[LN] Shaberanai Kurusu-san - Vol 1 - Bab 1


Bab 1 – Hati Gadis yang Tak Pernah Bicara Hanya Dipenuhi Keimutan

Note:

  (....) ---> ungkapan yang didengar Kaburagi

【...】---> pembicaraan Kurusu di tablet

_______________________________________

Awal Februari, setelah ujian reguler berakhir.

Aku dibawa ke UKS karena mengalami sakit kepala akibat belajar terlalu keras untuk ujian. Jendela ruangan dibiarkan terbuka untuk sirkulasi udara, dan angin dingin yang berhembus mengingatkanku bahwa musim dingin masih belum berlalu.

"Istirahatlah. Sepertinya kau sama sekali tidak tidur, ya?"

Guru UKS, Saya-sensei (Sayaka Mochizuki), berkata dengan nada khawatir sambil menempelkan dahinya ke dahiku. Setelah memastikan suhu tubuhku, dia menuntunku ke tempat tidur.

Ia menghela napas sambil menggelengkan kepala, jelas menunjukkan rasa khawatir.

"Hahaha... Saya-sensei, kalau aku tidak belajar keras, mana bisa dapat nilai bagus? Mau tidak mau, aku harus berusaha lebih."

"Huft. Sebagai guru, kami memang menekankan bahwa tugas utama seorang siswa adalah belajar, tapi bukankah kami juga selalu bilang untuk tidak memaksakan diri?"

"Ah, jangan khawatir. Aku ini kuat, kok. Lihat saja, aku masih bisa berdiri. Cuma sedikit pusing karena anemia, itu saja."

"Jangan anggap enteng. Ada banyak orang yang meninggal karena kelelahan, tahu?"

"Kenapa kalimat Anda terdengar begitu meyakinkan sekaligus menakutkan...?"

"Diam dan perhatikan kondisimu sendiri."

"Serius, aku baik-baik saja! Nih, lihat ototku."

Aku mencoba bercanda sambil mengangkat lenganku, tapi Sensei malah terdiam sambil menatapku tajam.

(Mungkin aku harus membuatnya pingsan saja. Setidaknya kalau dia tidak sadar, dia bisa tidur dengan benar...)

Aku bergidik mendengar suara hatinya yang agak mengancam.

Saat aku mencoba mengalihkan tatapan, tiba-tiba dia meraih kepalaku dan memutarnya cukup kasar.

"Aduh! Itu sakit!"

"Kaburagi, buka mulutmu dan biarkan aku memeriksanya."

"Aku tidak menyangka bakal diperlakukan seperti ini..."

"Pilihan jawabanmu hanya ‘ya’ atau ‘ya’. Mengerti?"

"...Jadi aku tidak punya hak untuk menolak, ya?"

Tak ada pilihan lain, jadi aku menurut dan membuka mulutku.

Sensei mengeluarkan senter kecil, lalu menyorotkan cahayanya ke dalam mulutku sambil memeriksa dengan seksama.

"Masih agak merah. Suaramu juga terdengar serak... Hmm. Kurang tidur, sistem imun melemah... Yah, tinggal selangkah lagi menuju flu."

"Jadi aku masih baik-baik saja, kan..."

"Jangan asal menyimpulkan. Kau merasa mual atau sakit tenggorokan?"

Tatapan tajamnya menusuk tepat ke arahku.

Oh tidak. Tatapan itu seolah tidak akan mengizinkanku keluar dari sini sampai aku berkata jujur.

Aku menghela napas panjang, akhirnya menyerah, dan mengaku,

"Yah... sejujurnya kepalaku agak pusing. Mungkin karena masuk angin..."

"Masuk angin, huh..."

Meski tampaknya masih ragu, ia akhirnya menerima jawabanku. Alisnya mengerut, ekspresinya semakin serius.

Namun, hanya keluargaku yang tahu──── bahwa sejak kecil, aku memiliki kemampuan untuk mendengar suara hati orang lain.


Bahkan ketika mereka bertanya padaku "kenapa", aku sendiri tidak tahu jawabannya, karena hal ini sudah terjadi sejak awal.

Seperti bernapas, seperti bayi yang secara alami mencoba berdiri di atas kedua kakinya, kemampuan ini menjadi bagian alami dari pertumbuhanku.

Namun, "mendengar suara hati" bukanlah cara mudah untuk memahami apa yang terjadi di sekitarku.

Aku hanya bisa mendengarnya ketika ada jeda dalam percakapan atau saat seseorang sedang berbicara dalam hati. Karena itulah, terkadang aku merasa seperti sedang menjalani percakapan yang normal, padahal sebenarnya aku sedang mendengar suara hati seseorang.

Di transportasi umum, terutama di kereta, itu adalah neraka bagiku. Orang-orang memang tidak banyak berbicara, tapi suara hati mereka bisa terdengar di mana-mana.

Terutama di hari Senin, saat pikiran negatif para pekerja kantoran sangat kuat.

Tentu saja, aku juga sering mendengar hal-hal yang sebenarnya tidak ingin kudengar... Jadi kemampuan ini tidak selalu menguntungkan.

Secara alami, manusia selalu memisahkan antara apa yang mereka ucapkan dan apa yang mereka pikirkan.

Mereka tidak bisa sembarangan berbicara jujur karena bisa menimbulkan masalah, jadi mereka menyimpan banyak hal dalam hati. Akibatnya, suara hati mereka sering kali terdengar lebih buruk daripada yang mereka ucapkan.

Contohnya, seseorang mungkin berkata "Aku akan selalu mencintaimu", tapi dalam hati mereka berpikir, "Yah, setidaknya untuk sekarang...".

Kalau aku terus-menerus mendengar hal semacam itu, wajar saja kalau kepercayaan pada orang lain perlahan menghilang. Aku pasti akan berpikir, "Aku tidak akan menghubungi orang ini lagi".

Tapi karena aku sudah terbiasa hidup seperti ini, aku tidak lagi melihatnya sebagai sebuah kesulitan atau sesuatu yang menyedihkan.

Dengan mengetahui perasaan orang lain, aku bisa lebih mudah bergaul. Aku bisa memahami mana yang tidak kusukai, mana yang perlu kusampaikan, dan sebaliknya, aku bisa langsung tahu apa yang ingin mereka katakan. Itu membuat segalanya lebih sederhana bagiku.

Kadang-kadang aku memang mengalami sakit kepala karena terlalu banyak mendengar suara hati orang lain, tapi di sisi lain, kemampuan ini memberiku posisi yang cukup kuat di kelas. Secara keseluruhan, aku cukup puas dengan kehidupanku sebagai seorang siswa.

Yah, meskipun tetap saja ada hal-hal yang harus kuperjuangkan.

Aku membuka buku teksku, dan Sensei yang berdiri di sampingku langsung mengernyitkan dahi.

Namun, sebelum aku bisa mendengar apa yang ingin dia katakan, dia dengan cepat mengambil bukuku.

"Jangan belajar dulu... Aku tidak pernah menyangka akan mengatakan ini kepada seorang murid."

Sensei menghela napas dan menatapku dengan ekspresi lelah.

"Tapi hanya dalam kasus ini, Kaburagi. Dan kau yakin tidak mau minum obat flu? Kalau sakit kepalamu parah, seharusnya kau minum, bukan?"

"Apa yang kau bicarakan? Penyakit itu berasal dari pikiran, Sensei. Aku akan biarkan sistem imunku yang mengatasinya sendiri."

