[LN] Takou no Koori Hime wo Tasuketara, Otomodachi Kara Hajimeru Koto ni Narimashita - V1 Bab 2

Bab 2

Terdengar bunyi gedukan pelan, dan kereta pun berguncang sedikit.

Saat aku menoleh ke samping, di sana dia—wajahnya terlihat sekitar tiga puluh persen lebih bahagia dari biasanya.

"Kok bisa begini?"

"Kenapa? Ada apa?"

"...Nggak apa-apa."

Dia menyadari tatapanku dan menatapku balik dengan mata biru tuanya yang penuh rasa ingin tahu.

Tapi saat aku menggeleng pelan, tatapannya kembali seperti biasa.

Di tangannya, dia memegang sebuah payung putih yang dibungkus plastik agar tidak basah.

Sekarang, aku dan dia—Shinonome Nagi—sedang dalam perjalanan menuju rumahku.

Sebelumnya, aku menolak ajakan belajar dari Shinonome karena aku sudah janji belajar bareng dengan teman-temanku, Eiji dan pacarnya.

Waktu itu aku bilang, "Aku pasti akan ganti waktu lain, tinggal bilang aja kapan. Biasanya aku nggak sibuk, jadi kalau dadakan pun nggak masalah."

Sebenarnya, hari ini aku memang tidak ada rencana lain. Karena aku tinggal sendiri, rumahku kosong.

Dan kalau ada yang bertanya apakah itu masalah—tentu saja, iya.

Terutama karena rumahku kosong, dan itu bukan hal sepele.

Orang pasti langsung paham maksudnya kalau mendengar seorang gadis datang ke rumah cowok yang tinggal sendirian.

Tentu saja, aku tidak punya niat melakukan hal aneh apa pun.

Lagipula, dia kan punya trauma terhadap laki-laki, bukan?

"Shinonome."

"Ya? Ada apa?"

"Kamu naik kereta ke sekolahku, kan? Kamu nggak terlalu memaksakan diri?"

Shinonome punya trauma terhadap pria—dan itu bukan hal sepele.

Dia bahkan merasa cemas hanya dengan menjalani aktivitas harian seperti biasa.

Bahkan menghabiskan satu hari sendiri pun bisa jadi hal yang sangat melelahkan buatnya.

"Kalau kamu tanya aku baik-baik aja atau nggak... aku nggak bisa bilang aku baik-baik aja."

Mata birunya menatapku langsung. Tanpa berbohong, dia menjawab dengan jujur.

"Tapi memang benar kok, aku mulai membaik sedikit demi sedikit. Sekarang justru aku lebih takut kalau Minori-kun yang sakit..."

"...Maaf, ya."

"Jangan minta maaf. Ada kata-kata lain yang lebih ingin aku dengar dari Minori-kun."

Saat aku hendak menundukkan kepala sedikit, ucapannya langsung menghentikanku.

Bibirnya mengulas senyum lembut, dan dia menunggu penuh harap pada kata-kata yang akan aku ucapkan.

"Terima kasih sudah jemput aku sambil bawa payung."

***

"Silakan masuk. Sebenarnya rumahnya sudah aku rapikan… tapi maaf ya kalau masih agak berantakan."\

"Ah, nggak apa-apa kok. Justru aku yang tiba-tiba pengen mampir. Aku masuk ya."

Aku membuka pintu dan mempersilakan Shinonome masuk ke dalam rumah.

"Ini rumahmu ya, Minori-kun. Lumayan luas juga, ya?"

"Ini tipe 1LDK. Memang cukup luas untuk ukuran anak SMA yang tinggal sendiri. Tapi kata ayah dan ibu, ‘Kami pengen kamu merasa nyaman kalau teman-temanmu datang main.’"

"Begitu ya. Orang tuamu baik banget, ya."

"Iya, aku bersyukur banget punya orang tua seperti mereka… Ini ruang tamunya. Habis aku simpan barang-barang, nanti aku tunjukin kamar mandi sama dapurnya juga."

"Makasih, ya."

Setelah mengantar Shinonome melihat-lihat sebentar dan mencuci tangan, kami kembali ke ruang tamu.

Dia duduk di sofa, kelihatan agak canggung. Aku juga merasa sedikit kikuk.

"Kamu gugup, ya?"

"Iya, sedikit. Ini pertama kalinya aku masuk rumah seseorang… apalagi rumah laki-laki."

Pertama kali, ya...

Mendengar itu malah bikin aku jadi ikut tegang. Dari cara dia ngomong, kelihatannya aku memang jadi teman pertamanya. Jadi ini juga pertama kalinya dia datang ke rumah teman. Aku harus pastikan, jangan sampai pengalaman ini jadi kenangan buruk buat dia.

Saat aku sedang memikirkan itu, aku sadar kalau Shinonome sedang menatapku.

"Um, Minori-kun. Boleh duduk di sebelahku?"

Katanya sambil menepuk tempat kosong di sampingnya di sofa.

Tubuhku sempat menegang, tapi dia buru-buru menjelaskan lagi.

"Ah, maksudku… Minori-kun kan selalu ada di sampingku… Aku merasa lebih tenang kalau kamu duduk dekat-dekat."

Ah, aku hampir mengeluarkan suara saking kagetnya.

Makanya tadi rasanya agak canggung.

"...Kita berdua sama-sama begitu, ya."

"Iya, sama-sama."

Melihat ekspresi puas di wajah Shinonome, aku pun ikut tersenyum... tanpa sadar.

"Minori-kun juga merasa begitu?"

Akhirnya aku menghela napas pelan dan duduk di sampingnya. Rasa canggung perlahan-lahan menghilang.

"Rasanya lebih alami duduk di sini."

"Hehe, kita cocok, ya?"

Shinonome tersenyum malu-malu. Rasa malu itu lebih kecil dibandingkan rasa bahagianya.

"Ngomong-ngomong, kita sempat ngomong soal ‘hadiah’ kan?"\

Aku mengalihkan pandangan, mencoba mengingat pembicaraan kami sebelumnya.

"...Kita memang udah belajar keras banget. Menurutmu gimana?"

"Iya, aku rasa begitu juga. Aku banyak berterima kasih sama kamu, Shinonome."

"Kita belajar keras bareng. ...Jadi, boleh aku mulai?"

Suara Shinonome terdengar sedikit lebih nyaring dari sebelumnya. Saat aku menoleh padanya, aku tak bisa memalingkan pandangan.

Kulitnya yang sejak awal seputih salju kini memerah bening seperti permata.

Bibirnya yang lembut berwarna merah muda mulai membentuk kata-kata. Lalu, dia menarik napas dalam-dalam dan...

"A-aku… aku pengen kamu elus kepalaku dan bilang kalau aku hebat."

Dia mengatakannya.

Sejenak aku bertanya-tanya, apakah bagian otakku yang memproses bahasa baru saja rusak. Karena aku benar-benar nggak nyangka dia bakal bilang itu. Tapi… benarkah begitu?

Aku nggak boleh buru-buru menghakimi. Kalau Shinonome sudah ngumpulin keberanian buat minta itu, aku nggak boleh nolak.

"Oke. Tapi boleh aku tanya dulu kenapa kamu pengen itu?"

"…! Makasih."

