilai apakah aku memenuhi semua syarat yang dia butuhkan?

“Ya, kamu benar. Aku tidak akan bohong padamu, jadi akan kuakui: aku memang sudah memperhatikanmu sejak tadi. Untuk bisa lulus seleksi klub teater, aku harus benar-benar yakin dengan kemampuanmu. Dan lagi… ada satu hal lagi... Kamu dan Sorata Hagiri tidak akur, kan? Kalau kamu bukan orang seperti itu, aku yang akan dalam masalah besar.”

“Hagiri...?”

Begitu mendengar nama itu, aku tak bisa menahan ekspresiku yang langsung berubah muram, menatap Miran dengan tajam.

“..........”

Miran menyusut sedikit, tampak terkejut. Sepertinya aku membuatnya takut.

“Ah, maaf. Apa aku menakutimu? Seperti yang sudah kamu tahu, aku benci orang itu. Tapi, apa hubungannya semua ini?”

“...uh...ah...n...nnh...”

Entah kenapa, Miran mulai menggeliat pelan, menunduk, dan pipinya tampak sedikit memerah. Masih takutkah dia?

“Oy? Kamu kenapa? Dengar nggak?”

Saat ia mendongak, mata merahnya terlihat sedikit basah. 

Wajahnya tampak sangat menggoda. Tapi... apa ini berarti dia menangis karena ketakutan? 

Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi orang yang ketakutan atau akan menangis. 

Jadi... apa sebenarnya reaksi ini?

“...Eh? Ah! Maaf! Tadi aku melamun. Yah, sebenarnya aku dulu pernah jadi anggota grup Hagiri. Kelompok yang sering diejek dengan sebutan ‘OSIS’ itu. Aku dulu salah satu anggotanya.”

“Haah? Grup boneka-boneka tanpa otak itu?”

“Iya, yang itu. Dia mengajakku saat upacara penerimaan siswa baru. Kupikir bisa saja dapat untung kalau bergabung... tapi ternyata aku nggak bisa mengikuti cara mereka, jadi keluar.”

Suasana mendadak jadi lebih suram. 

Dan di luar itu semua, bayangan si brengsek itu terus muncul di mana-mana, membuatku merasa betapa tidak adilnya dunia ini.

Tampaknya keberadaan Sorata Hagiri adalah sesuatu yang tak bisa kuabaikan, bahkan kalaupun aku melupakan masalah soal istriku. 

Di dunia sebelumnya, pria itu muncul di hadapanku setelah perselingkuhan istriku terungkap. 

Karena itulah, bayangan Hagiri di mataku adalah seseorang yang sombong, percaya diri berlebihan, dan bajingan yang merebut istriku.

Setelah perselingkuhannya terbongkar, istriku mulai benar-benar mengabaikannya. 

Ia tak menatapnya, tak bicara padanya. Karena itu, aku tidak pernah tahu pasti bagaimana perasaan istriku terhadapnya sebenarnya. 

Tapi yah... dengan hanya fakta bahwa dia berselingkuh saja, jawaban itu sebenarnya sudah jelas, bukan?

Yang pasti, Hagiri itu memang bajingan. Presiden startup, kaya raya, tampan, dan populer. 

Sebagai filantropis, dia dikenal luas oleh masyarakat. Seorang selebriti. Bisa dibilang dia adalah puncaknya pria ‘tipe populer’. 

Tapi... bagaimana dengan dia di dunia ini? Aku belum tahu.

Di dunia sebelumnya, dia benar-benar terobsesi pada istriku. 

Sepertinya tujuannya adalah memisahkan kami dan kemudian menikahinya. 

Apa dia masih seperti itu di dunia ini? Aku tidak tahu... belum tahu.

“Miran, kamu pernah jadi bagian dari kelompok itu, kan? Menurutmu, gimana orang seperti Hagiri?”

Begitu aku bertanya, ekspresi Miran langsung berubah kelam. 

Wajahnya jelas menunjukkan rasa jijik dan takut bersamaan.

“Dia itu monster. Nggak ada cara lain buat mendeskripsikannya. Awalnya aku kira dia cuma pemimpin ambisius biasa yang terobsesi sama efisiensi. Tapi ternyata bukan. Dia benar-benar monster.”

Monster. Kalau dilihat dari sisi kemampuannya, ya, memang masuk akal. 

Dia mulai bisnis dari usia muda dan bisa jadi miliarder. Namanya mudah ditemukan dari atas kalau kamu lihat daftar orang terkaya. 

Bisa dibilang dia pahlawan yang sukses karena usahanya sendiri. Dia juga rajin berdonasi, makanya dihormati banyak orang.

Tapi setelah perselingkuhan itu ketahuan, semua kata-katanya ke aku jadi kayak racun. 

Kayak cowok menyedihkan yang nggak tahu malu. 

Dia bilang istriku adalah miliknya, bahwa dia-lah yang pantas bersamanya, dan dia terus mengulang-ulang itu. 

Aku, aku, aku. Istri, istri, istri, istri. Berapa kali dia bilang begitu?

Meski sudah punya segalanya — uang, status, ketenaran — dia tetap terobsesi secara nggak sehat sama hubungannya dengan istriku. Jijik banget rasanya.

“Kelompok itu... jujur aja, kacau. Itu seperti kerajaan yang dibentuk oleh monster bernama Hagiri. Rajanya ya Hagiri, dan sisanya cuma budak. Begitulah aku melihatnya.”

“Nggak kedengeran damai sama sekali. Sampai disebut budak segala...”

Apa istriku juga termasuk salah satu dari budak itu? Aku nggak tahu. 

Informasi soal dia di dunia ini masih terbatas. Klub tempat dia ikut, komunitas yang dia ikuti, hal-hal semacam itu. 

Termasuk mantan-mantan pacarnya yang sebenarnya nggak pengin aku tahu, tapi akhirnya aku ketahui juga. Dan itu aja udah cukup bikin aku muak.

“Mereka itu cuma boneka. Budak semua. Isinya orang-orang bego yang cuma mau numpang hidup dari sisa-sisa kekuasaan Hagiri. Aku bener-bener muak. Aku sampai mikir, ‘Masa iya mahasiswa bisa sebodoh itu?’”

Miran menghela napas, jelas jijik. Dan itu hanya dari mengingatnya saja. Pastilah pengalamannya sangat buruk. 

Tapi aku tetap harus bertanya. Aku sendiri sekarang sudah masuk dalam radar Hagiri. Perasaanku nggak enak... seolah-olah dia bakal merebut sesuatu lagi dariku.

“Ugh... bahkan cuma mengingatnya aja bikin aku mual. Mereka benar-benar tolol. Masa kuliah itu harusnya jadi masa transisi. Tapi kebanyakan orang malah cuma cari minuman keras, seks, popularitas, dan uang.”

“Sayangnya... itu memang kenyataan. Aku nggak suka, tapi harus kuakui, mahasiswa memang nggak nyari yang lebih dari itu. Aku juga nggak bisa bilang aku berbeda.”

“Meskipun begitu, tetap saja ada batasnya. Tapi kelompok itu sudah kelewatan. Hagiri membangun sebuah sistem yang benar-benar menjijikkan. Bisa dibilang, semacam mesin keinginan yang terus berjalan, digerakkan oleh boneka-boneka cantik hanya dari luarnya saja.”

Miran memang cocok menggunakan perumpamaan puitis seperti itu. 

Tapi yang aku ingin tahu adalah isi konkret dari semuanya. 

Mungkin sebenarnya dia ingin menceritakan semuanya, tapi di sisi lain, dia juga merasa malu karena pernah menjadi bagian dari kelompok itu.

“Miran, kamu sudah nggak jadi bagian dari mereka lagi, kan? Jadi aku nggak akan menyamakanmu dengan Hagiri. Aku nggak menganggap kamu kaki tangannya.

Miran tersenyum tipis, sedikit sinis, tapi dari wajahnya terlihat bahwa dia agak lega.

“Makasih. Kedengarannya seperti alasan, tapi aku benar-benar nggak pernah ikut campur dalam hal-hal kotor yang mereka lakukan. Aku pengin kamu percaya itu.”

“Aku percaya. Makanya, ceritain semuanya ke aku.”

“Makasih. Jadi, ‘Dewan Mahasiswa’ itu sebenarnya semacam klub campuran — antara grup pesta mahasiswa dan jaringan kencan terselubung. Di Universitas Koto, ada banyak klub yang pakai nama besar kampus itu buat menarik perhatian cewek-cewek dari kampus lain atau kampus khusus perempuan. Tapi itu masih bisa dimaklumi, dan sudah jadi bagian dari budaya kampus. Kalau dipikir-pikir, cowok-cowok dari Koto dan cewek-cewek dari luar bisa saling dapat untung lewat interaksi di klub semacam itu. Tapi yang bikin Hagiri berbahaya adalah dia bawa semuanya jauh lebih ekstrim.”

“Dia ngumpulin cewek-cewek paling cantik di Koto dan juga yang manis-manis dari kampus lain... dan, terus terang aja, dia ‘bawa mereka seperti barang dagangan’.”

Memang sih, normal kalau klub antarkampus dijadikan tempat cari kenalan atau relasi. Nggak ada yang salah dari itu. 

Tapi kalau dipikir lebih jauh, sebenarnya semua itu cuma pertukaran antara status pria sebagai mahasiswa kampus elite dan janji masa depan dengan penghasilan tinggi, dengan daya tarik dan kemudaan si wanita. Kedengarannya agak kasar, tapi itulah kenyataannya.

“Dan alih-alih mengenalkan para cewek itu ke mahasiswa Universitas Koto, dia malah hubungkan mereka dengan para orang kaya yang tinggal di apartemen-apartemen mewah pencakar langit.”