"Haaa..."

Dengan ekspresi kesal, dia meletakkan secangkir air di hadapanku bersama dengan obat flu.

Meskipun merasa terganggu dengan ekspresinya, aku tetap meminumnya.

"Ingat apa yang pernah kukatakan sebelumnya...?"

"Umm... maksudmu, 'Serahkan ini padaku dan terus maju!'?"

"Bukan."

"Atau mungkin saat kau berkata 'Jangan berhenti...' lalu jatuh?"

"Baiklah, mari kita lupakan yang itu, ya~?"

"Ah, sekarang aku ingat. ‘Fokuslah mencari jodoh!’, kan? Yah, Sensei memang sudah melewati usia ideal untuk menikah."

"Dasar bocah, kau ingin mati, ya?"

"────Aku hanya bercanda!"

Aku langsung berjongkok di tempat tidur, menundukkan kepala dalam posisi menyerah.


Matanya terlihat serius. Sekilas, seperti ada niat membunuh.

Saat aku masih mencoba memahami situasinya, Sensei mengangkat tangannya dan dengan cepat mendorongku ke tempat tidur.

Dia menarik selimut ke atasku, duduk di tepi tempat tidur, dan berkata:

"Aku akan membangunkanmu nanti, jadi tidurlah sampai saat itu. Jangan pulang tanpa izinku, mengerti?"

"Ahh... baiklah, aku mengerti."

"Dasar merepotkan."

Dia mengambil kantong es dari kulkas dan menaruh kompres dingin di dahiku.

"Seperti yang selalu kukatakan, ‘kesabaran adalah kebijaksanaan’, kan? Kalau terus seperti ini, suatu hari nanti kau pasti tumbang."

"Aku akan berusaha agar tidak sampai seperti itu. Bagaimanapun, untuk orang biasa seperti aku, mempertahankan nilai bagus itu sangat sulit."

"Aku menghargai usahamu, tapi tetap saja..."

Sensei mengerutkan dahi, menatapku dengan sorot mata tajam yang memperlihatkan bentuk matanya yang indah.

Lalu, dia meregangkan tubuhnya sejenak dan berkata:

"Seperti yang selalu kukatakan, kau harus belajar untuk bergantung pada orang lain. Teman-teman yang kau buat sekarang bisa menjadi orang-orang yang akan membantumu di masa depan. Dan jika kau punya teman serta keluarga yang mendukungmu, kau bisa beristirahat lebih banyak..."

"Ada yang salah dengan itu?"

"Kaburagi. Serius, ada apa denganmu akhir-akhir ini? Kau sudah punya pacar?"

"Yah... anggap saja begitu."

"Jadi kau masih berpura-pura?"

"Bisa dibilang begitu."

"Aku tahu kau ingin menghindari masalah, tapi cara seperti itu tidak akan membawamu ke mana pun di masa depan."

"Tidak masalah bagiku."

Saat aku mengatakannya, Sensei menghela napas panjang dan menatapku dengan ekspresi khawatir.

Salah satu penyebab utama putusnya hubungan antarmanusia adalah cinta yang muncul dalam suatu kelompok. Pada usia berapa pun, hubungan percintaan hanya akan menimbulkan masalah.

Itulah sebabnya, setiap kali seseorang bertanya, "Apakah kau punya pacar?", aku akan menjawab, "Ya, aku punya."

Aku sudah mengatakan itu sejak awal masuk sekolah, dan berkat itu, aku bisa menghindari berbagai masalah yang tidak perlu serta terhindar dari situasi yang bisa merusak hubunganku dengan siswa lain.

Satu-satunya masalah yang pernah kuhadapi hanyalah ketika seorang teman sekelasku menantangku untuk berkompetisi dengan pacarnya yang hanya ada dalam imajinasinya.

"Jadi... kau punya teman?"

"Jangan langsung berasumsi kalau aku tidak punya."

"Kau sudah di SMA, tapi masih..."

"Tidak, tidak! Aku punya orang-orang yang bisa kuajak bicara! Kami sering melakukan aktivitas bersama dalam kelompok kecil. Dan, seperti yang kubilang, anggap saja aku sudah punya pacar."

"Oh... yah, itu benar juga. Kau memang populer, meskipun agak sia-sia."

"Hei, kau salah paham! Aku disukai dan dihormati, serta pandai menyelesaikan masalah."

"Jangan memuji dirimu sendiri. Kau sampai tumbang begini karena terlalu memaksakan diri."

Sensei menghela napas panjang dan menatapku dengan wajah penuh kekhawatiran.

Aku merasa tidak nyaman, lalu membuang muka.

"Oh ya. Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Kaburagi. Kau punya banyak teman dan kenalan, kan?"

"Hmm? Apa itu...?"

"Bagaimana cara anak SMA berteman saat ini?"

"...Kau berencana berkencan dengan siswa?"

"Kau bodoh? Ini demi pekerjaanku sebagai guru. Aku harus tahu agar bisa membantu murid-muridku."

"Oh... begitu, ya."

Dia menolak leluconku dengan datar dan memasang ekspresi serius.

Dari pikirannya, aku bisa menangkap bahwa dia benar-benar ingin membantu seorang siswa yang mengalami kesulitan dalam berteman. Sebagai guru, dia merasa bertanggung jawab untuk memberikan saran yang berguna.

"Oh ya. Sekarang ini, media sosial adalah cara utama untuk berteman, bahkan sebelum masuk sekolah."

"Hah? Maksudmu media sosial seperti Mixx atau Myxxxxx?"

"...Kau berasal dari era apa? Pengetahuanmu sudah sangat ketinggalan zaman."

"D-Diam! Aku tidak tahu... Aku bahkan tidak pernah menggunakannya."

"Kau harus segera berhenti memakai ponsel jadulmu dan beli smartphone. Kalau tidak, kau akan ketinggalan zaman dan dipanggil nenek-nenek─"

"Mau mati, huh?" (Aku akan membunuhmu.)

"Hahaha... Tolong jangan lakukan itu."

Kata-kata dan suara hatinya... benar-benar sama persis.

"Hmm. Yah, meskipun ponsel keypad juga punya kelebihannya sendiri. Ini inovatif dan sesuai dengan kebutuhanku. Tapi seiring waktu, teknologi pasti akan terus berkembang..."

"Kurasa inilah asal-usul istilah ‘boomer’, ketika orang-orang menolak menerima perubahan."

"Bahkan Buddha pun akan marah jika dihina tiga kali, Kaburagi."

"Yosssh."

Aku bergumam seperti anggota klub olahraga, lalu menunjukkan layar smartphonku padanya.

"Sekarang, media sosial yang paling umum digunakan adalah Instagram atau Twitter. Hampir semua siswa menggunakannya. Kalau tidak, mereka akan ketinggalan banyak topik dan dianggap out of date."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Bahkan sebelum upacara penerimaan, beberapa siswa sudah saling mengenal dan membentuk komunitas berdasarkan minat mereka. Itu sudah menjadi hal yang lumrah."

"A-aku mengerti..."

"Sisanya hanya soal keberanian untuk mengambil langkah pertama. Beberapa orang cenderung menunggu dan mengamati, jadi mereka jarang bergerak lebih dulu. Itu sebabnya, kontak pertama sangatlah penting."

"Huum..huum.."

"Di sisi lain, perempuan lebih cepat membentuk kelompok. Sayangnya, mereka juga lebih cepat berpisah. Mereka yang mudah beradaptasi akan menemukan tempat mereka dengan cepat. Di titik inilah sistem kasta sosial terbentuk."