Dia mengucapkan terima kasih sambil pipinya makin merah, lalu melanjutkan dengan ekspresi serius.

"Kamu pernah dengar, kan, soal ajaran ayahku? Bahwa aku nggak boleh menunjukkan kelemahan ke orang lain."

"Ah, iya. Kamu pernah cerita soal itu."

"Ya. Jadi… sejak kecil aku selalu berusaha bersikap kuat dan anggun. Jadi… meskipun agak memalukan untuk aku ngomong sendiri, aku bahkan nggak pernah manja, bahkan ke keluargaku sendiri."

...Aku ngerti sekarang.

"Dulu aku pikir, hidup tanpa pernah manja ke siapa pun juga nggak apa-apa. Begitu pikiranku, sebulan yang lalu."

Mata birunya yang mengingatkanku pada laut, menatapku dalam-dalam, seolah bisa menyerapku sepenuhnya.

Pipi lembutnya yang biasanya terlihat rapuh… kini terlihat lebih tenang.

"Kamu pernah bilang, ‘Aku nggak akan pernah mengkhianati Shinonome. Jadi aku pengen kamu nunjukin dirimu yang sebenarnya.’ Kamu masih ingat?"

Ah, aku memang pernah bilang itu. Dan itu bukan kebohongan.

Saat aku mengangguk, ekspresi wajahnya terlihat lega.

"...Sebenarnya, aku ini orangnya agak moody."

"Moody, ya?"

"Iya. …Aku pikir, mungkin sekarang aku bisa menunjukkan sisi itu ke Minori-kun."

Dengan suara pelan, dia bergumam dan perlahan menggenggam tanganku—tapi seolah kehilangan kekuatan, tangannya kembali turun ke pangkuannya.

"Selama ini aku sudah berusaha keras. ...Makanya, aku ingin manja, setidaknya sama kamu, Minori-kun."

Kata-katanya lembut, tapi terasa langsung menembus hatiku.

Untuk menghapus rasa takut itu, aku mengulurkan tangan.

"Aku rasa Shinonome memang benar-benar berusaha keras."

Kusentuhkan tanganku ke rambutnya yang putih seperti salju. Dengan selembut mungkin… walaupun aku nggak tahu bagaimana cara yang benar untuk mengelus kepala seseorang, aku melakukannya pelan-pelan.

"Meski aku belum kenal Shinonome terlalu lama, usahamu sangat terlihat. Setiap gerakanmu begitu anggun, dan cara bicaramu lembut. Kamu pintar, dan itu semua berkat kerja kerasmu."

Banyak orang bisa belajar dan memahami sesuatu. Tapi Shinonome bisa mengajarkan kembali dengan sangat mudah—itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan semua orang.

"Kamu luar biasa, Shinonome. Kamu benar-benar sudah berusaha keras. Dan usahamu itu sudah banyak membantu aku."

Aku sampaikan rasa terima kasihku dari lubuk hati.

"Terima kasih."

Tubuhnya sedikit gemetar. Matanya yang tampak dari balik rambutnya terlihat agak basah. Tapi dia sama sekali nggak mencoba menyembunyikan wajahnya.

"Nggak apa-apa. Kamu bisa lakukan apa pun yang kamu mau."

"...Boleh aku bersandar di dadamu sebentar?"

"Boleh."

Perlahan, dia menyerahkan tubuhnya padaku hingga akhirnya rebah dengan tenang. Tangannya menggenggam bajuku erat.

"Terima kasih, Minori-kun."

Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar karena tertahan kain pakaianku.

"Nggak apa-apa kok."

Aku rasa, ini adalah hal terbaik untuk Shinonome saat ini.

Seperti yang kuduga, tawa kecil keluar dari balik pelukanku.

Dan begitu saja, kami tetap dalam posisi itu selama sepuluh menit.

***

"Aku sudah menunjukkan sisi diriku yang nggak pantas dilihat."

Nggak, kok. Sama sekali nggak kelihatan buruk. ...Aku juga senang karena kamu percaya padaku."

Aku bicara pada Shinonome yang pipinya sedikit memerah.

"Tapi... maaf, aku sampai mengotori seragammu."\

"Kamu nggak perlu khawatir soal itu. Lagipula, nanti aku cuci sendiri. Aku tahu kamu pasti kepikiran, jadi aku ganti baju dulu, ya. Tunggu sebentar."

Aku meninggalkan Shinonome sebentar untuk mengganti baju. Masuk ke kamarku sendiri… dan bersandar di pintu, aku duduk lemas.

"...Ini bahaya, dalam banyak hal."

Sisi dirinya yang cuma dia tunjukkan padaku. Cara dia manja seperti itu. Padahal biasanya dia selalu terlihat anggun dan cantik.

Aku tahu, ini mungkin bukan situasi yang seharusnya. Tapi aku merasa senang—karena bisa melihat sisi lain dari dirinya.

Sepertinya kehangatan ini… masih akan terus terasa untuk beberapa waktu.

***

"Aku sudah menunjukkan sisi diriku yang nggak pantas dilihat." 

"Nggak, kok. Sama sekali nggak kelihatan buruk. ...Aku juga senang karena kamu percaya padaku."

Aku bicara pada Shinonome yang pipinya sedikit memerah. 

 "Tapi... maaf, aku sampai mengotori seragammu." 

"Kamu nggak perlu khawatir soal itu. Lagipula, nanti aku cuci sendiri. Aku tahu kamu pasti kepikiran, jadi aku ganti baju dulu, ya. Tunggu sebentar." 

Aku meninggalkan Shinonome sebentar untuk mengganti baju. Masuk ke kamarku sendiri… dan bersandar di pintu, aku duduk lemas. 

 "...Ini bahaya, dalam banyak hal." 

 Sisi dirinya yang cuma dia tunjukkan padaku. 

Cara dia manja seperti itu. Padahal biasanya dia selalu terlihat anggun dan cantik. 

Aku tahu, ini mungkin bukan situasi yang seharusnya. 

Tapi aku merasa senang—karena bisa melihat sisi lain dari dirinya. 

Sepertinya kehangatan ini… masih akan terus terasa untuk beberapa waktu.

Aku tanpa sadar mengalihkan pandangan. Rasanya menyakitkan. Tatapan tajam yang menembus pipiku terasa menusuk. Ini situasi yang nggak bisa kuhindari.

"...Biasanya aku makan di luar atau beli bento di minimarket."

"Minori-kun, boleh aku tanya sesuatu?"

Ah, nadanya berubah. Sedikit terdengar seperti marah.

"Aku jarang banget beli makanan di luar atau di minimarket, jadi aku nggak terlalu tahu soal kualitasnya. Tapi... kamu memperhatikan asupan gizi waktu makan, Minori-kun?"

"...Aku sih cuma makan apa yang aku suka."

"Begitu, ya."

Shinonome memegang dagunya, seperti sedang berpikir dalam-dalam.

"Kalau untuk makan siangmu gimana?"

"Biasanya aku cuma beli camilan di kantin."

"......Begitu."

Shinonome menghela napas pelan.

"Kamu mulai tinggal sendiri sejak masuk SMA, kan?"

"Iya."

"Kalau begitu, wajar sih kalau kamu kadang nggak sempat masak. Aku sendiri belum pernah tinggal sendirian, jadi nggak tahu rasanya. Makanya... aku juga bingung mau bilang apa."