“Apa? Serius? Jadi Hagiri punya koneksi ke kalangan orang kaya?”

“Kelihatannya begitu. Dan jaringan koneksi dia itu benar-benar dalam banget. Setelah upacara penyambutan mahasiswa baru, tempat pertama yang dia bawa kami bukanlah ‘lokasi dekat kampus’, itu bohong total. Dia malah bawa kami ke sebuah menara di Roppongi. Lantai VIP di bagian atas gedung, semuanya sudah dia pesan. Kami semua langsung terpukau. Di situlah dia benar-benar naik tahta jadi ‘raja’. Lantai itu milik seorang konglomerat, yang katanya sangat menyayangi Hagiri. Orang itu bahkan ngasih mobilnya, nyerahin kunci apartemennya... bisa dibilang dia benar-benar memanjakan Hagiri. Dan lewat orang itulah, Hagiri mulai memperkenalkan mahasiswi-mahasiswi muda dan cantik ke para anak muda miliarder. Semacam... mucikari.”

“Ha... ha... mucikari? Astaga... ceritamu ini makin nggak masuk akal.”

Apa mungkin istriku juga pernah terlibat dalam urusan seperti itu? 

Kalau iya, mungkin itu menjelaskan kenapa hubungan antara Hagiri dan dia hanya bertahan kurang dari setahun.

“Iya, beneran menjijikkan sih untuk para cewek. Tapi bukan berarti dia maksa atau ngancam cewek-cewek itu. Mereka juga bisa menikmati waktu bersama pria kaya dan sukses, walaupun cuma semalam, atau bahkan sebagai simpanan aja. Mungkin mereka sendiri ngerasa itu menyenangkan. Kalau mereka nggak punya kelebihan lain selain usia muda dan penampilan... ya, itu aja yang bisa mereka jual.”

“Yang kamu bilang itu... cukup kejam juga ya.”

“Aku nggak mau disamakan sama mereka. Aku beda. Makanya aku keluar dari sana. Tapi tahu nggak, peran yang Hagiri minta dariku bukan sebagai ‘persembahan’ buat para miliarder itu. Dia malah minta aku jadi asistennya, dan penjaga pribadi untuk ‘putri’ di kelompok itu.”

“Asisten pribadi? Maksudmu, Hagiri minta kamu jadi simpanannya?”

“Nggak, sama sekali nggak. Mungkin ini bakal bikin kamu heran, tapi dia nggak pernah minta hal semacam itu ke cewek-cewek di kelompoknya.”

“‘Putri’...?”

“Itu tentang Igarashi-san. Dia benar-benar memperlakukan Igarashi-san dengan sangat hormat. Dia pastiin banget supaya Igarashi-san nggak terlibat dalam urusan kotor kelompok itu. Tapi ya, dia memang sering bawa-bawa Igarashi-san ke sana ke mari. Aku juga pernah dibawa, jadi aku tahu persis. Di kalangan orang kaya, ada yang benar-benar punya kuasa. Kalau kami makan malam bareng mereka, biasanya aku dan Igarashi-san dibawa. Kami semacam... aksesori. Kayak unjuk gigi, semacam cara buat pamer bahwa mereka bisa ‘membawa’ cewek secantik itu.”

“Orang-orang kaya beneran itu sangat peka membaca hal-hal semacam itu. Hagiri memanfaatkan kecantikan Igarashi-san sebagai alat untuk menutup kesepakatan bisnis.”

Aku jadi ingat makan malam terakhir bareng produser stasiun TV. Membawa istriku ke tempat-tempat murahan... betapa rendahnya.

“Jenis bisnis macam apa yang dibicarakan waktu itu?”

“Itu adalah kesepakatan agar ketika dia memulai perusahaannya sendiri nanti, dia bisa mendapat pendanaan. Pihak satunya terlihat benar-benar serius. Sepertinya dia punya ide bisnis. Tapi tentu saja, dia nggak pernah cerita detailnya ke aku.”

Di masa depan, dia pasti akan memulai perusahaan dan berhasil. Tapi aku nggak tahu pasti di bidang apa. Yang aku tahu cuma dia kaya. Itu saja yang aku tahu tentang profilnya. 

Dan katanya dia juga pernah cukup terkenal di televisi saat masih kuliah.

Hagiri pernah ngajak aku tampil di TV bareng dia. Entah gimana, di kelompok itu, aku semacam jadi favorit kedua setelah Igarashi-san. Tapi setelah aku tanpa sengaja mengetahui bisnis-bisnis gelap mereka, dan juga tahu beberapa skandal pribadi Hagiri, aku takut dan langsung kabur dari grup itu.”

“Tunggu, dia punya skandal? Tentang apa?”

Dari sudut pandangku, saat itu, Hagiri memang kelihatan agak kasar, tapi tetap saja tampak seperti pria yang sempurna. 

Kalau nggak melibatkan istriku, aku rasa aku nggak punya peluang untuk menang lawan dia. 

Tapi kalau dia sampai terbawa emosi karena istriku, maka setidaknya aku masih bisa melawan.

“Gak apa-apa kalau kamu mau cerita ini ke orang lain. Tapi tolong, jangan bilang bahwa aku yang ngasih tahu. Soalnya Hagiri mungkin nggak tahu kalau aku tahu rahasianya.”

“Aku janji, gak akan bilang.”

“Walaupun skandal ini jadi rumor, kurasa orang-orang juga nggak akan percaya... Jadi begini, aku itu dulunya ronin. Tahun lalu aku pindah ke Tokyo, sambil ikut bimbingan belajar, aku juga kerja sebagai penari di klub-klub dan berbagai event di Tokyo. Aku ngelakuin itu buat ningkatin skill di bidang hiburan. Nah, sekitar musim dingin tahun lalu, mendekati Natal, aku baru pulang dari nge-dance di sebuah klub di Shibuya. Aku lewat depan sebuah love hotel di daerah Dogenzaka. Di situ aku lihat sepasang mahasiswa sedang bertengkar. Mereka berdua cakep banget, jadi aku ingat wajah mereka dengan jelas. Beberapa waktu kemudian, aku ketemu Hagiri, dan aku sadar bahwa cowok yang aku lihat saat itu adalah dia. Cewek yang sama dia waktu itu... Eh? Kenapa kamu nutup kuping?”

Wanita yang bersamanya waktu itu... gak mungkin orang lain selain istriku! Jangan main-main!

Bukannya mereka baru mulai pacaran setelah Golden Week!? Harusnya hubungan mereka baru resmi setelah itu, tapi mereka udah berhubungan badan sebelum itu!? Ini dunia manga erotis atau gimana sih!?

Jangan gila-gilaan begini!

“Eh... percakapannya belum selesai, lho.”

“Nggak perlu lanjut. Aku udah tahu. Cewek yang sama dia waktu itu... cuma bisa satu orang.”

Semakin lama, aku merasa semua ini tidak masuk akal. 

Jika mereka sudah memiliki hubungan fisik sebelum masuk universitas, berarti obsesi itu pasti besar. 

Ikatan antara pria dan wanita yang menghabiskan masa muda bersama tentu tidak mudah putus. Aku tidak ingin mendengar lebih jauh lagi.

“Kamu membayangkan kalau wanita itu adalah Igarashi-san, kan? Tapi bukan. Bukan dia. Aku masih ingat jelas wajah wanita yang bersama dia waktu itu. Dia bukan bagian dari ‘Dewan Mahasiswa’, jadi mungkin berasal dari universitas lain. Kurasa hubungan mereka masih berlanjut. Soalnya Hagiri hampir tidak menunjukkan hasrat seksual terhadap perempuan. Bahkan dengan Igarashi-san, hanya sesekali terlihat. Jadi mungkin dia melampiaskan nafsunya lewat wanita itu... itu hanya firasatku.”

Aku sadar kalau aku merasa lega wanita yang bertengkar dengan Hagiri di depan love hotel itu bukan istriku

Tapi yang muncul sesudahnya adalah rasa malu, kehinaan, dan yang paling besar—frustrasi. 

Hatiku masih hancur, masih terikat oleh pria itu dan istriku. Meskipun waktu dunia ini mundur, hatiku tidak kembali seperti semula.

“Buatku, ini jelas skandal. Dan mengenai hal ini, Igarashi tidak boleh tahu, dalam keadaan apa pun.”

“Benar. Igarashi-san memang kelihatan tenang, tapi sekuat apa pun dia, kalau tahu teman masa kecilnya punya hubungan fisik dengan wanita lain, dia tidak akan bisa bersikap sedingin itu. Lagipula, dia pasti ingin menyembunyikan hal itu. Karena pasangan yang sebenarnya bagi dia adalah Igarashi-san.”

Pasangan sebenarnya, pasangan sebenarnya... Lagipula dia bahkan menuntut cerai dariku. Dia benar-benar serius. 

Mungkinkah istriku di dunia sebelumnya menjauhi Hagiri karena skandal ini jadi pemicu awal perpisahan mereka?

Lalu, seiring waktu, dia menikah denganku, bosan, dan karena kenangan masa lalu, dia selingkuh lagi dengan Hagiri. 

Membuat Hagiri kembali terobsesi, lalu diputuskan kembali. 

Itu bisa menjelaskan kenapa dia tidak berbicara lagi dengannya setelah perselingkuhan itu terungkap.

Semuanya mulai masuk akal.

Ketika aku mulai mendekati kebenaran di balik perselingkuhan yang dulu menjadi misteri di dunia sebelumnya, aku merasakan semacam kelegaan aneh. 

Dan skandal ini bisa jadi kartu yang kupegang. 

Saat aku harus menghadapi dia, ini akan menjadi senjata penting. Bibirku secara alami tertarik membentuk senyum puas.