Sensei mencatat dengan serius, lalu menempelkan dahinya ke buku catatan, tampak kewalahan dengan semua informasi ini.

"Hidup di zaman sekarang sulit, ya..."

"Dengan kemajuan internet dan smartphone, memang wajar jika ada lebih banyak hal yang harus kita khawatirkan. Dunia terus berubah, dan kita harus bisa beradaptasi."

"Aahhh. Kau selalu terdengar lebih dewasa dari usiamu!"

"Tolong jangan memujiku seperti itu. Aku jadi malu."

"Aku hanya terkejut, dasar bocah menyebalkan."

Dia tersenyum, lalu menepuk dadaku pelan.

"Kurasa sangat sulit bagi siswa pindahan untuk bergabung dengan komunitas yang sudah terbentuk. Apalagi jika dia memiliki kepribadian yang unik..."

"...Aku bisa memahami itu."

Saya-sensei terlihat kecewa, menghela napas panjang, lalu menutup bukunya.

Saat suasana mulai terasa canggung, terdengar ketukan lembut di pintu ruang UKS, disertai suara halus dan ramah:

"Bolehkah saya masuk?"

Aku belum pernah mendengar suara itu sebelumnya, tapi entah kenapa, aku tidak bisa mengabaikannya...

Sensei membalas, "Tunggu sebentar", lalu menoleh padaku dan dengan lembut menarik selimut menutupi tubuhku.

Aku menutup telingaku dan bersiap untuk tidur.

Namun...

"...Suara itu terdengar lembut. Tidurku pasti akan lebih nyenyak."

Aku bergumam tanpa sadar, lalu mendengar suara dari luar,

"Ahh... Ada yang sedang tidur di sana. Kita harus lebih pelan-pelan."

Dan dengan itu, kesadaranku perlahan menghilang.


Saat aku tertidur lelap, aroma harum menggelitik hidungku.

Baunya seakan menarikku masuk, membuat pikiranku perlahan menjadi jernih.

"…Berapa lama aku tidur?"

Aku meraba-raba mencari ponselku, mengambilnya, lalu melihat jam.

Ternyata aku sudah tertidur cukup lama—sekitar satu jam telah berlalu.

Kepalaku masih terasa sedikit pusing, mungkin karena kondisiku sebelumnya. Aku bangun dari tempat tidur, lalu perlahan menggulung bahuku untuk meregangkan otot-ototku.

Saat aku melakukannya, samar-samar terdengar percakapan antara Sensei dan seseorang.

"Dengar, sudah sebulan sejak kamu pindah ke sini... apakah kamu sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah?"

"Aku bukan hanya belum menyesuaikan diri, tapi juga tidak ada yang mendekatiku. Sebenarnya ada apa?"

"Oh benar! Bagaimana kalau mencoba media sosial atau bertukar kontak?"

"...Sudah, tapi setiap kali aku mencoba mendekati seseorang, mereka selalu bilang ‘Aku ada urusan’. Bahkan saat aku ingin bertukar kontak, mereka langsung pergi."

"Hmm... begitu ya..."

Hatiku mencelos mendengar percakapan yang suram itu.

Perasaan nyaman yang baru saja kurasakan setelah bangun tidur lenyap seketika, digantikan dengan rasa mual yang sulit dijelaskan.

Aku seharusnya tidak mendengar ini. Aku bahkan tidak bisa membuka tirai dan keluar begitu saja. Jika saja aku berbicara lebih awal, aku bisa berpura-pura baru bangun dan langsung pergi...

Aku menarik napas perlahan, lalu memutuskan untuk menunggu dengan sabar, berharap percakapan ini segera berakhir.

"Umm, jangan ragu untuk bercerita. Aku tidak akan memberitahu siapa pun, dan kalau ada masalah, tanyakan saja apa pun padaku!"

"…Rasanya tidak enak jika terlalu bergantung pada Sensei."

"Begitu ya? Aku tidak keberatan, kok."

"…Tidak. Aku akan mengatasinya sendiri."

"Aku tahu kamu pekerja keras. Aku penasaran, sebenarnya ada apa?"

Sensei memang selalu memiliki naluri sebagai seorang pembimbing, selalu ingin membantu murid-muridnya.

Tapi kali ini, dia terlihat kehabisan kata-kata. Ini tidak biasa bagi Sensei yang biasanya tegas dan penuh percaya diri.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Kenapa semua orang menghindarinya?

Bahkan siswa di sekolah ini yang suka menantang guru atau berani pada senior, tidak akan mendapat sikap seperti ini…

Aku semakin bingung. Tak heran jika Sensei juga terlihat frustrasi.


Ketika memberikan konseling tentang hubungan antarmanusia, kita tidak akan pernah tahu di mana "ranjau" itu berada. Ini sangat sulit karena kita harus memilih kata-kata dengan sangat hati-hati.

Sebagai seorang guru, bobot dari setiap kata yang diucapkan tentu saja berbeda… jadi harus benar-benar berhati-hati.

Seperti yang diduga, aku terus mendengar suara hati yang sedih bertanya-tanya, (Bagaimana… agar dia bisa melakukannya dengan baik?).

Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas dari balik tirai, tapi suaranya terdengar begitu lemah, mungkin itu suara Sensei.

"Oh, ya! Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, apakah ada seseorang yang bisa kamu jadikan panutan? Kamu bisa mulai dengan mengamati dan menirunya."

"...Ada seseorang di kelas sebelah. Juga, ada seorang gadis yang sangat ramah dan ceria di kelasku... Tapi aku rasa aku tidak bisa menirunya."

"Di kelas sebelah… ah, Kaburagi?"

"Ya. Dia punya banyak teman. Dia baik, dan aku diam-diam mengaguminya."

"Ahh, tidak. Dia memang hebat, tapi sebenarnya dia hanya berpura-pura, tahu? Dia itu sombong dan menyebalkan, oke?"

Hei, perawat sekolah. Jangan menjelek-jelekkan aku!

Aku ingin menyela, tapi akhirnya menahan diri dan menelan kata-kata yang hampir keluar dari mulutku.

"Benarkah? Tidak seperti aku, sejauh ini aku hanya mendengar hal-hal baik tentangnya."

"Kamu tidak bisa hanya melihat dari permukaan saja, kan? Memang benar, kamu bisa banyak belajar darinya dalam skala kecil, tapi..."

"...Kalau aku menirunya, aku akan punya banyak teman, kan?"

"Ya. Nah, kalau ada kesempatan, mungkin kamu bisa menanyakan beberapa tips darinya? Kalau mau, aku bisa mengenalkanmu padanya."

"Tidak, aku akan melakukannya sendiri. Aku akan mencari temanku sendiri."

"Kamu keras kepala sekali, ya? Aku tidak tahu kenapa orang-orang di sekitarmu selalu bersikap seperti itu... hufft."

Huh?

Aku memiringkan kepala mendengar ketidaksinkronan dalam percakapan mereka.

Alur percakapan mereka terasa agak aneh…

Aku malah lebih tertarik dengan hal itu dibandingkan dengan bagaimana Sensei menjelek-jelekkan aku.

Ada jeda aneh dalam percakapan mereka.

Saat aku masih berpikir tentang hal itu, tiba-tiba terdengar bunyi 'beep' dari panggilan masuk.