Kata-katanya membuatku sedikit lega. Tapi cuma sebentar.

"Tapi, itu urusan lain. Makanan itu sumber kehidupan, lho. Kalau terus kayak gini, bisa-bisa tubuh Minori-kun jadi bermasalah suatu saat nanti."

"......Iya, sih."

"Jadi, aku punya ide. Tapi sebelumnya, aku selesaikan dulu persiapannya."

Shinonome mengencangkan celemek yang dia pakai, lalu mengeluarkan ikat rambut dari saku. Dengan cekatan, dia mengikat rambutnya ke belakang. Gerakannya luwes dan penuh pengalaman.

Pemandangan kayak gini sering aku lihat di manga, tapi ternyata saat lihat langsung... auranya beda banget.

Tapi begitu tatapan Shinonome mengarah ke aku, aku langsung duduk tegak lagi.

"Setiap Sabtu siang, aku akan masak untukmu. Dan selama hari sekolah, aku akan bawakan bento. Gimana? Bisa dianggap sebagai ‘hadiah’ juga, kan?"

"Apa!?"

Aku terkejut mendengar kata-katanya, sampai suaraku jadi agak keras.

"Eh, nggak, nggak... itu juga—"

"Walau kamu bilang nggak, aku tetap akan lakukan, kok. Anggap aja ini lebih dari sekadar ‘hadiah.’"

Shinonome tetap bersikeras, meskipun aku udah mencoba menolak.

Aku mulai bertanya-tanya, kenapa sih dia sampai segitunya? Tapi sebelum aku sempat tanya, dia udah menjelaskan duluan.

"Sebenarnya... aku suka masak."

"Oh, gitu ya."

"Dan tahu nggak? Masak untuk satu atau dua orang itu hampir sama aja. Malah kadang lebih gampang buat dua. Soalnya kalau cuma untuk satu orang, suka ada bahan sisa."

"Serius?"

"Ya, tentu saja."

Kata-kata Shinonome membuatku nggak bisa berkata apa-apa.

Aku benar-benar berterima kasih. Aku udah banyak berhutang budi padanya, dan sekarang... apa pantas kalau aku menambah utang lagi?

"Gimana kalau kamu coba dulu masakanku sebelum memutuskan?"

Melihat aku yang bingung, Shinonome pun memberi usul.

"Aku yakin kamu bakal bilang, 'Aku mau makan ini lagi,' dengan penuh percaya diri."

Sambil berkata begitu, Shinonome tersenyum jahil—sesuatu yang jarang banget aku lihat darinya.

***

"Wow..."

Tanpa sadar, aku terdiam, terpaku menatap hidangan yang terhidang di meja.

Sudah berapa lama ya… sejak terakhir kali aku melihat kari disajikan seperti ini?

"Kamu lebay deh. Ini cuma kari, kok."

"Nggak, aku sama sekali nggak kepikiran buat masak kari di rumah."

"Itu bisa jadi benar sih. Soalnya kalau tinggal sendiri, bikin kari itu bisa-bisa kamu makan terus selama beberapa hari."

Memang, akhir-akhir ini aku mulai coba masak sendiri. Tapi semuanya masakan sederhana. Aku belum pernah bikin kari.

"Ayo makan, sebelum dingin."

"Iya."

Kami berdua duduk di meja makan, lalu mengucapkan doa makan bersama.

"Selamat makan."

"Ya, aku juga. Selamat makan."

Saat itu juga, perutku bunyi keras, dan aku menelan ludah karena aroma rempahnya yang menggoda.

Aku mulai dengan mengambil sedikit nasi dan kari. Uap panas mengepul dari nasi, jadi aku tiup pelan sebelum menyuapkannya ke mulut.

"…!"

Rasanya pedas menyengat lidah, dan hangat. Nasi yang lembut menyeimbangkan rasa pedasnya.

Daging dan sayurnya terasa sampai ke dalam, membangkitkan selera makan.

"…Enak banget."

"Ah, aku senang kamu suka."

Sepertinya Shinonome memperhatikanku makan. Waktu dia dengar aku memuji, dia tersenyum lega.

Aku terus makan, suapan kedua, ketiga.

Dagingnya empuk banget, langsung hancur waktu digigit. Kentangnya juga enak, agak pedas sampai lidahku panas.

"Masih ada, kok. Makan sepuasnya ya."

Shinonome menatapku hangat sambil bilang begitu, lalu ikut meniup makanannya sebelum menyantapnya.

"Ini luar biasa. Enak banget, Shinonome."

"Ah. Terima kasih."

"Aku yang seharusnya bilang terima kasih. Makasih banyak, ya."

Rasanya sudah lama banget sejak terakhir kali aku makan makanan yang hangat dan penuh rasa seperti ini.

Semakin aku makan, perutku kenyang, dan hatiku juga terasa hangat.

"Enak banget. Beneran."

"Kamu nggak perlu ngulang-ngulang, aku udah bisa lihat dari ekspresi wajahmu."

Waktu aku mengulang pujian itu, dia tersenyum hangat.

Aku menyentuh pipiku, penasaran apakah wajahku memang memperlihatkan semuanya... tapi aku sendiri nggak yakin.

"Kamu juga bisa bikin hal kayak gini, ya."

Aku tertawa kecil melihat Shinonome—bukan mengejek, tapi lebih karena malu sendiri.

Selama makan, dia tampak bahagia hanya dengan melihat aku menikmati makanannya.

"Ngomong-ngomong, aku bisa masak macam-macam, lho. Terutama masakan ikan dan masakan Jepang, itu spesialitasku. Tapi kalau kamu punya permintaan, masakan apa aja pun bisa aku coba buatkan."

Aku menelan kari yang barusan kumakan.

Shinonome membusungkan dadanya dengan bangga, bibirnya terangkat membentuk senyum percaya diri.

"Gimana? Boleh aku yang buatin bekal makan siang untukmu?"

Mendengar kata-katanya itu... aku sudah nggak bisa menolak lagi.

"…Tolong, ya."

"Siap! Aku akan tanggung jawab penuh!"

Dia menepuk dadanya pelan dengan tinjunya dan tersenyum puas sekali.

***

Senin. Ujian sudah selesai, dan seharusnya ini waktu yang tepat buat bersantai sedikit.

Seharusnya, tapi kenyataannya aku malah sangat sibuk.

"Kamu kelihatan capek. Sepertinya pagi ini lumayan kacau, ya? Aku beliin cola, nih."

"Ah, makasih. Dan makasih juga buat pagi tadi."

Minggu lalu, Shinonome... si "Putri Es", datang ke sekolahku.

Dan sejak aku berbagi payung dengannya, banyak murid yang bertanya ini-itu padaku.

Omong-omong, Eiji waktu itu cuma berdiri di samping... tapi dia bantu di saat yang tepat.

Caranya menghindari situasi biar nggak tambah rumit itu benar-benar bijak.

"Kayaknya kita pindah tempat makan, deh. Susah makan di sini."

"Setuju."

Aku mengangguk menanggapi kata-kata Eiji, lalu mengangkat tas ke pundakku.

***

Di kaki tangga yang mengarah ke atap, tempat yang sering digunakan untuk mengungkapkan perasaan.