Miran melihat wajahku yang mulai tenang dan ikut tersenyum tipis.

“Kalau kamu bisa tersenyum menanggapi hal-hal kelam seperti itu, berarti kamu bisa dipercaya. Sekarang aku mengerti kenapa Himewa-san dan Koyo-san menyukaimu.”

“Jadi aku ini punya sedikit pesona, ya? Aku merasa terhormat mendapat pujian darimu. Tapi ada satu hal yang menggangguku. Apa saja kesulitan yang kamu hadapi setelah keluar dari kelompok itu?”

“Ya... itu dia masalahnya. Haa, manusia... kenapa bisa begini ya...? Haa~...”

Miran menghela napas dan memasang ekspresi lelah. Melihatnya seperti itu, aku merasa sedikit iba—mungkin ini empati. 

Aku juga korban dari pria itu, dan gadis ini pun begitu. Aku merasakan semacam keterikatan dengannya.

“Kau sedang diganggu oleh Hagiri?”

“Tidak, bukan begitu. Pria itu punya pemikiran bisnis yang sangat tajam. Dia tidak punya waktu untuk menghabiskan tenaganya pada orang yang sudah keluar. Grup itu lebih mirip perusahaan daripada mafia. Kecuali itu perusahaan dengan sistem kerja yang sangat buruk, biasanya mereka tidak akan mengejar orang yang sudah pergi, kan?”

“Itu benar. Kalau mereka memprioritaskan bisnis, mereka takkan mengejar yang sudah pergi, kecuali kalau ada rahasia yang bocor.”

“Betul. Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang masih bertahan di sana? Grup itu, bisa dibilang, adalah salah satu kelompok paling bergengsi di universitas ini. Hanya dengan menjadi bagian darinya saja sudah cukup untuk dibanggakan. Mereka pasti menganggapku sebagai pengkhianat yang meninggalkan atasannya meski sudah diberi banyak perhatian. Karena itu, semua orang—kecuali Hagiri—sangat menyebalkan. Terutama para perempuan. Misalnya, waktu aku mencoba bergabung dengan klub teater kampus, mereka menolakku secara halus. ‘Dewan Mahasiswa’ juga merekrut mahasiswa tingkat atas.”

“Eh? Pengaruhnya sebesar itu!?”

“Tentu saja. Meskipun masih ada tempat-tempat seperti klub dansa yang menentang ‘Dewan Mahasiswa’ dan mau menerimaku. Tapi di mana pun aku berada, bayang-bayang dari ‘Dewan Mahasiswa’ selalu ada. Aku bahkan tidak bisa berteman dengan orang-orang dari fakultasku sendiri. Semua orang takut dibenci oleh ‘Dewan Mahasiswa’. Anggota ‘Dewan Mahasiswa’ itu berada di puncak hierarki sosial. Kalau kau disukai, kau bisa menikmati kehidupan kampus yang menyenangkan. Tapi kalau tidak, ya nasibmu seperti aku: sendirian. Untuk sekarang, aku masih dilindungi oleh Keikai-senpai, tapi dia juga akan lulus suatu saat nanti. Menjalani kehidupan mahasiswa yang menyenangkan itu susah. Aku bahkan tidak bisa ikut pertemuan fakultas, mereka menolakku. Haha... haha...”

Tawa kering yang hampa itu terasa begitu menyedihkan. Gadis ini memang populer, tapi kehidupannya sehari-hari tidak semanis itu. 

Mungkin dia punya banyak pengagum di dalam maupun di luar kampus, tapi mereka hanya mengaguminya dari jauh tanpa benar-benar terlibat. 

Dia diperlakukan seperti panda di kebun binatang—orang senang melihatnya, tapi tidak ada yang benar-benar mau makan siang atau jalan-jalan bersamanya. 

Kehidupan pribadinya benar-benar hancur. 

Keinginannya untuk bergabung ke klub teater lintas universitas mungkin karena ingin lepas dari ikatan kampus. 

Dia populer, tapi kesepian. Itu menyedihkan sampai-sampai aku tidak bisa berpaling darinya.

“Aku juga termasuk tipe cowok pemalu yang baru mulai membuka diri sejak masuk universitas, jadi aku tahu rasanya menjalani hidup sebagai penyendiri. Biar aku bantu kau.”

"Terima kasih. Kau benar-benar membantuku... Terima kasih, sungguh, terima kasih!"

Aku memutuskan untuk membantu Miran. Aku tidak bisa membiarkan seseorang yang begitu menyedihkan tetap seperti ini. 

Memang biasa kalau orang yang keluar dari suatu kelompok sosial mulai menjauh dari yang lain, tapi tetap saja ada batasnya. 

Aku tidak bisa pura-pura tidak melihat hal seperti ini. Kalau aku memilih menjauh dari situasi Miran sekarang, aku akan terus melarikan diri dari segala hal. 

Itu bukanlah dunia yang mencerminkan masa muda yang cerah. Aku membuat keputusan dengan teguh.

“Eh, kalian berdua—sudah sampai pada kesimpulan?”

Sebuah suara terdengar dari atas. 

Dari jendela asrama laki-laki, Keikai-senpai menyembulkan kepalanya. Kirin-san berdiri menempel di belakangnya. 

Aku tidak akan bertanya soal penampilan mereka, meskipun Miran, di sisi lain, langsung memerah karena betapa intimnya mereka terlihat. Sejujurnya, aku juga merasa agak canggung.

“Jadi ini alasan kenapa kau memanggilku ke sini hari ini, Keikai-senpai.”

“Jangan salah paham! Aku cuma mau ngajak kalian makan pizza, itu saja! Biar alasan itu tetap berlaku, hahahaha!”

Yah, sebenarnya dia memanggilku hanya untuk kemudian langsung mengurung diri dengan seorang gadis di kamar... jadi persiapannya memang terkesan seadanya. 

Kurasa niatnya memang cuma ingin memberi Miran sedikit dorongan supaya dia mengambil inisiatif. 

Tapi tetap saja, dia adalah seseorang yang benar-benar peduli pada orang lain. Aku senang sudah berani mengambil langkah pertama meski dengan sedikit trik.

“Sebentar lagi aku harus keluar dari klub, dari aktivitas kampus, dari semuanya. Aku nggak akan bisa terus melindungi kalian selamanya. Jadi kalian berdua harus mulai membangun hubungan yang nyata sendiri. Entah itu teman, pasangan, atau apapun, berusahalah untuk terhubung dengan orang lain. Sendirian itu, pada akhirnya, bisa menghancurkanmu. Kampus adalah tempat buat belajar supaya nggak tenggelam dalam kesepian sebelum kalian benar-benar terjun ke dunia nyata. Menderitalah, masa muda! Hahaha!”

“Kyaa~! Kei-kun, keren banget!! Ngomong-ngomong, kalian mau makan malam bareng nggak? Kalau nggak keberatan dengan sisa bahan pizza, aku bisa masakin sesuatu.”

Miran dan aku saling pandang dan tersenyum lembut.

““Terima kasih banyak atas makanannya!””

Dan seperti itu, aku dan Miran pun diundang makan doria yang dibuat dari sisa bahan pizza yang dimasak oleh Kirin-san. 

Rasanya sangat lezat. Tapi... siapa sebenarnya Kirin-san ini? Sampai akhir malam, aku tetap belum tahu siapa dia, atau dari mana dia berasal.

***

Fakta menarik: Dari mana asal julukan Miran?

"Ngomong-ngomong, nama aslimu Misaki, kan? Kenapa dipanggil Miran?"

"Miran itu nama panggungku. Nama asliku, Misaki, ditulis dengan kanji ‘keindahan’ (美) dan ‘pelopor’, seperti pada kata ‘oiran’ (魁), jadi 美魁. Nah, kalau cara bacanya diubah, bisa dibaca jadi 'Miran'."

"Oh, gitu ya... Unik juga."

"Iya, kan!? Tapi bukan cuma itu! Aku suka memerankan karakter laki-laki, dan Miran itu nama laki-laki di Eropa. Tapi kalau diucapkan dalam bahasa Jepang, terdengar kayak nama perempuan. Itu juga aku pilih dengan sengaja!"

"Wah, khas banget anak Sastra. Keren sih."

"Iya, kan!? Aku mau jadi aktris yang pantas menyandang nama ini, apapun yang terjadi! Jadi, makasih banyak ya udah mau bantuin aku, Tokiwa-kun."

"Sama-sama! Mulai besok, ayo semangat bareng!"

““Cheers!”

***

Keesokan harinya, saat jam makan siang. Di lapangan rumput dalam area kampus, Miran dan aku menggelar tikar piknik dan memulai latihan untuk seleksi masuk klub teater. 

Dalam teater, keberadaan penonton itu penting. Karena itu, aku memanggil beberapa orang untuk hadir.

"Jadi begitu, aku paham situasinya. Intinya, kamu berencana berlatih keras bareng cewek cantik supaya bisa memanfaatkan efek 'jembatan gantung' dan bikin dia jatuh cinta, lalu kalau ada kesempatan, kamu ajak dia tidur bareng. Tapi karena satu cewek nggak cukup buatmu, kamu panggil aku juga buat diajak bertiga... Maaf, tapi aku ogah ikutan bertiga kalau cewek satunya lebih tinggi dari aku. Coba saja ajak Yuzuriha."

"Siapa juga yang ngomong kayak gitu!? Dan sejak kapan sih, tren cewek sekarang jadi trio segala?"

Miran juga sempat menyebut soal ‘trio’... Apa benar itu lagi tren sekarang? Aku benar-benar nggak suka tren yang satu ini...!

“Kanata-san! Aku nggak masalah kok! Cewek cantik itu juga punya dada dan dua puting! Kanata-san, kita bisa nyusu bareng di waktu yang sama!”