"Ini dari wakil kepala sekolah. Ah, tidak… Aku lupa kalau ada rapat staf. Tapi aku lebih ingin bicara denganmu sekarang daripada menghadiri rapat..."

"...Sensei. Terima kasih atas waktunya."

"Eh? Apa kita akan bicara lagi nanti?"

"Tidak baik jika Sensei meninggalkan pekerjaan hanya demi aku."

"Tapi..."

"...Aku tidak ingin merepotkan Sensei."

Lagi-lagi terdengar nada khawatir. Sensei ingin membantu murid yang datang padanya untuk meminta saran, tapi murid ini keras kepala dan menolak untuk menerima bantuan.

Bagus sebenarnya kalau dia mau meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya, tapi masalah dalam hubungan sosial sulit diselesaikan kalau dia terlalu tertutup… Dia cenderung pasif dan perlu mengubah cara berpikirnya…

Kalau itu aku, aku akan mulai dengan membangun rasa percaya dirinya.

Setelah itu, aku akan menjelaskan perbedaan antara sikap yang harus dipertahankan dan yang perlu diperbaiki.

Aku rasa itu hal pertama yang harus dilakukan.

"Aku pasti akan baik-baik saja. Sensei akan mendapat masalah kalau terlambat."

"Mouu… Baiklah, aku mengerti. Maaf, aku akan menebusnya nanti."

Terdengar suara keluhan.

Sepertinya bagi Sensei, yang paling penting adalah menjaga komunikasi tetap terbuka dengan muridnya.

(Aku ini benar-benar tidak pantas...)

Suara hati Sensei terdengar begitu sedih.

"...Aku ingin membantu Sensei yang selalu mendengarkanku."

"Kamu tidak ingin aku menebusnya? Tidak, tidak, aku serius. Kita akan bicara lagi lain kali! Itu janji."

"…Sensei, kamu sangat baik."

"Baiklah, sampai jumpa."

Akhirnya selesai juga.

Aku hanya perlu menunggu mereka pergi sebelum keluar dari sini.

"…Aku ingin membalas budi pada Sensei."

"Eh, kamu ingin aku memberimu tugas?"

"…Apa pun itu. Aku akan berusaha sebaik mungkin."

"Kamu bahkan tidak bertanya tugasnya apa?"

"Aku senang bisa diandalkan. Aku akan melakukan yang terbaik."

"Baiklah. Kalau begitu──"

Aku bisa mendengar suara hati Sensei berkata, "Aku telah menemukan orang yang tepat untuk ini," dan tiba-tiba aku merasa tidak enak.

"Sebenarnya, ada seorang murid yang sedang tidur di sana..."

"...Murid?"

"Ya, benar. Anak itu pasti akan mencoba kabur kapan saja. Jadi bagaimana kalau kamu mengawasinya sebentar untuk memastikan dia tidak pergi? Hanya untuk sementara waktu."

"Ya, baiklah. Aku akan melakukannya. Tidak masalah."

"Maaf. Anak itu seharusnya beristirahat, tapi kalau dibiarkan sendiri, dia pasti akan memaksakan diri dan berpura-pura baik-baik saja supaya aku tidak khawatir. Aku harus mengawasinya."

"...Kalau begitu, dia hanya perlu tidur dan beristirahat."

Ups, Sensei menangkap basah aku.

Kupikir aku bisa segera pulang setelah mereka selesai bicara, tapi ternyata Sensei sudah bisa menebak rencanaku.

Dia sudah mengenalku sejak lama dan sering melihat ini terjadi, jadi tidak heran kalau dia bisa mengantisipasi gerakanku.

"Dia itu orang yang merepotkan. Dia menganggap dirinya pria baik── Ahh, wakil kepala sekolah sudah menyuruhku datang segera... Aku pergi dulu, tolong awasi dia, ya!"

"...Semoga beruntung, Sensei."

Aku mendengar Sensei pergi dengan tergesa-gesa.

Lalu tiba-tiba tirai terbuka, membuatku refleks menarik selimut dan berpura-pura tidur.

Aku mengatur napasku agar terlihat seperti sedang tidur nyenyak, seolah tidak mendengar percakapan mereka.

"...Maaf mengganggumu, ya?"

Terdengar suara yang ragu-ragu, lalu langkah mendekat ke arahku.

Apa dia benar-benar akan mengawasiku seperti yang diminta Sensei?

Tidak, kamu tidak perlu repot-repot! Pergilah saja seperti biasa!

Aku ingin mengatakan itu, tapi jelas aku tidak bisa dalam situasi ini, jadi aku hanya bisa menahan diri.

"...Kalau dia sedang tidur, aku harus diam... Umm, di mana kursinya?"

Dia sepertinya sedang mencari kursi di dekatnya.

Terdengar suara samar kursi digeser di lantai.

"Itu Kaburagi-kun yang sedang tidur. Seperti kata Sensei, dia pekerja keras dan selalu berusaha sebaik mungkin. Aku sudah tahu itu!"

Aku terkejut mendengar pujian tiba-tiba itu.

Aku segera membalikkan badan, menyembunyikan wajahku agar tidak terlihat kalau ekspresiku berubah karena kata-katanya.

"...Aku harus mengawasinya. Kalau begitu..."

Jangan bilang dia benar-benar akan duduk di sampingku dan mengawasiku?!

Tapi tadi Sensei bilang hanya sebentar, kan?

Dia tidak akan lama di sini. Aku hanya perlu tetap diam dan menunggu dia pergi.

"Aku harus menepati janji. Kontrak harus dipatuhi. Kalau melanggar, akan ada hukuman."

Eh, kamu akan segera pulang, kan?

Kenapa aku malah jadi khawatir...


──Beberapa jam kemudian.

Ketakutanku benar-benar terjadi—gadis itu masih duduk di sebelahku.

Dia terus menatapku seperti yang diperintahkan oleh Sensei.

Sesekali aku membuka mata untuk mengecek situasi. Dia akan berkedip sebentar, lalu kembali menatapku dengan tatapan tajam… terus-menerus.

Tidak mungkin, dia tidak pulang… Tidak, kenapa dia tidak mau pulang?

Aku selalu berpikir dia akan segera pergi, jadi aku tetap diam dan menunggu…

Namun, seiring berjalannya waktu, semakin sulit bagiku untuk bangun.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Aku menggerutu dalam hati dan membuka mata untuk melihat wajahnya.

Dia masih belum bergerak, dan sepasang mata besarnya yang indah terus menatapku.

"...Dia tidur nyenyak. Pasti sangat lelah. Dia pasti akan terkejut ketika bangun dan menyadari Sensei tidak ada di sini, jadi aku harus menunggu."

Aku mendengarnya lagi. Suara yang jelas.

Aku membalikkan badan dan melihatnya—di tangannya ada sebuah tablet, tapi mulutnya sama sekali tidak bergerak, meskipun aku baru saja mendengar suara itu.

Oh Tuhan, aku tidak menyangka kalau gadis yang ingin dibantu Sensei adalah Kurusu.

Aku pikir dia tipe orang yang banyak bicara tapi selalu bilang, "Aku harus diam"...

Ternyata, selama ini aku hanya mendengar suara hatinya.

Aku tidak sadar karena mendengarnya dari balik tirai.

Aku mengira dia hanya mengobrol biasa dengan Sensei, tapi ternyata tidak.

Sekarang masuk akal. Pantas saja aku tidak pernah benar-benar mendengar suaranya, dan kenapa ada jeda aneh dalam percakapan mereka.