Menurut Eiji, tidak ada yang berencana menggunakannya hari ini. Itulah sebabnya kami datang ke sini; kami ingin membicarakan hal-hal yang tidak ingin didengar oleh orang lain.

Meskipun terasa aneh duduk di bangku di tempat yang biasanya digunakan untuk pengakuan cinta, lebih baik tidak memikirkannya.

"Ah, aku lupa pergi ke toko. Mau ikut?"

"...Tapi, hari ini aku bawa makan siang."

"Hah? Makan siang? Apa kamu masak? Hah? Bukan makanan dari toko serba ada, kan?"

Saat aku bingung harus bagaimana, aku meletakkan kotak makan siang di pangkuanku. Eiji terlihat terkejut dan membuat suara bingung sesekali.

Memang wajar. Eiji tahu aku tidak pernah memasak. Bahkan, dia sering mengundangku dengan berkata, "Kalau kamu nggak mau masak, kamu bisa makan di tempatku."

"Heh, heh, heh. Jangan bilang itu yang aku pikirkan."

"Aku bisa menebak apa yang kamu bayangkan... Lebih atau kurang, memang seperti itu..."

"Kamu serius?"

Ini adalah situasi di mana aku nggak bisa memberi alasan. Karena Eiji juga tahu tentang Shinonome, aku harus jujur. Aku boleh membicarakannya.

"Ah, aku baru-baru ini ketahuan. Bahwa aku nggak bisa masak."

"Oh? Dia tahu? Gimana dia bisa tahu?"

Wajahnya tersenyum nakal. Sepertinya dia sudah menebak sesuatu.

"...Siapa tahu?"

"Harusnya karena kamu nggak pakai minyak atau bumbu, kan?"

"Kamu punya kekuatan supernatural apa sih?"

Menakutkan bagaimana dia bisa menebak begitu spesifik.

...Sebenarnya, ada alasan lain juga. Tapi aku nggak bisa menceritakannya.

Shinonome pernah memakai apron di dapurku... Dia memakai apron itu.

"Tidak ada bau parfummu sama sekali."

Kata-kata gadis itu terngiang di kepalaku. Meskipun aku hampir bisa melupakannya.

"Hah? Jadi, ada alasan lain juga?"

"Jangan cuma baca pikiran orang."

Eiji tertawa terbahak-bahak. Aku nggak bisa membalasnya yang bilang aku mudah dimengerti, dan membuka kotak makan siangku.

"Wow, ini rumit banget, ya?"

"Benar... Aku nggak nyangka sampai sejauh ini."

Nasi yang ditaburi sedikit garam wijen, ada daging sapi dan burdock yang dimasak dengan kecap dan gula, fillet ikan goreng putih, labu rebus, dan omelet, membuatnya terlihat sangat berwarna.

"Ini luar biasa banget."

"Aku nggak tahu."

"Bukan itu... Aku nggak akan percaya kalau nggak lihat wajahmu."

"Aku akui memang ada perbedaan besar dari biasanya."

Aku nggak akan percaya kalau aku bilang pada diriku di bulan April dulu tentang Shinonome. Bahwa si ‘Putri Es’ ini bakal masakin makan siang buat aku, dan lebih nggak mungkin lagi kalau aku bakal sering ngepukin kepalanya.

Aku juga nggak bakal bilang ke Eiji tentang hadiah yang aku kasih buat dia, karena dia pasti bakal ngejek aku.

Dan setelah ngobrol sampai sejauh itu, kami berdoa bersama. Eiji mungkin terlihat ceria di luar, tapi dia serius soal hal-hal kayak gini.

"Enak banget."

Semur yang manis dan pedas itu menyatu dengan nasi dengan sangat baik. Ikan putihnya juga sangat lembut, dengan bumbu yang pas.

"Kamu makan cepet banget. Biasanya kan kamu makan yang simpel-simpel aja?"

"Begitu ya?"

Aku mulai makan lebih pelan setelah kata-kata Eiji.

"Nggak, maksudku, itu bagus. Kalau kamu makan makanan sesedap ini, orang yang masak juga pasti puas."

"...Iya."

Nggak perlu berpura-pura di depan Eiji, jadi aku makan lagi, tapi tetap terasa tatapan mengejek dari dia.

"Yuk, kita ngobrol. Kapan sih kamu dekat sama si ‘Putri Es’ itu?"

Aku sudah mengantisipasi pertanyaan ini. Aku juga sudah pernah ngobrol tentang ini sama Shinonome, dan aku sudah memutuskan sejauh mana aku akan membicarakannya.

"Pernah ada waktu aku bantuin Shinonome. Sejak saat itu, kami jadi teman yang saling mengajarkan pelajaran."

"Kamu bohong. Lebih dari sekadar pelajaran, dia bahkan jemput kamu pas hujan, dan masakin kamu makan siang... itu lebih dari sekadar teman. Kirika aja nggak pernah masakin aku makan siang."

"Kami bukan pacaran. Itu karena Shinonome... dia nggak banyak teman, jadi dia sangat menghargai aku."

"Tapi... yaudah, kalau kamu bilang gitu, nggak apa-apa."

Eiji menelan kata-kata yang ingin dia ucapkan. Sepertinya dia lagi ngasih aku keringanan. Itu bikin aku kaget.

"Jadi? Kamu suka sama dia?"

"Ngggh."

"Maaf, maaf. Timing yang buruk."

Aku tersedak karena ada sebutir nasi yang tersangkut di tempat yang aneh. Sepertinya Eiji nggak berniat memaksakan pertanyaan itu lagi, dan dia menepuk punggungku.

"Kamu..."

"Maaf. Tapi tahu nggak, aku memang nggak suka nanya yang nggak langsung."

"...Itu memang benar."

Aku menghela napas dan meminum teh. Aku memandang makan siangku.

"Aku nggak tahu, atau lebih tepatnya, aku nggak bisa bilang pasti."

Aku tertawa pada diriku sendiri saat bilang itu.

"Karena aku belum pernah jatuh cinta sama siapa pun. Ini juga pertama kalinya aku punya teman."

"Kirika ada, kan?"

"Nishizawa itu pacarnya Eiji, tapi dia juga temanku. Sebenernya, aku nggak seharusnya menunjukkan perasaan lebih dari sekadar persahabatan sama dia. Tapi perasaan aku ke Shinonome jelas berbeda... Meski begitu, aku nggak tahu apakah itu ‘suka.’"

Kalau aku bener-bener suka sama dia, aku harus terus menyembunyikannya... Karena kalau aku bisa ada di sampingnya sekarang, itu karena kepercayaan. Aku nggak boleh punya niat lain.

"Hmm, paham. Yaudah, nggak apa-apa."

Mungkin jawabanku nggak menarik. Namun, kata-kata Eiji nggak bisa dianggap tidak peduli.

"Kamu masih punya waktu. Aku rasa kamu bisa pelan-pelan nentuin."

"...Iya."

"Ah, tapi dengerin ini."

Aku kira pembicaraan udah selesai, tapi Eiji sepertinya ingat sesuatu dan menatapku. Karena ekspresinya serius, aku langsung menaruh sumpit.

"Dalam sepuluh tahun. Kamu mau siapa yang ada di samping ‘Putri Es,’ di samping Shinonome Nagi?"