Yuzuriha bicara soal bertiga dengan senyum seimut itu... Dia pasti sudah sepenuhnya diracuni kegelapan kota besar! 

Gadis polos dari Satsuma itu sudah nggak ada lagi, aku yakin! Rasanya sedih banget!

“Dengan ukuran dada segede itu, kamu nyusuin dada orang lain tuh udah kayak pemborosan!”

Kalau sudah ketularan ‘virus Ayashiro’, nggak ada obatnya lagi. 

Bahkan alkohol pun nggak bisa membasmi virus ini. Malah, ada kemungkinan virusnya makin ganas.

“Ti-Tidak mungkin...!? Di kedua sisi secara bersamaan...? Terus atas bawah juga barengan!? Atau depan belakang sekaligus!? Aku... aaah... ah... ngh... fuu...”

Miran mulai menggeliat dengan wajah memerah. 

Ah, sudah nggak bisa diselamatkan. Virus Ayashiro mulai menyebar ke mana-mana. 

Minat anak kampus cewek terhadap humor dewasa tuh keterlaluan! Cowok pendiam macam aku nggak sanggup ikutan!

“Yasudah. Kayaknya kalian sudah cukup santai sekarang, ya? Kalau begitu, bolehkah kami melihat penampilan kalian untuk seleksi nanti?”

Ayashiro mengganti topik begitu saja, membawa obrolan kembali ke jalurnya. 

Sambil membaca naskah yang sebelumnya kami dapat sebagai tugas awal, dia menyemangati kami untuk segera tampil. Yuzuriha menatap kami penuh antusias.

“Tunggu sebentar. Kasihan dong kalau langsung suruh Tokiwa-kun main. Biar aku duluan aja yang tampil solo bawa peran cowoknya! Lihat aku ya!”

Miran berdiri di depan kami, membungkuk hormat, lalu mulai membawakan peran cowok seorang diri. 

Itu adalah peran yang seharusnya aku bawakan nanti saat audisi. 

Aktingnya luar biasa. Benar-benar keren. Dia bisa menggambarkan sosok lelaki ideal dengan sempurna. Sampai-sampai aku sendiri berpikir, “Aku ingin jadi kayak dia.”

Penampilannya selesai dengan cepat. Naskahnya memang pendek, dan adegannya cuma berdurasi dua sampai tiga menit. 

Tapi itu sudah cukup untuk membuatku terkesan. Dan bukan cuma aku saja.

“Kyaa! Itu luar biasa! Kayak... kayak itu lho! Kayak Takarazuka! Aku mau lihat lagi! Encore! Encore!”

Si gadis desa sudah benar-benar terpikat oleh aura jantan Miran. 

Tapi kalau dipikir-pikir... teater biasanya nggak punya encore, kan?

“Aku suka banget aktingmu. Kalau aku harus jatuh cinta, aku pengin sama cowok kayak gitu. Kamu bener-bener bisa menyentuh dan membangkitkan keinginan penonton secara langsung—itu ekspresi seni yang kuat banget. Kamu bisa hidup dari dunia teater aja, lho. Malah, kenapa kamu masuk ke universitas kami? Rasanya kamu bahkan nggak perlu kuliah segala.”

Komentar Ayashiro, seperti biasa, sangat tepat dan juga terdengar agak menyindir. 

Tapi wajar sih—Miran memang kelihatan udah di level profesional. 

Meskipun pendek, penampilannya tadi layak dibayar seribu yen. Dan kalau itu pertunjukan penuh, aku bahkan rela bayar sepuluh ribu yen. 

Sebegitu memikat dan mengagumkannya akting Miran.

“Haha, soalnya syarat dari orangtuaku biar aku bisa pindah ke Tokyo itu harus masuk universitas. Dan karena aku mau serius di dunia hiburan, mereka minta aku lulus dari universitas yang bagus juga. Makanya aku masuk sini. Kalau aku bisa lulus, gelar itu bakal jadi sesuatu yang bisa aku banggakan seumur hidup.”

Kadang memang kenyataan keluarga bisa membatasi jalan hidup seseorang. 

Kata-kata Miran barusan kayaknya menyentuh sesuatu dalam diri Ayashiro, karena dia sempat menunjukkan ekspresi agak murung.

“Begitu, ya... Oke, kalau begitu aku juga akan bantu semampuku.”

Tatapan mata Ayashiro menjadi serius. 

Sepertinya dia punya insting yang tajam untuk menilai orang, jadi komentar-komentarnya pasti akurat. 

Mulai sekarang, latihannya bakal lebih serius.

Contoh akting terbaik sudah diperlihatkan oleh Miran. Setelah ini, aku tinggal menirunya saja. 

Kemarin malam, sepulang ke rumah, aku sempat belajar teknik-teknik akting dari internet. Sekarang tinggal kupraktekkan. 

Aku berdiri di depan Ayashiro, Yuzuriha, dan Miran. Ketiganya menatapku dengan ekspresi penuh harap. 

Mungkin beginilah rasanya tatapan yang dirasakan seorang aktor di atas panggung.

Aku mulai merasa tegang. Tapi, dibanding masa laluku di dunia sebelumnya, ini bukan apa-apa. Aku bisa menghadapi ini. Aku siap.

Konon, trik dalam berakting adalah mengeluarkan emosi dari dalam diri. Bukan soal menjadi si tokoh, tapi soal mengekspresikan emosi yang dibutuhkan oleh karakter tersebut, dengan menggunakan tubuh. 

Itu yang pernah aku dengar soal dunia akting. Aku nggak tahu pasti detailnya, karena ada banyak aliran dan pendekatan, tapi itulah pemahamanku sejauh ini.

Jadi, aku mulai membayangkan emosi yang dibutuhkan oleh karakter yang harus aku perankan.

Peranku adalah seorang pria yang bertemu dengan seorang wanita dan langsung jatuh cinta padanya. 

Peran yang cukup sederhana. Jadi, aku mencoba mengingat saat pertama kali aku bertemu dengan istriku di dunia sebelumnya.

Itu terjadi di sebuah bar, tempat aku pergi bersama rekan kerjaku. 

Kami duduk minum di meja bar, sementara di meja lain, dia bersama beberapa reporter berita dan komedian muda yang sedang naik daun, sedang mengikuti acara kencan buta. 

Saat itu, istriku tersenyum dengan dingin, seperti senyum basa-basi. Meskipun kami sudah lama tidak bertemu, ekspresinya terasa jauh.

Entah kenapa, tanpa sadar, aku bergerak... dan tiba-tiba, aku sudah menggenggam tangannya dan membawanya keluar dari tempat itu.

Kalau dipikir-pikir sekarang, aku juga heran kenapa aku melakukan itu. 

Tapi, saat kami keluar dari bar, istriku tersenyum hangat kepadaku. Perasaan itu masih tersimpan jelas di hatiku.

Dan sekarang, aku mulai berakting.

⁎⁎⁎Kanata, saat berakting!⁎⁎⁎

Dan kemudian, aktingku selesai. Durasi penampilannya sangat singkat, bahkan tidak sampai tiga menit. 

Setelah selesai, aku membungkuk memberi salam, lalu menatap wajah Ayashiro dan yang lainnya. 

Semuanya tersenyum ramah.

“Aktingmu bagus banget! Kamu punya aura dan pesona seperti aktor Broadway! Tapi... suaramu jelek banget!”

“Benar! Aku beneran terharu! Rasanya seperti kisah cinta tragis—kayak bos mafia Chicago jatuh cinta sama anak perempuan polisi musuh bebuyutannya! Tapi suaramu... benar-benar parah! Kita cari pengisi suara aja, yuk!”

Penilaian macam apa ini...? Ayashiro dan Yuzuriha memujiku sambil mata mereka berkaca-kaca, tapi langsung menjatuhkan semangatku soal suara. 

Karena aku masih bingung, aku menoleh ke arah Miran. Dia tampak terkesan.

“Iya, iya! Jauh lebih bagus dari yang aku duga! Aku sampai kaget! Kalau kita hidup di zaman film bisu, kamu pasti sudah jadi legenda! Apa itu yang disebut bintang?! Tapi jujur aja ya, gaya aktingmu lebih cocok untuk film dibanding panggung. Agak kecil skalanya, tapi udah lebih dari cukup! Dengan ini, kita pasti lolos seleksi! Akhirnya, peruntunganku mulai berubah!”

Miran juga memujiku. Tapi… film bisu, katanya?

“Eh, eh? Kenapa sih, kenapa kalian semua malah ngomentarin suaraku? Hmm?”

Semua langsung menundukkan pandangan dengan canggung. Miran, dengan nada agak menyesal, berkata...

“Hmm... gimana ya... ekspresi tubuhmu keren banget. Auranya, intensitasnya, elegannya... semuanya luar biasa. Beneran bikin jantungku berdebar. Tapi soal suara... gimana ngomongnya ya... entah kenapa, suaramu tuh... kayak suara cowok perjaka yang belum terbiasa sama cewek, kaku dan monoton... hahaha...”

“Eh? Maksudmu... suaraku separah itu!?”

“Bukan parah sih... cuma... sedikit... ya, cuma sedikit aja... agak bikin geli... hahaha...”

Miran tertawa kering sambil tersenyum. Seburuk itu, ya...? Saat aku masih tertegun, Ayashiro tiba-tiba mendekat dan menunjukkan layar ponselnya.

“Jangan terlalu dipikirin, ya. Santai aja... hehehe...”

Eh!? Dia ngetawain aku!? Lalu dia memutar rekaman video aktingku tadi. Dan aku bisa mendengar suaraku sendiri saat itu:

Aku suka padamu!