(...Sensei keren sekali. Cara bicaranya sangat dewasa dan berwibawa, seperti seorang pebisnis. Apa aku akan terlihat lebih baik jika bisa lebih tenang seperti itu?)

Mendengar suara hatinya yang jujur dan polos, aku mulai berpikir kapan waktu yang tepat untuk bangun.

Aku tidak pernah berinteraksi dengan Kurusu sebelumnya, tapi dalam waktu singkat aku menyadari bahwa dia orang yang sangat serius. Dia benar-benar mengikuti instruksi Sensei.

Dan... dia hampir tidak pernah berbicara.

Atau lebih tepatnya, Kurusu Rurina sama sekali tidak bicara.

Dia adalah murid baru yang datang sekitar bulan Februari dan langsung menarik perhatian seluruh sekolah.

Dia jarang berbicara, tidak terlalu ramah, tatapan matanya tajam dan dingin. Ada juga rumor bahwa dia anak seorang bos mafia. Beberapa orang bahkan bilang dia suka menulis hal-hal aneh yang sulit dimengerti.

Karena itu, banyak orang memilih untuk menghindarinya. Tidak ada yang tahu kenapa dia tidak bicara... Dia seperti gadis penuh misteri.

Kalau ada yang bertanya kenapa dia diam, jawaban yang selalu muncul adalah "karena sial".

Bahkan ada rumor kalau dia bisa mengutuk orang... tapi tidak ada yang tahu apakah itu benar.

Aku sendiri hanya pernah melihatnya beberapa kali di lorong, dan karena kami berbeda kelas, aku tidak pernah berusaha mengenalnya lebih jauh.

Saat mendengar rumor tentangnya, aku hanya merespons dengan "Oh, begitu ya?" tanpa benar-benar peduli.

Tapi setelah mendengar suara hatinya, aku sadar... Jangan percaya rumor begitu saja.

Memang benar dia tidak berbicara, seperti yang diceritakan dalam gosip. Tapi suara indah yang kudengar tadi adalah suara aslinya, yang berarti semua rumor buruk itu tidak benar.

Aku masih tidak tahu kenapa dia memilih untuk diam, tapi satu hal yang pasti:

Kurusu Rurina bukan orang jahat. Dia hanya kesulitan berkomunikasi.

Aku melirik wajahnya lagi tanpa ketahuan.

Dia masih menatapku dengan ekspresi datar seperti sebelumnya, tapi di dalam pikirannya, dia berpikir tentang banyak hal.

(...Dia pusat perhatian di kelas sebelah. Orang-orang memanggilnya 'Riajuu'... Tidak, lebih tepatnya ‘Raja Normie’. Hmm, kalau diperhatikan, bulu matanya panjang juga. Aku ingat ada teman sekelasku yang pernah bilang, "Dia benar-benar tipeku." Ya, pasti dia populer... Dia baik, pintar, jago olahraga, dan memperlakukan semua orang dengan adil. Pria ideal... Aku harus mengamati dan belajar darinya...)

T-Tolong jangan terlalu banyak memujiku... Aku jadi malu sendiri.

Aku tetap pura-pura tidur, berusaha menyembunyikan ekspresiku yang mulai aneh karena terlalu banyak mendapat pujian darinya.

(...Aku ingin berbicara dengannya saat dia bangun. Pertama-tama, aku ingin berterima kasih. Haruskah aku bilang 'Terima kasih'? Atau cukup 'Makasih'? Hmm, ya, keduanya terdengar baik.)

Tunggu, maksudnya apa "keduanya terdengar baik"? Aku bahkan tidak tahu kenapa dia ingin berterima kasih padaku.

Tapi sekarang aku paham—Kurusu adalah orang seperti ini.

Ekspresinya tetap datar dan matanya tetap terlihat tajam, tapi suara batinnya penuh dengan ketulusan.

Dan... dia juga sangat cantik.

Ketika berada sedekat ini dengannya, aku bisa merasakan auranya yang begitu lembut...

Tidak mungkin aku tidak menyadarinya.

Dia terlihat dingin, tapi sebenarnya sangat manis.

Kurusu masih menatapku dan berpikir dalam hati, "Apa dia sudah bangun?" sambil mengamati wajahku.

"............"

(Aku tahu dia masih tidur. Aku senang Sensei mempercayaiku, jadi aku akan tetap mengawasinya.)

Kalau dia memang orang jahat, mungkin aku bisa mengabaikannya.

Tapi sekarang setelah aku tahu seperti apa hatinya yang sebenarnya, aku merasa bersalah karena sudah berpura-pura tidur.

Banyak orang yang terlihat baik, tapi sebenarnya penuh kepalsuan dan kebohongan...

Aku lebih suka orang yang asli, bukan orang yang hanya berpura-pura baik.

Aku menghela napas.

Ini tidak ada gunanya.

Lebih baik aku menyerah dan mulai bicara dengannya, sebelum rasa bersalah ini menghancurkanku...

"Fuaahh. Tidurku nyenyak sekali. Sekarang saatnya bangun."

Aktingku sangat buruk.

Kurusu menatapku dengan mata lebar dan terlihat sangat terkejut begitu aku bangun. Dia membeku di tempat.

Dan tiba-tiba───

(...Dia mencoba kabur. Tidak boleh.)

"Eh...!?!?"

Aku terjatuh ke tempat tidur.

Kurusu menindihku dengan kekuatan yang cukup besar hingga membuatku sulit bergerak.

"............"

Kami berdua saling menatap dalam diam.

{TL: Aku juga mau  (˵ ͡° ͜ʖ ͡°˵).}

Perasaan lembut di dadaku dan aroma yang menyegarkan. Aku kebingungan dengan perilakunya yang tak terduga.

Uh, tunggu, bagaimana ini bisa terjadi?

Biasanya, aku tidak akan bergerak karena aku tahu apa yang akan dilakukan orang di hadapanku.

Aku bisa tetap tenang dan melawan jika dia mencoba menipuku atau mempermainkanku.

Tapi karena dia bergerak lebih dulu sebelum aku bisa berpikir, aku tidak bisa melakukan apa pun.

Karena itu, jantungku berdebar lebih kencang dari sebelumnya.

Aku tidak terbiasa dengan serangan seperti ini... pikirkan sesuatu, cepat.

Aku menutup telingaku dan mencoba menenangkan diri.

Namun, semakin aku mencoba, semakin keras detak jantungku saat mengingat kejadian tadi.

Aku membuka mataku dan menatapnya. Dia sedang menulis "terima kasih" di layar tabletnya sambil memegang permen cokelat di tangannya, seolah ingin menunjukkan rasa terima kasihnya.

"...Umm. Aku tidak mengerti semua ini."

(Aku hanya ingin bilang terima kasih... Apa dia mengerti pesanku?)

"Aku tidak perlu menerima ucapan terima kasih... Atau mungkin aku harus meminta maaf atas situasi ini... Bagaimanapun, kau tidak perlu menahanku, kan?"

[Tidak boleh kabur] (...karena Sensei melarangnya)

"Tidak apa-apa. Aku tak akan lari, bolehkah aku bangun?"

Aku tersenyum pada Kurusu, berusaha untuk tidak terlihat kesal. Dia menanggapinya dengan sedikit memiringkan kepala.

[Benarkah?] (...kau terlihat lelah)

"Benar. Maksudku, kita sebaiknya mengubah posisi ini dulu."

[Kenapa?]

"Kenapa, ya... ada banyak alasan... dan posisi ini agak memalukan, bukan?"