"...Itu..."

"Kamu nggak perlu jawab sekarang. Cukup pikirkan di dalam hati, dan kalau kamu nemuin jawabannya, itu udah cukup."

Aku menutup mulut yang udah terbuka. Aku terus berpikir.

Sepuluh tahun dari sekarang.

Membayangkan diriku dengan Shinonome yang sudah dewasa. Kalau... ada orang lain yang ada di sampingnya...

Aku tahu kemungkinan itu lebih besar.

Shinonome itu wanita yang cantik dan pekerja keras, sangat menarik. Pasti ada orang yang serupa yang akan ada di sampingnya.

Tapi, cuma membayangkannya aja rasanya seperti pisau menusuk hatiku. Di saat yang sama, sebagian besar hatiku dikuasai oleh perasaan. Tidak, itu... nggak bisa. Itu nggak boleh.

...Aku ingin itu jadi aku. Itu yang aku pikirkan.

***

"Bagaimana kalau kita tukar kontak?"

Di dalam kereta pulang, setelah sampai di tempat biasa bersama Shinonome, aku langsung bertanya padanya.

"Apakah boleh?"

"Aku yang tanya duluan... Ah, yaudah. Lihat, kalau kita tukar kontak, semuanya bakal lebih mudah."

"Kalau kamu ada waktu senggang, bisa jadi teman ngobrolku juga nggak...?"

"Tentu saja. Aku juga punya waktu senggang... bakal menyenangkan ngobrol."

"Kalau gitu, tolong ya! Aku memohon!"

Shinonome mengeluarkan ponselnya dari tas dan menatapku. Meskipun aku agak terkejut dengan kegigihannya, akhirnya kami tukar kontak meskipun prosesnya terasa asing untuk kami berdua.

"Dan selesai!"

Shinonome melihat ponselnya dengan senyum.

"Sebenarnya, aku juga pengen bilang ini. Aku pengen tukar kontak."

"Serius?"

"Iya. Jadi, aku senang banget."

Shinonome dengan penuh kasih memeluk ponselnya ke dadanya. Melihat itu, aku merasa senang sudah mengatakannya dari hati.

"Ah, sekadar memastikan, aku bakal kirim sesuatu."

Mungkin itu untuk melihat apakah kami bisa saling kirim pesan dengan lancar. Tak lama, sebuah stiker dikirim. Stiker itu menunjukkan seekor kucing hitam yang melambai dengan sopan.

"Ah, sudah terkirim dengan baik."

Sebagai balasan, aku mengirim stiker anjing putih, dan mata Shinonome berkilau.

"Minori-kun, kamu suka anjing?"

...Anjing?

"Iya, aku suka."

"Aku juga suka banget! Aku cinta keduanya, anjing dan kucing!"

Dengan kata-kata itu, aku menutup mataku sejenak. Hanya sebentar.

"Suatu hari, aku ingin pergi ke tempat di mana kita bisa berinteraksi dengan hewan, seperti kafe kucing."

"Iya, suatu hari kita pergi."

Saat aku merasakan hatiku hangat lagi dari cara dia berbicara tentang hewan, aku akhirnya mengangguk.

***

Malam itu, aku menerima pesan dari Shinonome.

[Bisakah aku minta waktumu sebentar?]

Aku bertanya-tanya, ada apa ya? Dengan pikiran itu, aku mengeluarkan ponselku.

[Ada apa?]

[Aku mau menelepon kalau bisa, boleh?]

[Aku nggak keberatan]

Kalau dipikir-pikir, dia memang sempat bilang saat perjalanan pulang tadi, kalau dia ingin meneleponku saat ada waktu senggang.

Beberapa detik setelah aku mengingat itu, sebuah panggilan masuk.

"Halo, Minori-kun. Selamat malam."

"Ah, Shinonome. Selamat malam. Ada apa?"

Aku bertanya, bertanya-tanya apa yang dia perlukan, tapi tak ada jawaban.

Saat aku mulai merasa ini mungkin pertanda buruk, akhirnya aku mendengar suaranya.

"...Aku ingin mendengar suaramu, Minori-kun. Boleh nggak?"

Aku menatap langit-langit dan memejamkan mata dalam diam.

Apa sih alasan nggak masuk akal ini?

"Yah, nggak ada salahnya juga. Aku juga lagi ada waktu senggang kok."

"Syukurlah..."

Suaranya terdengar seperti keluar tanpa sengaja. Ini pertama kalinya aku mendengar dia bicara tanpa bahasa formal. Dadaku terasa hangat oleh sebuah gelombang emosi.

Begitu aku berhasil menenangkan diri, aku mendengar tawanya.

"Itu tadi suara Minori-kun. Minori-kun benar-benar ada di sana."

"Oh, iya. Aku di sini."

Ini pertama kalinya aku menelepon seseorang selain keluargaku—kecuali Eiji. Rasanya agak lucu karena aku sekarang sedang bicara di telepon dengan Shinonome.

"Sebenarnya, aku biasanya udah di tempat tidur jam sembilan."

"Itu cepat banget."

Kalau aku sih, biasanya tidur lewat tengah malam. Jadi aku nggak tahu itu terlalu cepat atau wajar buat anak SMA.

Shinonome menjawab, "Iya," dengan suara sedikit lebih tinggi dari biasanya.

"Aku bangun jam lima pagi. Rutinitasku bikin bento dan latihan tari tradisional Jepang."

"...Keren banget."

Tentu saja, latihan menarinya mulai pagi-pagi banget. Tapi ada satu hal yang menggangguku.

"Tolong jangan terlalu memaksakan diri soal bekalku, ya."

"Ah, nggak, nggak! Sama sekali nggak merepotkan! Kayak yang udah aku bilang, bedanya masak buat satu orang sama dua orang tuh nggak terlalu besar."

Sepertinya dia nggak sedang berusaha terlihat baik saja... "Lebih dari itu," katanya. Suara gemuruh halus terdengar dari ponsel.

"Aku ingin bilang sesuatu."

Aku memejamkan mata sebentar. Aku bilang ke diri sendiri kalau aku nggak perlu menebus apa pun, lalu membuka mata lagi.

"Makan siang tadi enak banget. Kalau bisa, aku mau makan itu tiap hari."

"Iya! Serahkan saja padaku. Besok, aku bakal bikin bento yang super enak, jadi tungguin, ya!"

"Oh. Aku nggak sabar nunggu."

Kupikir percakapan akan selesai di situ.

"Ngomong-ngomong, Minori-kun. Kapan hasil ujianmu keluar?"

"Eh? Oh iya. Kayaknya sebagian besar hasilnya bakal keluar minggu depan. Susunan tempat duduk juga diumumin minggu depan."

"Punyaku juga kayaknya begitu. Jadi, gimana kalau kita saling kasih tahu hasilnya hari Sabtu nanti? Kamu ada waktu?"

"Oh, aku bebas. Berarti hari itu, ya."

"Iya! Aku bakal masak makanan enak banyak-banyak!"

Hasil ujian kali ini seharusnya jauh lebih baik. Semoga nilai bahasa Inggris Shinonome juga meningkat.

Aku cuma sempat ngajarin dia sedikit.

"Ah, Minori-kun, tolong kasih tahu makanan favoritmu, ya... Boleh juga sekalian bahan-bahannya. Aku mau jadikan referensi buat ke depannya."