Itu... benar-benar mengerikan. Suaraku gemetar banget dan penuh dengan aura perjaka gugup. Sekarang aku ingat, waktu pertama kali ketemu istriku dulu, aku memang masih perjaka! Jadi perasaan itulah yang keluar saat akting!?

Kalau dipikir-pikir... berarti aku berhasil mengekspresikan karakterku dengan baik, dong!? Bukankah itu hebat!?

“Jangan khawatir, Kanata-san! Cuma dari gestur tubuhmu aja, kamu udah luar biasa kok!”

Yuzuriha menepuk pundakku sambil tersenyum... dengan ekspresi agak iba.

“Udah cukup! Jangan ngomong seolah aku ini cowok kasihan yang cuma dijadikan teman pelampiasan!”

Aku benar-benar terpukul. Bahkan aku jadi takut pada bakat aktingku sendiri (dengan suara bergetar).

“Hahaha. Tapi serius, nggak usah terlalu dipikirin. Mereka bilang kok, penampilan dari peserta yang belum berpengalaman tetap akan dipertimbangkan. Lagipula, selain soal suara, kemampuanmu udah cukup tinggi bahkan tanpa latihan! Jadi, lupakan dulu soal suara! Sekarang, ayo latihan bareng aku! Kayaknya kita bisa langsung klik! Yuk, kita coba sekarang! Hahaha.”

Miran melepas ikat rambutnya, membiarkan rambut panjangnya terurai. 

Aura maskulin yang biasa dia tunjukkan langsung menghilang, digantikan dengan suasana yang murni dan lembut, seperti seorang putri bangsawan. 

Seolah dia menyimpan sisi "laki-laki"-nya dan kini beralih ke mode untuk peran wanita.

Gadis ini benar-benar luar biasa. Apa dia bisa mengendalikan kesan yang diberikan seseorang, seolah mengatur atmosfer atau auranya? Inilah yang disebut bakat sejati seorang aktris! Aku nggak boleh kalah! Akulah yang akan berdiri di tengah panggung!

“Tokiwa, buat kamu tahu aja, yang jadi tokoh utama dalam seleksi ini bukan kamu. Jadi berhenti bersaing sama Misaki.”

Ayashiro memotong pikiranku, sepertinya dia bisa menebak isi kepalaku. 

Hmm... sepertinya aku memang mulai terlalu serius. Padahal, dalam seleksi ini, tugasku adalah menjadi penunjang agar Miran bisa bersinar. Aku harus tetap fokus pada peranku!

“Kalau begitu, aku yang akan merekam. Berjuanglah sampai aku bilang ‘cut’.”

“Hei, tunggu dulu. Ayashiro, kamu pikir kamu siapa? Sutradara?”

“Emangnya kamu nggak pengin bilang ‘cut’ walau sekali? Aku iri loh.”

“Ini kan cuma latihan, bukan panggung beneran...”

Mengabaikan lelucon Ayashiro, Miran dan aku langsung mulai berakting—tanpa latihan sama sekali.

***Kami sedang berakting*** 

Penampilan kedua orang itu sudah selesai. Sebagai aktor, kami tidak ada masalah dan tidak macet sama sekali. Aku pikir kami bisa berakting dengan lancar. Namun, wajah kedua penonton itu terlihat anehnya serius. 

"...Apa itu? Mengesampingkan suara Tokiwa, mereka berdua berakting dengan sangat baik..." 

"Begitu. Mengesampingkan suara Kanata-san, mereka berdua melakukan penampilan yang sangat pantas. Tapi tetap saja..." 

Keduanya memiliki ekspresi seperti telah menggigit sesuatu yang pahit. Dan kemudian mereka berkata... 

"Membosankan." 

Kritik sekejam itu menimpa kami. 

"Ugh! Membosankan!? Penampilanku membosankan!? Tidak mungkin!" 

Miran ambruk ke tanah. Tubuhnya gemetar dan wajahnya menjadi benar-benar pucat. Bagi seorang aktor, mungkin yang terburuk yang bisa mereka dengar adalah bahwa penampilan mereka membosankan. 

"Maaf, ya? Tapi kalau boleh aku bilang terus terang: Penampilan kalian berdua itu membosankan. Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan kata-kata. Kalian berdua berakting dengan baik, terkoordinasi. Tapi membosankan. Aku tidak bisa menggambarkannya dengan cara lain." 

Ayashiro terlihat bingung. Dia menunjukkan ekspresi serius. 

“...Ada apa ya? Rasanya seperti... itu mungkin? Seperti saat novel ringan atau manga favoritmu diadaptasi menjadi anime, dan suara seiyuu tidak cocok dengan yang kamu bayangkan... Bukan, bukan itu... kalau begitu ketidakcocokan? Distorsi? Ughh...” 

Yuzuriha menyilangkan tangan dan mengerang. Sepertinya dia juga tidak bisa mengungkapkannya dengan jelas. 

“Hmm... Miran, menurutmu apa penyebabnya? Aku tidak berpikir penampilanmu buruk.” 

Aku memeriksa video penampilan kami dan mengamatinya dengan saksama. 

Memang, sekarang setelah mereka menyebutkannya, ada sesuatu yang membosankan di dalamnya. 

Mengesampingkan suaraku yang mengerikan, penampilan kami berdua terlihat sempurna. Tapi ada sesuatu yang tidak pas, sesuatu yang menyebabkan disonansi. 

“Entah kenapa, aku merasa penyebabnya ada pada Misaki.” 

Ayashiro juga mengintip melihat video. 

Tangan putihnya menutupi layar, menyembunyikan sosokku, hanya menyisakan Miran di dalam adegan. Penampilannya bersih. Itu adalah interpretasi yang indah, seperti seorang putri yang anggun dan murni. Tapi ya... itu benar. 

“Ayashiro, sepertinya kamu benar. Penampilan Miran... terasa seperti ada yang kurang. Apa ya yang kurang?”

Aku mengarahkan pandanganku ke arah Miran, yang benar-benar putus asa. Lalu aku membandingkan Miran di depanku dengan yang ada di video. Pasti ada yang kurang.

“Bisakah kamu meminjamkan video itu sebentar?”

Yuzuriha mengatakannya sambil kacamata matanya bersinar mencurigakan.

Dia memegang pensil di tangan kanan dan selembar laporan ukuran A4 di tangan kiri. Dia menerima smartphone dari Ayashiro dan meletakkannya di atas taplak meja makan siang. Kemudian, dia berlutut dan merangkak untuk mengamati video dengan saksama.

Gaun yang dia kenakan agak pendek, jadi dari belakang sesekali terlihat lekuk sensual pantatnya dan pantsu hitamnya.

Sambil memutar, menjeda, memundurkan, dan memajukan video, dia mulai menulis di lembaran itu formula misterius yang bahkan aku, yang dari jurusan sains, tidak bisa mengerti.

“Indah, bukan? Pakaian dalam gadis yang fokus yang kamu lihat dari belakang... Lihat itu! Gadis yang begitu murni yang kita kenal, sekarang memakai pantsu hitam, dirusak oleh kegelapan kota besar... Luar biasa!”

Ayashiro tersenyum nakal sambil mengintip di bawah rok Yuzuriha. Tapi Yuzuriha begitu fokus sehingga dia tidak menyadarinya sama sekali. Aku menutupi mata Ayashiro dengan kedua tanganku dari belakang.

“Ya, blokir diaktifkan! Penghalang super! Penghalang super melawan kuman kotor Ayashiro!”

“Tidaaaak! Biarkan aku melihat! Akulah yang memilihkan pantsu itu untuknya! Aku berhak melihatnya!”

Ayashiro berteriak dan meronta untuk melepaskan tanganku sambil bercanda.

Tapi tentu saja aku tidak akan membiarkannya melihat. Aku tidak akan membiarkan dia mengganggu Yuzuriha.

"Pertama, kita hitung kadar emosi sepanjang garis waktu dan kita buat grafiknya. Lalu kita ubah menjadi vektor matriks dan kita definisikan ulang masing-masing dengan frekuensi getaran uniknya. Kita ambil batasnya, kita normalisasi bilangan kompleksnya, dan kita susun ulang konstantanya. Jika kita buktikan dengan pembuktian kontradiksi bahwa fungsinya memiliki solusi... Tidak mungkin! Kontra-kebalikannya adalah bilangan transendental! Tidaaaaaak...!"

Apa-apaan yang dia katakan? Bahasa Satsuma ini benar-benar rumit...

Meski begitu, sepertinya dia menemukan semacam jawaban. Yuzuriha berdiri dan berjalan mendekati Miran.

"Seharusnya sejak awal kita sadar ada yang aneh. Tema yang ingin disampaikan penampilan ini adalah 'romansa'! Artinya, perasaan jatuh cinta itu sendiri!"

Yuzuriha berjongkok di depan Miran dan berbicara kepadanya.

"Kamu masih perawan!!"

Mendengar itu, Miran langsung mengangkat wajahnya.

"T-Tidak, tidak benar! Aku ini, tahu tidak, super populer! Super populer! Aku tidak pernah punya masalah dengan cowok! Haha! Hahahahaha! Aku sudah punya banyak 'pengalaman'! Aku aktris, tentu saja aku punya banyak pengalaman! Hahaha! HAHAHAHAHA!"

Suaranya sangat bergetar. Sudah di bangku kuliah, baik untuk cowok maupun cewek, tidak punya pengalaman cinta bisa jadi rasa tidak aman yang besar.

"Matamu... maaf, matamu tidak bisa menipuku! Matematika tidak berbohong! Melalui logika yang disimpulkan dari penampilanmu, aku telah membuktikan bahwa kamu tidak hanya belum pernah berhubungan seks, maaf, aku akan menggunakan definisi yang lebih tepat! Aku telah membuktikan bahwa kamu, seorang gadis polos tanpa pengalaman, tidak hanya belum pernah memasukkan penis ke dalam vaginamu, tetapi bahkan belum melakukan perilaku perkawinan yang khas terhadap individu laki-laki dari spesies manusia!"