Kurusu sepertinya akhirnya menyadarinya dari ekspresiku yang tidak nyaman.

Matanya membesar, lalu dia menjauh dariku.

Kemudian, dia menulis kata "maaf" dalam bahasa Jepang di tabletnya dan menoleh ke arahku dengan ekspresi datar seperti biasanya.

Namun, dalam hatinya...

(...Aku melakukannya. Aku membuat kesalahan... Aku akan dihukum...)

Dia tampak sangat tertekan.

Melihatnya seperti itu, aku tidak bisa marah padanya.

Sebaliknya, aku bertanya-tanya kenapa dia begitu khawatir.

Jadi, aku berkata, "Aku mengerti kau khawatir dengan keadaanku. Terima kasih," dengan maksud menenangkannya.

Kurusu menundukkan kepala. Ekspresinya tidak berubah, tapi dia tampak sedikit lebih santai setelah mendengarnya.

Kupikir masalah ini sudah selesai, tetapi entah kenapa, dia masih menolak permintaanku.

"Aku boleh bangun?"

Kurusu menunjukkan tabletnya dengan tulisan [Jangan bangun].

"Tidak, sudah gelap di luar. Kita harus pulang, kan?"

[Pertanyaan bodoh] (...jangan membantah. Aku melarangnya...)

"Yah, aku sangat sehat, tahu? Aku sudah tidur terlalu lama dan sekarang tidak bisa tidur lagi."

(...Orang yang berusaha terlalu keras biasanya sedang mencoba menyembunyikan sesuatu)

Dia menatapku curiga tanpa berkata-kata.

Aku bisa melihat bahwa dia benar-benar tulus dan hanya khawatir...

Hanya karena Sensei memintanya tidak berarti dia tidak bisa lebih fleksibel! Tapi di sisi lain...

"Bukankah kita terlalu dekat?"

[Pertanyaan konyol] (...teruslah mengamati. Jangan lewatkan perubahan sekecil apa pun)

"Aku merasa tidak nyaman dengan itu..."

Aku terkekeh dan mengalihkan pandangan darinya.

Serius amat, sih!

[Janji itu mutlak]

"Kau tidak harus seserius itu."

[Hukuman] (...melanggar janji adalah kesalahan besar)

"A-Aku mengerti..."

Kenapa dia begitu keras kepala dan serius...?

Dari usahanya yang tulus, aku bisa melihat dia hanya ingin melakukan yang terbaik, dan itu malah membuatku semakin sulit memahaminya.

Jika dia seperti ini setiap hari, tak heran dia punya reputasi buruk. Wajahnya yang tanpa ekspresi hanya akan membuat orang lain salah paham.

Saat kupikirkan lagi, semua hal baik tentangnya terasa sia-sia.

Meskipun aku sudah menyadarinya sekarang, membiarkan hal ini berlalu begitu saja... huh.

Aku menggaruk kepalaku dan mengangkat bahu.

"Kau Kurusu dari kelas sebelah, kan?"

Kurusu membelalakkan mata dan mengangguk pelan.

Dia tampak terkejut karena aku mengenalinya.

"Kau sering ke UKS?"

Setelah jeda singkat, Kurusu hanya menulis [Saat di sekolah] di tabletnya dan menunjukkannya kepadaku.

Setelah itu, kami tidak berbicara dan hanya saling bertukar pandang.

Dalam hatinya, dia berpikir, "Aku senang dia mengenaliku," tetapi aku tidak bisa merasakan kegembiraan itu dari ekspresinya. Hanya dalam beberapa menit sejak kami mulai berbicara, aku sudah cukup memahami kenapa orang-orang merasa canggung dengan Kurusu.

Aku mengerti. Ini bisa terasa kikuk, kan?

Kecepatan percakapan harus melambat karena komunikasinya tertulis, dan teksnya singkat karena dia berusaha merespons secepat mungkin.

Selain itu, ada jeda saat dia memilih kata-kata yang tepat; mereka yang tidak sabar menunggu mungkin akan pergi sebelum dia selesai menulis.

"Hei, karena kita sudah di sini, bagaimana kalau kita ngobrol sebentar? Kalau kau mau."

───Keheningan tidaklah canggung bagiku.

Kurasa aku tergerak oleh kepribadiannya yang canggung namun jujur.

Karena aku bisa memahami hatinya, itulah sebabnya aku mengatakan itu.

Dia menerima ajakanku, dan dengan ekspresi datarnya, dia buru-buru menulis di tabletnya.

[Dengan senang hati]

Dia menunjukkan tulisan itu padaku... tapi dia terlihat agak gelisah, seolah ingin mengatakan, "...Apa kau yakin?"

Seperti yang kukatakan sebelumnya, dia selalu memikirkan orang lain sebelum dirinya sendiri.

Aksinya yang menahanku tadi juga didasarkan pada rasa perhatiannya, jadi... kurasa tidak ada salahnya mencoba mengenalnya lebih jauh.

"Senang mendengarnya. Ngomong-ngomong, aku sudah sehat sekarang, oke? Nih, lihat ototku sebagai bukti!"

(...Fufufu. Kaburagi-kun, kau lucu)

Lelucon yang tidak berhasil pada Sensei sebelumnya tampaknya berhasil pada Kurusu.

Dia tetap tanpa ekspresi, tetapi bibirnya sedikit bergerak.

Suasana menjadi lebih santai dengan lelucon bodoh itu, dan aku pun memutuskan untuk memulai percakapan dengannya.

"Baiklah, mari kita mulai dengan yang mudah. Bagaimana kalau kita saling memperkenalkan diri?"

[Baik. Aku ahli dalam hal ini] (Perkenalan diri... ini membuatku gugup. Aku tidak pandai dalam hal ini, jadi apa yang harus kukatakan...?)

Apa yang dia tulis dan pikirkan sungguh berbeda...


Setiap bulan, sekolah mengadakan kegiatan sukarela untuk membersihkan lingkungan sekitar gedung sekolah. Semua siswa boleh ikut serta, tetapi karena diadakan pada hari Minggu, pesertanya tidak terlalu banyak.

"Hari ini tidak berbeda dari biasanya."

Beberapa siswa hadir, termasuk aku. Setiap kelas mendapat tugas di lokasi tertentu, dan kelompokku terdiri dari lima orang. Kami hanya berkumpul saat pertemuan awal, lalu bekerja dalam diam.

Kami mulai seperti biasa, tapi tiba-tiba...

(...Ayo lakukan yang terbaik. Apa yang harus kulakukan?)

Sebuah suara lembut terdengar di telingaku. Tubuhku bereaksi spontan karena aku mengenali suara itu. Aku menoleh dan melihat Kurusu berdiri di depanku, mengenakan jersey dan membawa kantong sampah.

Kurusu mengikat rambut panjangnya dengan kuncir kuda. Kakinya yang ramping terlihat semakin indah dengan pakaian olahraganya. Dia terlihat sangat cantik meskipun hanya mengenakan jersey.

Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi secepat ini. Saat itu, aku hanya berkata "Sampai jumpa lagi" tanpa berpikir panjang, tapi sekarang kami benar-benar bertemu lagi.

Kurusu menunjukkan keseriusannya dengan ikut serta dalam kegiatan ini meskipun ia baru saja pindah ke sekolah ini. Setelah berbicara dengannya, aku sadar bahwa dia bukan tipe orang yang berusaha menarik perhatian. Itu bukan hal yang buruk, tapi tetap saja terasa kurang tulus.