"Hmm? Ada beberapa sih…"

Aku menjawab pertanyaan Shinonome. Sebenarnya, aku nggak punya makanan yang aku benci, tapi memang banyak makanan yang aku suka. Setelah ngobrol agak lama, reaksi Shinonome mulai melambat.

"Aku juga sih. Ada makanan yang kurang kusuka…"

Dia menguap, dan setiap kata yang keluar makin berat. Aku melihat jam, lalu menunggu dia selesai bicara sebelum menanggapi.

"Udah lewat jam sembilan, maaf ya. Kamu sebentar lagi tidur, kan?"

"...Hoam. Nggak nyangka masih ngantuk juga... Ugh."

Seolah nggak bisa menahannya lagi, sebuah suara menguap kecil terdengar.

"Aku masih pengen ngobrol sama Minori-kun."

Aku menahan napas mendengar kata-kata itu.

Dari lubuk hatiku, aku bersyukur Shinonome nggak ada di depanku sekarang.

Wajahku pasti memalukan banget kalau dilihat orang saat ini. Aku mematikan suara ponsel beberapa detik dan menarik napas dalam. Detak jantung dan panas di wajahku nggak banyak berubah, tapi aku berhasil menenangkan napasku.

"Besok masih ada kelas, kan?"

"Boleh aku telepon lagi besok?"

"Boleh. Aku juga ada waktu luang sekarang."

Dan aku ingin sedikit membalas. Soalnya cuma aku yang kelihatan gugup begini... Rasanya Shinonome terlalu pintar.

"Aku juga pengen ngobrol sama Shinonome."

"Tidak. Berarti kita sama-sama, ya."

Tapi serangan balikku malah dibalas dengan senyuman manis... Aku tetap kalah.

Nggak, barusan aku ngomong apa? ...Mungkin ini efek kata-kata Eiji kemarin.

Aku lalu memaksa pikiranku beralih. Aku nggak bisa bikin dia begadang terus.

"Sampai besok. Selamat malam, Shinonome."

"...Selamat malam, Minori-kun."

Tak lama kemudian, terdengar napas yang teratur. Bahkan suara kantuknya terdengar begitu jernih.

Aku pelan-pelan menutup telepon agar tidak menimbulkan suara, lalu menjatuhkan diriku ke kasur.

"Huh?"

Aku berniat mengeluarkan semua perasaan yang berputar di dadaku sekaligus. Tapi ternyata nggak semudah itu.

Beberapa emosi tetap meluap dari dalam.

Nggak penting-penting amat sih, tapi kalau aku punya bantal peluk, mungkin sudah kupeluk erat sekarang.

"Kamu tuh... imut banget, ya?"

Aku nggak bisa menahan kata-kata itu keluar.

Lalu cepat-cepat menggeleng kuat untuk menahan suara gaduh dari hatiku sendiri.

Sepertinya aku tak akan bisa tidur dalam waktu dekat.

***

Sudut Pandang Nagi

Aku tiba di sekolah dan masih ada waktu luang. Aku mengeluarkan ponsel dan membuka daftar kontakku. Namanya langsung muncul di urutan paling atas.

"Apa yang biasanya kamu lakukan kalau ada waktu luang di sekolah, Minori-kun?"

"Akhir-akhir ini, aku biasanya belajar atau ngobrol sama Eiji. Soalnya Eiji suka banget ngobrol sama orang lain."

"Kedengarannya seru juga, ya. Aku sendiri biasanya baca buku."

Waktu aku mengirim pesan ke Minori, dia langsung membalas.

Saat kami berkomunikasi seperti itu, rasanya seperti kami sedang bersama, dan itu membuatku senang.

Saat itu, aku merasakan ada seseorang berdiri di depanku.

Waktu aku menengadah, aku melihat seorang gadis berdiri di sana, ekor kuda keemasannya bergoyang lembut di punggungnya.

"Pagi, Shinonome-chan."

"Oh, selamat pagi, Hayama-san."

Aku langsung mengabari Minori bahwa Hayama sudah datang, lalu menyimpan ponselku.

"Ah, maaf ya. Aku nggak bermaksud ganggu."

"Tidak, tidak apa-apa."

Aku berusaha tetap terlihat tenang, tapi sepertinya orang yang kuberi pesan tadi menyadari sesuatu.

"Jadi, kalian sudah tukeran kontak, ya? Apa kamu yang ngajak duluan, Shinonome-chan?"

"Terima kasih atas dukungannya. Tapi bukan aku, kok. Dia yang ngajak duluan."

"Oh ya? Wah, dia yang ngajak duluan. Bagus, dong."

Aku senang mendengar kata-kata hangat dari Hayama-san dan mengangguk.

"Pipi kamu sekarang kelihatan lebih lembut."

"……! Ah, terima kasih."

"Secara pribadi, aku suka kamu yang seperti ini. Tapi buat kamu, Shinonome-chan, mungkin lebih baik tetap hati-hati."

"Aku setuju."

Ini bahaya. Waktu aku mulai ngomongin dia, aku jadi menunjukkan perasaanku yang sebenarnya. Aku harus lebih hati-hati.

"Ngomong-ngomong, kayaknya waktu itu semuanya berjalan lancar, ya?"

"Oh iya, aku belum sempat ngabarin. Tapi ya, semuanya berjalan lancar. Terima kasih."

Hari Jumat lalu: keputusan supaya Minori bisa sekolah dibuat setelah diskusi dengan Hayama-san.

Dalam waktu dekat, kalau ada kesempatan, aku ingin mampir ke SMA tempat Minori sekolah. Mungkin ini agak nekat, tapi sepertinya dia lupa bawa payung.

"Ah, aku pengen ngobrol soal itu, tapi tunggu sebentar. Sebelumnya, kita tukeran kontak dulu, yuk."

"Benar juga. Maaf ya, aku lupa soal itu."

"Bukan, bukan hal yang penting kok. Cuma... aku kaget aja, soalnya ini pertama kalinya aku nolak tukeran kontak. Padahal aku tahu alasannya."

Sebelumnya, Hayama-san sempat memintaku tukeran kontak, tapi aku menolaknya. Alasannya sederhana—karena keegoisanku sendiri.

Teman pertamaku... dan juga cowok pertama yang membuatku merasakan sesuatu.

Kalau ini adalah pertama kalinya aku tukeran kontak, aku ingin melakukannya dengan Minori.

Waktu aku jujur memberi tahu alasanku, kupikir Hayama-san akan marah. Tapi dia malah tertawa dan bilang, "Nggak apa-apa, aku ngerti kok."

Akhirnya aku tukeran kontak dengan Hayama-san, yang terlihat sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Wajahku pun sedikit melunak saat melihat kontak teman baruku masuk ke ponsel.

"Yosh! Sekarang kita resmi jadi teman, ya?"

"Iya. Maaf udah bikin kamu nunggu."

"Nggak masalah kok, tenang aja."

Waktu aku bilang aku ingin akrab dengan Hayama-san, aku sempat menyebutkan kalau Minori-kun adalah teman pertamaku. Saat itu aku sudah siap dimarahi, tapi ternyata tidak.

Sebaliknya, Hayama-san malah banyak bertanya agar bisa membantuku berteman dengannya.