Lembar laporan yang dipegang Yuzuriha dengan ekspresi kemenangan, di akhir rumus matematika misteriusnya, tertulis huruf 'Q.E.D'.

"Cukup! Menunjukkan rumus matematika pada orang humaniora sepertiku itu pelecehan akademis! Itu penyalahgunaan sains! Penyalahgunaan sains!"

"Jangan mengalihkan topik untuk menghindar! Reaksimu itu justru bukti bahwa kamu hanyalah seorang perawan yang rumit!"

Tekanan logis dari Yuzuriha memang kejam. Tapi soal 'tidak mengenal cinta' mulai terdengar cukup meyakinkan.

Sepertinya Ayashiro juga berpikir begitu, karena dia mengangguk kuat-kuat.

;Apakah ini akan membawa kami pada solusi...? Aku merasa sangat ragu saat memikirkannya.

Sementara itu, Miran, yang benar-benar kewalahan oleh serangan logis itu, mencoba membela diri dengan terbata-bata.

"Semua salah sejak awal! Kamu tidak perlu punya pengalaman nyata untuk berakting realistis! Misalnya, kalau kamu harus memerankan astronot! Siapa yang bisa pergi ke luar angkasa hanya untuk persiapan itu!? Tidak ada, jelas! Para aktor membangun akting kami dengan imajinasi! Jadi kamu tidak perlu punya kisah cinta untuk melakukan adegan romantis! Itu membantah segalanya! Terbantah! Aku tidak butuh pengalaman semacam itu! Aku tidak!!"

Miran, berbicara dengan sangat cepat, benar-benar menyedihkan. Tapi kemudian, ratu sarkasme kami, Ayashiro-sensei, melancarkan serangan tambahan yang kejam.

"Tapi kenyataannya, kamu tidak bisa melakukan akting itu dengan baik. Jika kita menggunakan logikamu sendiri, itu bukan karena kamu kurang pengalaman dalam cinta, tapi karena kamu kurang imajinasi, kan? Dan kalau kamu kurang imajinasi, bukankah itu berarti kamu belum berusaha cukup keras? Dasar perawan bodoh!"

"Gwaaah! Perawan!? Kamu bilang aku perawan!? Tidaaaaaak!!"

Miran-chan (perawan terkonfirmasi) berlutut dan memegangi kepalanya, benar-benar kalah. Aku hanya bisa merasa kasihan melihat tangisannya.

"Alasan kenapa bahkan ketika kamu memerankan peran laki-laki terasa begitu murni dan polos... itu karena kamu bau perawan! Perawan! Betapa indahnya kata itu! Ah, mulia! Perawan yang mulia!"

Perawan. Betapa kejamnya istilah itu. Berbeda dengan 'wanita murni', kedengarannya seperti sesuatu yang sama sekali tidak berharga.

Dan, yah, aku juga termasuk di dalamnya, kan? Dalam kehidupan sebelumnya aku hanya bersama satu orang, dan sekarang setelah aku kembali, tubuhku kembali perawan.

 Secara mental aku adalah perawan daur ulang! Dan secara fisik perawan sejati! Aku rasanya mau menangis!

"Ayashiro, sudah cukup. Lebih baik berikan dia dukungan. Aku saja hampir menangis saking kasihan. Tolong selamatkan dia."

"Ehhhh? Padahal aku baru saja mulai mengganggunya... Yah, baiklah. Misaki. Aktingmu kekurangan sesuatu yang sangat mendasar: imajinasi terhadap cinta. Oleh karena itu, meskipun kamu berakting dengan baik, kamu tidak berhasil membuatnya menarik. Jadi katakan padaku... Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?"

Miran berdiri terhuyung-huyung, dengan wajah benar-benar pucat.

"Aku akan menyingkirkan... keperawananku, bukan, maksudku keperawanan wanitaku segera. Tokiwa-kun... Boleh kita lakukan di kamar mandi sana? Hahaha... jika demi akting, tidak ada pilihan lain..."

Miran mengatakan itu dengan tatapan kosong, dan rasa kasihanku padanya semakin meningkat.

"Jangan terburu-buru begitu. Aku punya ide. Jika yang kurang darimu adalah imajinasi tentang cinta, maka kamu harus punya pengalaman simulasi. Benar. Dengan begitu, kamu bisa membangkitkan 'wanita' yang tertidur dalam dirimu."

Senyum predator Ayashiro membuat Miran dan aku bergidik.

"Cinta itu punya polanya sendiri. Cetakan-cetakan mulia yang telah dikumpulkan oleh para ahli romansa selama bertahun-tahun. Sekarang kalian berdua akan memerankannya."

"Cetakan cinta?"

"Betul. Sebuah permainan ajaib yang bisa mengubah gadis paling dingin dan canggung sekalipun menjadi wanita yang berapi-api! Namanya... 'Permainan Kabedon, Pegang Dagu, Sedotan Berbagi Minuman Energi, Detak Jantung Cepat, Menjalin Kaki di Kampus'!"

Kedengarannya jelas seperti permainan yang mengerikan.

Meskipun begitu, Ayashiro mulai menyiapkan semuanya dengan gembira. Dia menempatkan Miran dan aku di dinding kaca di pinggir kafetaria kampus.

Lalu, sambil tersenyum lebar, dia berkata...

"Tokiwa, mulai dengan melakukan kabedon pada perawan di sana."

Aku merasakan penolakan besar di dalam diriku. Tapi tidak ada pilihan.

Aku mendekati Miran dan menyudutkannya ke dinding kaca kafetaria dengan kabedon.

"Bagus! Sekarang lanjutkan dengan pegang dagu!"

Aku melakukan apa yang dia instruksikan. Seketika, terdengar jeritan gembira dari gadis-gadis di sekitar. Para mahasiswa dan dosen yang lewat sedang melihat kami.

"K-Kita sedang dilihat..."

Pipi Miran merona dan matanya berbinar.

"Wajah yang bagus. Benar. Lepaskan saja wanita yang ada dalam dirimu. Tokiwa, masukkan pahamu di antara kaki perawan itu."

Aku menarik napas dalam-dalam, menguatkan diri, lalu memasukkan pahaku di antara paha Miran persis seperti yang mereka katakan.

"Ah...! Nn..."

Miran mengeluarkan erangan tertahan.

"Muffh~! Ini terasa persis di antara manga shojo dan yang sedikit 'nakal'! Aku ingin berada di tempatnya!"

Yuzuriha merekam kami dengan smartphone-nya. Semoga ini tidak menjadi noda tak terhapuskan di masa laluku...

"Dan sekarang kamu, perawan! Kamu harus menyentuh paha Tokiwa dengan ujung kakimu!"

"Eh!? Aku juga harus melakukannya!?"

"Oooh? Kamu malu? Itu sempurna! Itu pertanda kamu mulai bangkit sebagai wanita! Tapi tidak cukup! Belum cukup! Ayo, sentuh! Sentuh! Sentuh!"

"Astaga! E-Eh!?"

Yuzuriha merekam kami dari jarak sangat dekat. Di wajahnya terlihat kegembiraan yang tak terbantahkan.

"Ayo, gadis perawan. Mari kita lakukan sesuatu yang lebih memalukan lagi."

Ayashiro memasukkan dua sedotan ke dalam kaleng minuman energi dan menawarkannya kepada kami.

"T-Tapi apa!? Kamu mau memasukkan itu ke mulutku!?"

Napas Miran tersengal-sengal. Dia menatap ujung sedotan dengan ekspresi hampir gembira.

"Ayo, ambil. Enak."

Kami melakukan apa yang Ayashiro katakan dan mengambil sedotan dengan mulut. Lalu, kami saling menatap mata sambil menyeruput minuman itu bersama-sama.

"Wow! Wawa! Ini sudah se-...! Se-! Se-! Seeeeeeeeeeeeeeeeee!"

Secara objektif, situasi kami tidak masuk akal sama sekali.

Hukuman macam apa ini, melakukan kabedon, mengangkat dagu, menjalin kaki, dan minum minuman energi dengan dua sedotan? Tapi tatapan yang diarahkan orang lain kepada kami adalah tatapan penuh gairah seolah mereka menyaksikan sesuatu yang erotis.

Wajah Miran juga tampak manis dan basah, dengan mata berbinar.

"Hei, jantungku berdebar sangat cepat. Ini..."

"Itu karena minuman energi. Pasti. Tidak ada alasan lain."

Membangkitkan minat seorang gadis dengan cara seperti ini akan terlalu berbahaya. Tapi aku merasa itu memberikan efek tertentu.

Kami menghabiskan minuman energi dan berpisah. Miran bernapas terengah-engah dan memiliki senyum misterius.

"Kanata-kun."

"Ah, ya."

"(Akting) Ayo♥"

Kami mencoba berakting lagi. Ayashiro dan Yuzuriha melihat kami dengan serius. Dan hasilnya adalah...

"Luar biasa. Tercium aroma seorang wanita yang hampir menyerah pada seorang pria."

"Ini bukan lagi cinta, ini adalah aura pasangan yang sudah berhubungan seks! Itu sangat erotis!"

Keduanya menumpahkan kesan 'sampah' mereka dengan senyum. Tapi kedengarannya lebih positif dari sebelumnya...

"Aktingku? Apakah menyenangkan?"

"Menyenangkan!"

Ayashiro dan Yuzuriha menjawab dengan percaya diri.

Saat itu, Miran telah melampaui batasan akting dan memperoleh bentuk ekspresi baru.