Aku mencoba memahami apa yang ada di pikirannya. 

(...Aku tidak tahu apakah ini ide yang bagus, tapi aku yakin ini akan membantu. Aku harus mengumpulkan energi... Fyuh!)

Semangatnya begitu tulus. Suaranya yang lembut dan penuh motivasi seakan mengguncang perasaanku.

Tidak ada yang salah dengan hatinya... Tidak, sungguh. Aku merasa bersalah karena masih hidup dengan cara yang kurang jujur.

Saat aku larut dalam pikiranku, Kurusu tampaknya menyadari keberadaanku dan melirikku sebentar sebelum cepat-cepat mengalihkan pandangannya. 

(...Kaburagi-kun. Dia membersihkan sekolah di hari liburnya... Aku menghormatinya. Sosok yang patut dikagumi. Seorang santo?) {TL: Santo = orang suci}

Mendengar isi hatinya, aku merasa seluruh energiku terserap. Perbedaan antara ekspresi datarnya dan isi hatinya benar-benar menggemaskan.

Kurusu, yang tidak menyadari perasaanku, terus berbicara dalam hati. 

(...Aku tidak tahu apakah ini saat yang tepat. Bolehkah aku bertanya padanya? Tapi mungkin akan mengganggunya jika aku tiba-tiba berbicara... Aku harus menemukan guru... Oh, dia tidak ada... Aku kesulitan.)

Aku terdiam. 

(...Aku harus melakukannya sendiri. Aku akan mencoba membersihkan semuanya... Aku harus melakukan yang terbaik.)

"Yo, Kurusu. Lama tidak bertemu."

(...Tidak mungkin. Dia berbicara padaku...)

Dia tampak terkejut. Aku tidak bisa mengabaikan ini. Jika aku membiarkannya, hatiku tidak akan tenang.

Kurusu terlihat senang, meskipun ekspresinya lebih tegang dari biasanya. Namun, tatapannya begitu kuat. Jika aku tidak bisa mendengar isi hatinya, aku mungkin hanya akan melihat seseorang dengan wajah tanpa ekspresi.

Aku menunggu Kurusu mengetik di tabletnya sambil tetap tersenyum. 

【Halo】 (...Aku sangat senang. Terima kasih, Tuhan.)

"Oh. Kamu terlihat baik hari ini..."

【Baik】 (...Aku sangat bersemangat. Rasanya seperti bisa terbang. Aku harus melakukan yang terbaik.)

"Begitu ya. Bagus kalau begitu. Hari ini pasti melelahkan. Ayo kerja keras bersama."

(...Ya. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membantumu.)

"Oh, kamu mengangguk banyak kali sekarang. Ngomong-ngomong, kenapa kamu ada di sini?"

【Sukarelawan】

"Aku pikir kegiatan seperti ini terlalu melelahkan. Tapi Kurusu hebat."

【Aku suka bersih-bersih】 (...Langkah demi langkah. Aku ingin melakukan yang terbaik.)

"Baiklah, aku mengerti."

Sial... Seperti biasa, kebaikannya terlalu memikat! Aku tidak percaya dia sampai berterima kasih kepada Tuhan untuk hal kecil seperti ini.

Saat aku berbicara dengannya, aku mendengar beberapa siswi berbisik di dekatku. "Itu murid baru, kan? Kaburagi-kun bersamanya. Apa dia baik-baik saja?"

"Benar. Aku sih ogah mendekat. Tatapannya mengintimidasi."

"Mungkin dia dihukum?"

"Mungkin. Kalau Kaburagi-kun kesulitan, harusnya kita bantu, ya?"

"Jangan. Kita tidak tahu bagaimana reaksinya."

Mereka pikir mereka berbisik, tapi kami bisa mendengar mereka. Aku tidak suka perilaku seperti ini.

Aku menatap Kurusu. Ekspresinya tetap datar, tapi tangannya yang memegang tablet sedikit menegang.(...Aku tidak mau merepotkan siapa pun... Aku harus menjauh. Kaburagi-kun bisa disalahpahami juga.)

Kurusu membungkuk dan berbalik pergi. Dia ingin tetap di sini, tapi tidak mau menggangguku. Ia sangat canggung dan selalu mengutamakan orang lain.

Aku meletakkan tanganku di pundaknya. "Hei, bagaimana kalau kamu ikut denganku hari ini?"

Kurusu berhenti dan menatapku. Ia ingin menolak agar tidak merepotkanku, tapi aku segera berbicara lagi agar dia tidak kabur. "Ini pertama kalinya kamu ikut kegiatan ini, kan? Akan lebih baik jika kamu melaluinya denganku. Aku sudah sering ikut, jadi aku bisa membantumu."

Dia menatapku dan berkedip beberapa kali. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung meminta izin ke guru untuk membimbing Kurusu. Setelah mendapat izin, aku berbicara dengan para siswi yang bergosip tadi. "Kami akan membersihkan belakang sekolah. Kurusu ingin melakukan yang terbaik karena ini pertama kalinya baginya. Aku akan membimbingnya, jadi jangan khawatir, ya."

"Oh... Kalau begitu, baiklah..."

"Terima kasih. Semangat juga, ya."

Aku kembali menatap Kurusu dan tersenyum. "Ayo pergi. Kita butuh alat pemotong rumput dan sepatu bot. Tanpa itu, akan sulit membersihkan area belakang."

(...Kenapa?)

"Jangan bengong, ayo!"

Aku memberi isyarat, dan dia mengikuti dengan langkah ragu. Saat sampai di belakang gedung, aku berusaha mencairkan suasana. "Aku instrukturmu hari ini, jadi jangan remehkan pekerjaan ini."

Kurusu tampak bingung. 【Kenapa?】 (Kenapa dia begitu baik padaku?)

Ia menatapku dengan mata besarnya. Aku tidak punya niat khusus. Aku hanya ingin membantu karena aku bisa mendengar suara hatinya. Aku sering mendengar pikiran orang-orang yang biasanya tidak seindah itu. Tapi Kurusu... dia berbeda.

"Aku hanya mengikuti egoku sendiri, sesederhana itu."

Kurusu mengangguk pelan. "Baiklah, ayo mulai." 【Aku akan membalas kebaikanmu nanti】 (...Aku juga ingin melakukan sesuatu untuknya.)

"Kurusu? Aku bilang tidak perlu."

【Ditolak】

"Eh..."

Kenapa dia begitu keras kepala? Aku menghela napas. "Baiklah. Kita kerja sama, ya?"

【Aku akan ikut denganmu】

"Kamu seperti samurai!" Aku tertawa, dan kami mulai bekerja bersama.


Dua jam telah berlalu sejak kami mulai bekerja. Aku dan Kurusu terus membersihkan dalam diam.

Mengumpulkan sampah, mencabut rumput liar, dan menyapu daun yang berserakan. Pekerjaan ini sulit dan melelahkan, tapi Kurusu yang tulus bekerja keras tanpa mengeluh atau berkomentar sedikit pun.

Kalau ada yang melihat kami, mereka pasti hanya bisa berpikir satu hal: sunyi.

Seorang pria dan wanita bekerja bersama, tetapi tidak ada sedikit pun suasana romantis di antara mereka.

Tapi ada alasannya. Kurusu tidak bisa menggunakan tabletnya untuk berkomunikasi sambil bekerja, jadi dia terpaksa diam.

Ya, dari sudut pandang orang lain, mungkin itu saja yang terlihat.