Sudah lama sekali rasanya, tapi sekarang aku akhirnya bisa berteman juga dengan Hayama-san.

"Hayama-san, kalau ada yang ingin kamu tanyakan atau bicarakan, silakan hubungi aku, ya."

"Hmm, pasti. Aku bakal kabari kamu kalau lagi luang. Sekarang kita bisa jalan bareng kapan aja."

"Ajak aku, ya. Aku bakal senang sekali."

Saat itu, Hayama-san menulis sesuatu di ponselnya. Di saat yang sama, ponselku bergetar.

Tatapan Hayama-san berpindah dari ponselku ke wajahku, seolah menyuruhku untuk melihat isinya.

Aku pun mengambil ponselku, agak penasaran karena merasa ini rahasia.

[Waktu itu, banyak yang ngomong soal Shinonome-chan yang berbagi payung sama cowok. Gimana tuh?]

Oh... jadi itu alasannya kenapa aku merasa diperhatikan lebih dari biasanya.

[Aku pikir, akan lebih baik kalau rumor itu disebar aja. Supaya Shinonome-chan jadi lebih dikenal.]

Aku membaca ulang pesan itu, lalu mengangguk pelan.

"Ngomong-ngomong, katanya Shinonome-chan berbagi payung sama cowok dari sekolah lain Jumat lalu. Itu bener nggak?"

Begitu Hayama-san mengatakan itu, suasana di kelas langsung ramai. Beberapa suara terdengar di sekelilingku.

"Eh, aku juga denger tuh."

"Jangan bilang itu bener... bilang aja itu bohong."

"Masa sih? Dia beneran berbagi payung sama cowok?"

"Nggak, nggak mungkin. Itu kan ‘Putri Es,’ kan? Pasti salah lihat aja."

Padahal mereka sama sekali nggak tahu apa-apa soal aku, tapi mereka langsung menarik ucapan mereka.

Aku jadi bertanya-tanya... dari semua orang di sini, berapa banyak yang benar-benar akan membantuku saat itu, tanpa maksud tersembunyi?

Mungkin... Hayama-san adalah salah satunya, pikirku sambil mengangguk pelan.

"Kalau itu memang benar."

Suasana di kelas jadi makin riuh. Hayama-san menatapku lekat-lekat.

"Eh? Emangnya kenapa kamu sampai berbagi payung sama dia?"

Kali ini, kelas yang tadi berisik langsung hening. Semua menunggu jawabanku.

"Aku dengar dia lupa bawa payung, jadi aku menjemputnya."

"Hah? Dia sepenting itu buat kamu?"

Aku tanpa sadar tersenyum melihat Hayama-san yang sengaja bertanya seperti itu.

Orang yang penting, ya...

"Iya. Dia orang yang penting buatku. Aku nggak mau dia sampai masuk angin."

"Hmm... tapi tetep aja, nggak banyak orang yang rela jemput seseorang dari sekolah lain. Tapi ya, kalau dia memang sepenting itu..."

Hayama-san sengaja menekankan kata "penting." Aku mengangguk dalam-dalam menanggapi itu.

Suasana kelas kembali dipenuhi bisik-bisik. Dan beberapa menit kemudian, guru akhirnya harus memberi teguran.

Sesuai rencana Hayama-san, jumlah orang yang memandangku dengan tatapan sinis—atau yang tiba-tiba ingin menyatakan cinta—jadi jauh berkurang.

***

Hari Sabtu. Pengumuman tempat duduk akan dilakukan minggu depan.

Aku menyiapkan makan malam di rumahnya, menerima hadiahnya, lalu pulang. Minori dengan baik hati mengantarku ke stasiun dan menemani aku sampai aku turun.

"Terima kasih banyak sudah mengantarku."

"Tidak masalah. Tapi jangan khawatir, ini bagian dari janji pertama kita."

Meskipun aku mengangguk mendengar kata-kata baiknya, aku memutuskan untuk tidak pernah melupakan rasa terima kasihku padanya.

"Sampai jumpa hari Senin."

"Oh, iya, Senin. Kamu yakin nggak masalah aku berjalan sejauh ini?"

"Tidak masalah. Supir akan menjemputku."

Aku menerima rasa terima kasih itu dengan tulus. Sebenarnya aku sangat ingin dia ikut ke rumahku, tapi aku tidak bisa memaksanya melakukan itu.

Selain itu, aku rasa terlalu cepat untuk memperkenalkan dia pada ayahku.

"Mari kita banyak bicara sebelum tidur malam ini, Minori-kun."

"Ah, ah. Aku akan baik-baik saja."

Aku mulai menantikan malam itu lagi. Aku melihatnya naik kereta, lalu berjalan menuju pintu keluar stasiun.

Aku segera menemukan mobil begitu aku keluar dari stasiun. Mobilnya hitam dan terlihat mahal.

Sebenarnya itu adalah mobil mewah.

Namun, begitu aku melihat kursi pengemudi, ketegangan langsung menyebar di punggungku.

Tiba-tiba, kehangatan yang sebelumnya memenuhi seluruh tubuhku menghilang. Ya, bukan hanya tubuhku.

Aku membiarkan kehangatan terakhir itu hilang... Tidak apa-apa.

Saat aku duduk di kursi belakang, mataku bertemu dengan matanya melalui kaca spion.

Matanya hitam, seolah-olah menyerap cahaya.

"Maaf, aku terlambat, Ayah."

Ayahku sedang duduk di kursi pengemudi, tanpa berkata apa-apa.

"Tidak masalah. Kamu mengejutkanku."\

"...Iya, hanya sedikit."

Aku merasa mulutku mengering dan mengepalkan tangan agar Ayah tidak menyadari.

"Aku pikir kita perlu momen seperti ini dari waktu ke waktu. Aku yang meminta untuk menggantikan posisinya."

"Iya, aku mengerti. Aku senang."

Aku bisa mengatakan ini dengan santai, tapi aku benar-benar memikirkannya dengan serius.

Aku berhutang banyak pada Ayah dan Ibu. Meskipun begitu, keduanya adalah orang yang sangat terhormat.

Setelah memastikan sabuk pengamanku terpasang, Ayah mulai mengemudi.

"Sepertinya kamu akhir-akhir ini lebih sering bersama teman-temanmu."

"Maaf kalau begitu."

"Aku tidak marah atau apa. Itu hal yang baik."

Aku dicintai oleh Ayah dan Ibu. Mereka membesarkanku dengan kasih sayang untuk waktu yang lama, tanpa peduli hubungan darah kami.

Karena itu, aku harus membalas budi mereka.

"Mulai besok, aku akan fokus pada studiku."

"Jangan terlalu memaksakan diri. Nagi masih muda. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, kapanpun kamu mau."

"Tidak masalah. Tidak hanya tari Jepang, tapi juga upacara teh dan merangkai bunga adalah hal-hal yang aku nikmati."

"Itu bagus, tapi..."

Pada saat itu, percakapan terhenti. Aku yakin Suzuka-san mendengarnya, tapi aku rasa aku harus mengatakannya lagi, jadi aku membuka mulut dengan berani.

"Namun, pada hari Sabtu, mungkin aku akan pulang agak larut."

"Kamu pergi ke rumah teman?"