Aku pikir itu adalah sesuatu yang luar biasa! Meskipun itu berarti nanti aku akan dibisiki julukan aneh 'Si Mafia Kabedon'! Dan dengan demikian, langkah-langkah kami untuk seleksi berjalan dengan baik.

 

Malam itu, Miran dan aku makan malam di kafetaria sambil membahas rencana akting.

Saling tersenyum dan memastikan harapan kami untuk seleksi terasa sangat menyenangkan.

Aku rasa itu sangat mendekati suasana kebahagiaan. Tapi sebuah suara yang aku dengar merobeknya.

"Eh? Tokiwa-kun dan... Misaki? Halo! Apa yang kalian lakukan?"

Saat aku menoleh ke arah suara yang manis dan riang itu, di sana ada istriku dengan pakaian tenis.

Di belakangnya ada sahabat baiknya sejak dulu, seorang wanita yang terus terang (yang sangat tidak aku sukai), dan para mahasiswa kedokteran yang berada di samping Hagiri saat keributan di kafetaria beberapa waktu lalu.

Semua mengenakan pakaian tenis. Aku tidak bisa tidak menyadari bahwa wajahku telah berubah muram.

Meskipun aku sangat kesal, dia dengan pakaian tenis terlihat sangat manis.

Mashiba yang terus terang di belakangnya, melihatnya secara objektif, bukankah dia manis?

Meskipun aku tidak memercayainya. Istriku mendekati meja kami dengan senyum berseri-seri.

"Sungguh kejutan! Kalian berdua berteman! Atau jangan-jangan ini semacam laporan? Kalian sedang belajar bersama?"

 

Istriku melirik sekilas kertas-kertas kami. Tapi dia tidak terlihat terlalu tertarik. Sejujurnya, aku bersyukur akan hal itu.

"Ah, ya. Begini, aku baru saja bertemu Miran. Benar. Kami sedang belajar bersama! Hahaha!"

"B-Betul! Benar sekali! Haha! Kami cukup akrab! Hahaha!"

Miran dan aku tertawa canggung. Pasti ada 'kekasih' di dekat kami dalam situasi ini! Miran dan aku melihat sekeliling dengan gugup.

"Ah! Kalian berdua mencari Sorata!? Hei! Sorata dan aku memang teman masa kecil, tapi kami tidak selalu bersama! Aku tidak suka kalau kalian berpikir kami ini satu paket! Mengertilah!"

Dia cukup marah. Tapi Hagiri selalu di sampingnya.

Logikanya, dia pasti ada di sini juga hari ini. Tapi sekarang sepertinya dia tidak ada. Malahan, aku khawatir kenapa dia tidak ada.

Aku jengkel karena kalau dia ada aku akan terganggu, tapi kalau tidak ada aku malah cemas. Sungguh menyebalkan!

"Begitu. Hagiri-kun tidak ada, ya? Ngomong-ngomong, pakaianmu bagus sekali! Kamu habis main tenis?"

Berbeda denganku, Miran terlihat lega karena Hagiri tidak ada. Dengan senyum berseri-seri, dia mengalihkan pembicaraan kepada istriku.

"Benar sekali! Aku juga masuk klub tenis! Sampai barusan aku latihan keras memukul bola! Tahukah kamu? Kalau memukul dari sisi kiri, pegang pakai dua tangan!"

Istriku mengayunkan lengannya dengan kuat. Sejujurnya, gerakannya lebih mirip ayunan bisbol daripada tenis, dan meskipun canggung, karena dia cantik, sayangnya itu terlihat manis.

Selain itu, rok pendeknya sedikit terangkat, memperlihatkan legging yang dia pakai di bawahnya.

Aku benci insting pria yang membuat mata seseorang mengikuti pemandangan itu! Meskipun aku tahu itu legging! Para mahasiswa kedokteran juga mengarahkan pandangan mereka ke pantat istriku, sama sepertiku! Syukurlah itu legging, sungguh!

"Yah, soal memukul pakai dua tangan itu aku tahu. Ngomong-ngomong... Igarashi-san."

"Eeeh, sudah kubilang kamu bisa memanggilku Ririsa! Dan lagi, aku ingin cewek tampan sepertimu, Misaki, memanggilku '-chan'! Hahaha!"

"...Ririsa-chan. Orang-orang di belakang itu dari klubmu juga, kan? Apa kamu tidak membuat mereka menunggu?"

"Eh? Ah! Benar! Itu, itu! Karena kalian di sini, kalian berdua harus bergabung dengan klub tenis kami! Semua orang ramah dan kami akrab! Jadi bahkan Tokiwa-kun yang pemalu pun pasti akan beradaptasi! Fufu"

Huff, seperti biasa, percakapan melompat dari satu topik ke topik lain dengan cepat. Maksudku, dia benar-benar tidak mendengarkan.

Miran berusaha dengan halus agar dia kembali ke kelompoknya, tapi dia sama sekali tidak mengerti.

Istriku pasti tipe gadis yang, bahkan jika dia pergi ke Kyoto, akan meminta bubuzuke tanpa malu! Padahal aku tidak pernah pergi bersamanya! Dan tatapan tidak menyenangkan dari para pria di belakang yang tertuju padaku benar-benar tidak nyaman.

Istriku datang ke sini bukan salahku. Aku berharap mereka yang berkeliaran di dekatnya mencari kesempatan bisa mengerti.

"Miran mungkin bisa masuk ke klub tenis tempat kamu bergabung, tapi aku tidak."

Aku tahu klub tenis tempat dia dulu bergabung saat tahun pertama. 'Kekasih'nya juga anggota klub itu.

Aku dengar istriku keluar dari klub itu tak lama setelah putus dengan si 'kekasih'. Dan sayangnya, aku tidak punya hak untuk masuk ke sana.

"...Eh? Kenapa tidak? Masuk saja! Sorata juga bilang semua mahasiswa bermain tenis! Dan ada banyak gadis dari universitas lain! Bahkan gadis-gadis berani masuk, apa kamu takut, Tokiwa-kun?"

"Aku tidak takut, aku mengatakan yang sebenarnya. Klub tenis tempat kamu bergabung itu adalah klub Fakultas Kedokteran. Makanya aku, dari fakultas lain, tidak bisa masuk."

Di Universitas Koto ada banyak klub tenis.

Ada yang sekadar nama, ada yang lebih banyak minum-minum, ada yang seperti klub olahraga sungguhan, dan ada juga yang bermain tenis santai.

Untuk saat ini, Ayashiro, Yuzuriha, dan aku sedang berpikir untuk bergabung dengan salah satu yang santai. Kami juga berpikir untuk mengajak Miran.

"Aku bukan dari fakultas itu, tahu?"

Di universitas kami ada klub tenis yang, meskipun tidak bisa dibilang punya reputasi buruk, tapi dibenci atau dicemburui oleh banyak mahasiswa.

Itu adalah klub tenis yang sebagian besar anggotanya dari Fakultas Kedokteran, tempat istriku bergabung. Kenapa?

"Gadis-gadis memang bisa. Meskipun gadis-gadis dari Koto hampir tidak ada yang masuk ke klubmu, atau lebih tepatnya, hampir tidak bisa. Anggota laki-laki di klubmu hanya mahasiswa kedokteran dari Koto, dan anggota perempuan hanya dari universitas lain. Secara teknis, anak laki-laki dari fakultas lain bisa masuk, tapi itu tidak mungkin. Anak-anak dari fakultas lain tidak punya 'status' yang cukup untuk bergaul dengan anak kedokteran, mengerti? Kenapa gadis-gadis Koto seperti kamu atau temanmu yang di belakang itu bisa masuk, itu karena mereka cantik. Hagiri tidak menjelaskannya dengan baik padamu, ya? Dia pasti hanya bilang kamu bisa bermain tenis dengan tenang di sana, kan? Bodoh sekali. Semua teman bermain tenis? Itu bukan klub jenis seperti itu. Konyol sekali."

Selain Klub tenis Fakultas Kedokteran, banyak klub olahraga dan budaya kedokteran juga ada secara independen. Ini karena jadwal dan tahun studi kedokteran berbeda dengan fakultas lain.

Faktanya, mereka harus belajar jauh lebih banyak daripada fakultas lain, jadi mereka tidak bisa berpartisipasi dalam kegiatan klub dengan cara yang sama, tapi tetap saja ada hal-hal yang menurutku aneh.

 Para manajer klub olahraga kedokteran semuanya adalah gadis-gadis cantik dari universitas lain, dan kadang-kadang jumlah mereka bahkan melebihi anggota laki-laki. Hal yang sama terjadi pada klub-klub lain.

Bagi para pria di dunia, terhampar pemandangan yang luar biasa. Fakultas Kedokteran Koto adalah tempat di mana hanya ada klub-klub yang penuh dengan gadis-gadis cantik dan manis di mana pun kamu melihat. Semua gadis adalah gadis cantik dari universitas lain.

Semua ingin berkencan dengan calon dokter super elite dari Koto dan bercita-cita menikah dengan mereka.

Aku tidak tahan lagi dengan dunia ini! Hanya ada keegoisan murni! Mereka adalah binatang!

"...Oh, begitu... jadi itu maksudnya..."

Sepertinya akhirnya kepala istriku yang riang dan lambat itu mengerti situasinya. Wajahnya terlihat sedikit pucat.

Pasti 'kekasih'nya hanya menjelaskan padanya untuk bergabung dengan klub tenis ini agar mereka bisa menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama.

Dia memiliki semacam keringanan, aura seolah tidak berasal dari dunia ini.

Ketika kami mulai berkencan di dunia sebelumnya, dia memang agak dingin dan sinis, tapi jauh di lubuk hati dia baik hati dan memang agak ceroboh.