Tapi dari sudut pandangku, yang kudengar hanyalah suara gesekan sampah yang masuk ke dalam kantong... sama sekali tidak sunyi.

(...Aku ingin berbicara dengannya. Tapi tidak sopan berbicara sambil bekerja. Hanya sebentar... tidak, tidak, aku harus berusaha. Setidaknya untuk mengucapkan terima kasih...)

Ya, aku juga bisa mendengar suara orang di sampingku ini—dia bertanya-tanya dalam hati dan khawatir akan banyak hal.

Sulit bagiku untuk memulai percakapan saat aku mendengar pergulatan batinnya seperti ini...

Biasanya, aku selalu mengambil inisiatif untuk berbicara dengan orang lain, tanpa berpikir terlalu banyak.

Tapi kali ini, aku bisa mendengar suara asli Kurusu—suara yang polos dan tanpa kepura-puraan. Jika aku berbicara seperti biasanya, rasanya aku seperti memanfaatkan kepolosannya, dan itu membuatku merasa bersalah.

Aku menoleh ke arahnya. Saat itu, mata kami bertemu.

Tatapannya tajam dan dingin. Sekilas, orang pasti akan berpikir, Apa aku melakukan sesuatu yang salah?

Tapi—

(...Mata bisa berbicara lebih dari kata-kata. Dia adalah orang baik pertama yang berbicara denganku di sekolah. Aku ingin mengenalnya. Aku benar-benar ingin berbicara dengannya...)

Aku tahu alasan dia menatapku seperti itu, jadi aku tidak salah paham.

Namun, jika hanya melihat ekspresinya, senyuman itu terlihat menyeramkan dan mengancam.

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

(Aku ingin berbicara dengannya. Aku senang bisa bersamanya. Kalau aku ingin dia berbicara denganku, aku harus memberikan sesuatu yang menarik baginya...)

Tunggu, apa benar kita butuh keuntungan hanya untuk berbicara dengan seseorang?

Kurasa tidak. Percakapan itu hal alami yang bisa dilakukan siapa saja...

Aku penasaran apa yang akan dia lakukan, jadi aku mengamatinya.

(Membicarakan hal lucu, komedi... komedi berarti lelucon... gachan... benar?). {TL: Ane ga terlalu ngerti maksudnya cuma ada yang mirip Gachon (がちょーん) adalah lelucon pop dari komedian Jepang, Ken Shimura. Biasanya digunakan saat situasi kejutan, mirip seperti "Oh no!" atau "Whaaat?!" dalam bahasa Inggris.}

Astaga... pilihan leluconnya kuno sekali!

Dan ekspresi malunya... kenapa dia bisa terlihat begitu menggemaskan?!

Aku hampir kehilangan kendali atas perasaanku, tapi aku menahannya sekuat tenaga.

Namun, Kurusu yang tidak menyadari gejolak emosiku terus berpikir keras dalam hatinya, seakan mencari cara untuk mendekatiku.

(Oh... tapi bagaimana kalau Kaburagi-kun tidak suka lelucon? Kalau begitu, aku coba strategi permen... Haruskah aku memberi Kaburagi-kun cokelat? Atau jus jeruk, karena sekarang musim dingin? Umm, tapi jus jeruk bukan permen, kan? Tapi aku hanya punya permen sekarang. Apa boleh memberi jus jeruk? Itu bagus untuk tenggorokan, kan... ya!)

Tolong hentikan...

Pikirannya melompat-lompat ke mana-mana, tapi ketulusannya benar-benar menyentuh hatiku.

Kebaikan yang polos dan jujur ini terasa manis dan menusuk hatiku.

Tapi apa yang harus kulakukan?

Aku mengusap wajah dan menghela napas berat.

Lalu Kurusu mendekat, mengambil tabletnya, dan mulai mengetik.

【Benda merah ini adalah serangga】 (...Ayo tunjukkan betapa pintarnya aku!)

"Hehe. Kurusu tahu banyak hal, ya~"

【Cangkang jangkrik bisa digunakan sebagai obat】 (...Fufufu... sekarang dia menganggapku pintar!)

"Eh... aku baru tahu itu."

Aku mengangguk, berpura-pura terkesan, sambil berusaha menyembunyikan ekspresi yang hampir hilang dari wajahku.

Kurusu tampaknya senang dengan reaksiku, lalu menulis sesuatu lagi di tanah.

【Aku akan memberimu permen】 (...Baiklah, ayo tersenyum lebar!)

Tapi... dia benar-benar tidak pandai tersenyum!!!

Aku tersadar kembali dan melihatnya pergi untuk mengambil permen.

(Langkah pertama: tunjukkan pengetahuanku... Aku ingin orang-orang menganggapku memiliki kelebihan. Aku ingin bisa berbicara lebih banyak... Bagaimana cara berteman... apakah aku bisa punya teman...?)

Suara hatinya masih terdengar jelas, dan kata-katanya menusuk jiwaku.

Teman... Bagaimana cara berteman...

Kurusu ini benar-benar orang yang kikuk, ya.

Aku bisa melihat betapa keras dia berusaha agar diterima orang lain, meskipun metodenya... agak aneh, seperti mencoba membuatku tertawa atau memberi permen.

Sayangnya, dengan selera humor dan kepribadiannya yang unik, dia mungkin akan kesulitan mendapatkan teman. Mungkin justru kesulitan itulah yang membuat cara berpikirnya jadi sedikit berbeda.

Dia memiliki wajah yang cantik, alami, dan segar. Bisa dibilang dia memiliki kecantikan alami, tapi... ah, sungguh sayang sekali.

Aku menghela napas dan menatapnya yang masih mencoba mencari topik pembicaraan.

"Kurusu, aku ingin bicara sedikit tentang pilihan topikmu..."

(Dia mau berbicara denganku... Aku senang.)

"Begini, maaf kalau aku terlalu blak-blakan, tapi menurutku kamu tidak perlu menunjukkan kepintaranmu seperti ini."

【Tidak boleh?】

"Bukan begitu, tapi ada waktu yang tepat untuk membicarakan hal seperti itu. Kalau tiba-tiba bicara soal fakta aneh kepada orang yang belum terlalu kamu kenal... terutama tentang serangga, bisa jadi malah membuat mereka tidak nyaman."

(Oh tidak...)

Kurusu terdiam seketika. Bahkan saat aku melambaikan tangan di depannya, dia tetap membeku. Dalam pikirannya, dia merasa gagal.

"Oh, maaf. Aku tidak bermaksud melarang semuanya. Pengetahuan itu sendiri tidak buruk... tapi sebaiknya digunakan dalam situasi yang tepat."

Kurusu tampak terkejut dengan saranku, lalu menundukkan kepala.

Dia benar-benar berusaha keras. Akan sia-sia kalau usahanya mengarah ke jalan yang salah.

Dia menatapku, seolah bertanya, "Lalu apa yang harus kulakukan?"

"Untuk sekarang, jangan terlalu memaksakan diri. Kurusu yang sekarang sudah baik. Tentu saja, tanpa fakta serangga yang tadi."

【Mengecewakan】 (Bagaimana kalau orang menganggapku tidak pintar?)

"Kurusu, kamu tetap menarik kok. Tidak semua orang ingin bicara dengan orang yang pintar saja."

Kurusu termenung, lalu perlahan mulai memahami sesuatu.

Dari sanalah, kisahku dengan gadis pendiam ini dimulai.


<Prev [ToC] Next>

Komentar