"Hei. Aku sudah lama mendengarkanmu. Kamu pikir kamu siapa? Kenapa kamu mengatakan hal-hal yang begitu menyedihkan? Apa kamu salah satu dari orang-orang yang berpikir bersikap dingin itu keren?"

Mashiba, gadis yang mengaku terus terang itu, mendekati istriku dan mulai menatapku tajam. Karena itu, aku juga memasang wajah tidak suka.

Miran, yang duduk di sampingku, juga menatap Mashiba dengan ekspresi sedikit kesal. Tapi, anehnya, dia segera berhenti menatapnya dan memiringkan kepala sambil mengamati wajah Mashiba dengan mata terbelalak. Miran memiliki ekspresi aneh.

Aku penasaran, tapi sekarang Mashiba lebih mengganggu. Lalu, aku berkata dengan suara sedingin mungkin...

"Apa? Aku hanya menjelaskan kenapa aku tidak bisa masuk ke klub kalian."

"Justru itu bagian yang tidak 'nyambung', tahu?"

"Bisakah kamu berhenti menggunakan kata-kata abstrak? Jika kamu dari sains, tunjukkan masalahku secara logis. Maka aku akan mendengarkanmu sepuasnya. Ya, sepuasnya."

Mashiba sedikit mendecakkan lidahnya. Dia menunjukkan suasana hatinya yang buruk dengan jelas, mencoba mengintimidasiku.

Gadis ini, serius, meskipun dari sains, tidak punya logika. Mungkin, karena teman-temannya Hagiri dan istriku masuk sains, dia juga melakukannya agar bisa bersama mereka.

Fakta bahwa dia bisa mengikuti studi mereka itu luar biasa, tapi jujur saja, itu adalah puncak kebodohan.

"Tomoe. Jangan mendecakkan lidah."

Istriku menggumamkan itu dengan suara yang agak dingin.

"Tapi dia meremehkan semua orang! Aku kesal sekali! Kalau dia ada masalah, suruh saja masuk Fakultas Kedokteran! Pasti dia iri dengan Kedokteran! Dia tidak akan pernah bisa mengalahkan Sorata di Kedokteran!"

Status nilai masuk fakultas kedokteran itu, yah, sampai batas tertentu memang patut diirikan.

Tapi karena aku ingin masuk Sekolah Seni Rupa, aku tidak peduli apakah aku mau jadi dokter atau tidak.

"Tomoe. Jangan mengeraskan suara. Aku... tidak suka itu."

"Eh? Ririsa, kita... itu..."

"Aku tidak suka."

"Ugh...!"

Aku merasakan sakit hati melihat wajah dingin istriku, seperti topeng Noh, saat dia menatap Mashiba. Mashiba terlihat sedikit takut dengan sikap istriku.

Aku pernah melihat wajah itu sebelumnya. Ketika sesuatu benar-benar tidak dia sukai, dia akan memasang wajah dingin tanpa ekspresi apa pun.

Aku benci melihatnya seperti itu dari lubuk hatiku.

"Hei, Mashiba. Aku juga kelewatan. Jadi, mari kita berhenti berdebat."

"...Mengerti. Ririsa khawatir, jadi aku akan memaafkan hinaanmu."

Sikapnya yang merendahkan itu menjengkelkan, tapi aku ingin segera mengakhiri ini. Aku tidak ingin marah lagi.

"Ayo pergi, Ririsa."

"...Duluan saja. Aku ingin bicara sebentar dengan Tokiwa-kun dan Misaki."

"Tapi..."

"Tomoe, pergilah. Aku akan segera selesai."

Istriku melontarkan kata-kata itu bahkan tanpa melihat Mashiba. Ada penolakan yang jelas dalam nadanya.

Mashiba mengangguk dengan wajah terkejut dan pergi bersama para mahasiswa kedokteran menuju meja yang jauh.

"Maafkan aku, Tokiwa-kun. Misaki, aku juga minta maaf."

Istriku meminta maaf kepada kami dengan canggung.

Jauh di lubuk hati, dia adalah gadis yang baik. Dia memiliki sisi lembut. Tidak, dia memilikinya. Sampai dia mengkhianatiku...

"Tidak apa-apa. Tidak masalah. Aku tidak khawatir."

"Aku juga tidak khawatir. Ini bukan salahmu Ririsa-chan, jadi jangan khawatir."

Istriku mengangguk lemah mendengar kata-kata kami.

"Terima kasih, teman-teman... Begini... meskipun aku merepotkan kalian, sungguh, aku ingin bermain tenis dengan kalian..."

Istriku tersenyum dengan mata sedikit basah. Dan segera dia menjauh dari sisi kami dan kembali ke Mashiba dan yang lainnya.

"Hei, Tokiwa-kun, boleh aku bertanya sesuatu?"

Miran membuka mulutnya dengan serius.

"Apa?"

"Hagiri dan Igarashi-san... Siapa yang memerintah dan siapa yang patuh?"

Aku merasa pertanyaan itu memiliki beberapa makna yang tumpang tindih.

"Aku rasa... Igarashi-san adalah wanita jahat yang tiada duanya. Dengan pesonanya, dia mendistorsi dan menghancurkan kehidupan orang lain. Seolah seorang femme fatale telah menjelma menjadi monster. Aku tidak bisa tidak memikirkannya seperti itu."

"Femme fatale..."

"Kadang-kadang aku bahkan berpikir bahwa semua yang Hagiri lakukan sedang dimanipulasi olehnya. Aku telah melihat bagaimana banyak pria kuat terpikat padanya hanya dengan satu senyuman. Apakah karena itu? Kadang-kadang Hagiri terlihat kewalahan oleh Igarashi-san. Itu membuatku gila. Aku tidak mengerti apa-apa. Sungguh aku merasa jijik! Mereka berdua itu...!"

Wajah Miran berkerut. Ekspresi seolah dia menahan sesuatu, melawan. Apakah dia sangat takut pada istriku? Yah, aku juga, dia merusak hidupku.

Aku bertanya-tanya siapa di antara mereka yang mengusulkan perselingkuhan itu. Siapa yang memerintah, dan siapa yang patuh?

"Miran. Kalau kamu memendam sesuatu, katakan padaku. Aku sudah memutuskan untuk berada di pihakmu."

Aku mengelus punggung Miran. Aku rasa ini yang terbaik untuk seseorang yang sedang ketakutan.

Dia sedikit melunakkan ekspresinya.

"Terima kasih. Denganmu aku merasa bisa bicara... Aku baru sadar tadi. Gadis yang berada di samping Igarashi-san! Dia orang yang sama yang bertengkar dengan Hagiri di depan love hotel itu!"

"Ah!? Hei, hei, hei! Eh? Kamu serius...!?"

"Ya. Gadis itu, Mashiba, belum pernah muncul di 'Dewan Mahasiswa', jadi aku tidak mengenalinya sampai hari ini. Dari yang kulihat, dia sepertinya punya hubungan yang sangat baik dengan Igarashi-san dan Hagiri. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Hagiri tidak memasukkannya ke 'Dewan Mahasiswa'! Betapa loyalnya wanita itu, bukan?! Berpura-pura menjadi sahabat terbaik dari gadis favorit pria yang dia tiduri! Menjijikkan! Mereka semua! Tidak ada seorang pun yang dekat dengan pria itu yang berharga!"

Miran benar-benar membenci Hagiri dan kawan-kawan. Dan aku, setelah mendengar ini, semakin membenci Mashiba.

Dari cara istriku bersikap, dia mungkin tidak menyadari bahwa antara Mashiba dan Hagiri ada hubungan fisik.

Mungkinkah itu alasan mereka berpisah di dunia lain? Segala sesuatu di sekitar istriku terlalu mengganggu. 

Aku pernah menikah dengannya, tapi tidak pernah benar-benar memahaminya bahkan sampai akhir, dan sekarang setelah aku memulai lagi, aku masih tidak memahaminya.

"Miran. Kamu benar sudah melarikan diri. Setidaknya itu aku mengerti. Terima kasih sudah datang kepadaku."

Tanpa sadar, aku mengucapkan terima kasih kepada Miran.

Semuanya masih membingungkan. Tapi ada satu hal yang jelas: bahwa Miran datang kepadaku itu adalah kebahagiaan.

Dia tidak seperti Hagiri atau istriku, yang berada dalam kabut gelap dan tidak jelas, seperti bayangan tanpa bentuk.

Memiliki seseorang seperti dia di sisiku sekarang membuatku merasa sangat beruntung.

"Hehe! Hahaha! Kamu yang berterima kasih padaku? Hehehe."

"Ya, tentu saja. Sejak kamu datang kepadaku, semuanya jadi lebih menyenangkan. Aku yakin Ayashiro dan Yuzuriha juga bersenang-senang. Jadi terima kasih sudah datang."

Ayashiro, Yuzuriha, dan Miran mengajariku bahwa orang bisa terhubung dengan cara yang benar.

Bahwa alih-alih membenci atau menyakiti satu sama lain, mereka bisa saling menjaga dan tertawa bersama. Aku senang bisa kembali ke masa ini.

"Oh, begitu! Hahaha! Begitu, ya! Sungguh! Hehehe."

Miran tersenyum manis. Lalu dia segera menghabiskan makanannya, mengambil nampan, dan bangkit dari kursinya.

"Kurasa wajahku sangat memalukan sehingga tidak bisa kutunjukkan kepada siapa pun. Aku akan pergi duluan."

"Ya, sampai jumpa."

"Ya. Aku menantikan seleksinya."

Dia melangkah pergi dengan ringan, memunggungiku. Aku bisa melihat telinga Miran sedikit merah. Aku merasakan kegembiraan yang luar biasa untuk bertemu dengannya lagi.


<Prev [ToC] Next>

Komentar