"Iya."

Dengklek, dengklek, suara detak jantungku mulai terdengar lebih keras.

Jika Ayah mengatakan tidak, aku tidak punya pilihan selain mengikuti perintahnya. Aku menegang dan mempersiapkan diri.

"Tentu, itu tidak masalah."

Kata-kata baik itu kembali terdengar, dan tiba-tiba seluruh kekuatanku menghilang.

"Aku senang. Nagi akhirnya menemukan seorang teman."

"...Maaf sudah membuatmu khawatir, Ayah."

"Tidak masalah. Itu wajar kalau itu keluarga."

Ada jeda singkat. Setelah berpikir sejenak, Ayah melanjutkan berbicara.

"Jika jadwal temanmu bentrok dengan belajarmu, prioritaskan apa yang Nagi inginkan. Nagi masih muda, jadi hiduplah tanpa penyesalan."

"Aku akan ingat itu."

"Kamu tidak perlu pergi sejauh itu."

Hidup tanpa penyesalan.

Aku pernah mendengar tentang kehidupan Ayah. Karena itu, aku rasa aku bisa memahami.

Apakah aku bisa menjalani hidup tanpa penyesalan? Tidak peduli bagaimana nantinya, aku yakin aku akan menyesal tentang sesuatu.

Aku tahu sekarang tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu. Tapi, kata-kata Ayah selalu terukir di hatiku.

***

Sudut Pandang Souta

Sehari sebelum pergantian tempat duduk, Shinonome pergi berbelanja pakaian dengan temannya, jadi dia akan pulang lebih larut. Aku diberi izin untuk pulang dulu, tapi Eiji juga tampaknya memiliki waktu luang, jadi kami berdua menghabiskan waktu bersama.

Aku mendapat telepon dari Shinonome, jadi saatnya untuk menjemputnya... Tapi...

"Hari ini lebih ramai."

Ada begitu banyak orang hingga aku hanya bisa bergumam pada diriku sendiri.

Di dalam kereta pulang setelah berbelanja pakaian. Ini adalah hari kerja, dan biasanya banyak pelajar, tapi matahari mulai terbenam, dan sepertinya banyak pekerja kantoran.

Aku tidak akan mengatakan bahwa keretanya penuh sesak, tapi setidaknya cukup tidak nyaman untuk bergerak.

Saat sampai di stasiun tujuan, untungnya Shinonome sudah ada di depan.

"Shinonome, banyak orang hari ini, jadi kita harus buru-buru. Biar aku bawa tasmu."

"Oh, terima kasih."

Aku mengambil tas yang penuh dengan pakaian dari tangannya, memastikan tas itu dipegang dengan aman, lalu menuju tempat biasa kami.

"Maaf, aku akan ubah posisiku sedikit."

"Ah, iya. Mengerti."

Di samping pintu yang menghubungkan gerbong kereta, Shinonome bersandar di dinding, menghadap ke arahku. Biasanya, saat kami melihat buku pelajaran, kami duduk berdampingan. Ini karena banyak pria di sekitar kami, dan kalau tidak begitu, mereka bisa saja menyentuhnya.

Dia terlihat lebih baik daripada sebelumnya, tapi masih tampak gugup jika ada pria yang mendekat... dan dia terlihat sedikit takut. Bahkan sekarang, aku bisa melihat ketegangan di matanya. Yah, mungkin ini salah pria itu, atau mungkin juga salahku.

"Maaf, Shinonome."

"Tidak, tidak apa-apa. Aku tidak takut pada Minori-kun... Kamu orang yang spesial, jadi tolong jangan khawatir tentang yang lain. Yang paling penting, terima kasih."

"Yah, kalau kamu bilang begitu, itu sangat membantu. Sama-sama."

Orang yang spesial.

Kata-kata itu tidak memiliki makna aneh. Itulah yang ingin aku percayai.

Aku berkata pada diriku sendiri, menenangkan napas dan jantungku, lalu melihat ke depan.

Wajah Shinonome tepat di depanku.

Kulitnya yang putih murni dan matanya yang biru seperti laut begitu memikat. Rambutnya lebih putih daripada kulitnya dan terasa seperti sutra, membuat jariku bergetar. Aroma manis yang lembut merangsang pikiranku.\

Aku terus berusaha menenangkan diriku.

Melawan tekanan yang terasa di punggungku, aku mencoba membuka mulut untuk mengatakan sesuatu... ketika, di detik berikutnya.

"Wow."

"Kya!"

Kereta berguncang keras.

Kemudian, terdengar suara benturan keras di punggungku, dan aku terjatuh ke depan...

Entah bagaimana, aku berhasil menahan tubuhku dengan lengan di dinding. Namun, aku membentur dinding dengan keras dan merasakan sakit.

"Apakah kamu baik-baik saja!?"

"Ah, ah. Aku baik-baik saja."

Meskipun dia dengan cara entah bagaimana berhasil menenangkan ekspresinya dan mengatakan itu,

Shinonome sepertinya bisa memahami. Dia terlihat sedikit marah.

"...Kamu terlihat sangat kesakitan."Dia menatap lenganku... lalu menatap mataku lagi. Wajahnya sedikit memerah

"Minori-kun."

Dia membuka mulutnya seolah sudah memutuskan sesuatu.

"Tolong, kamu bisa rilekskan tanganmu."

Aku tak bisa menahan diri merasa bingung dengan kata-katanya.

"Tidak, tidak. Tapi kalau kita tidak begini..."

"Tidak apa-apa. Tolong biarkan aku menahan bebanmu. Aku lebih baik tidak melihat Minori-kun menderita."

Dia segera memberitahuku. Aku bingung. Apakah dia benar-benar baik-baik saja dengan ini?

"Tolong cepat. Itu akan menyakitkan di sisi kamu."

Shinonome berkata, setengah bercanda. Aku tertawa kecil.

"Kalau begitu, mari kita pergi dari sini."

"Ya, tolong."

Jadi, aku melepaskan lenganku yang sakit dengan ringan... Bang!

Kereta berguncang lagi. Pada saat yang sama, punggungku didorong dengan paksa."Ah."

Wajah Shinonome ada tepat di depanku.

Matanya memenuhi seluruh bidang pandangku, dan hidungku menyentuh hidungnya.

... Wajah kami begitu dekat hingga kami bisa merasakan napas satu sama lain.

Itu sangat sederhana.

Aku hampir berhasil menggerakkan wajahku.

Sesaat, sesuatu yang lembut menyentuh bibirku... lalu semuanya berbalik. Aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh pipiku.

Entah bagaimana, aku berhasil mengalihkan wajahku ke samping wajah Shinonome.

Tubuh kami saling bersentuhan. Aroma manis memenuhi hidungku dan mengguncang otakku, membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih.

... Kehadirannya yang kuat menekan dadaku.

"..."

Aku perlu meminta maaf, tapi ketika mulutku terbuka, tak ada kata yang keluar. Rasanya jantungku akan meledak, memberi ilusi bahwa semuanya terasa manis, bahkan di dalam mulutku.

Shinonome mungkin akan menyadarinya juga. Pasti.

Namun, pada saat itu, aku merasakan sesuatu yang aneh.

Aku bisa mendengar jantungku berdetak dua kali. Aku menyadari maknanya terlambat.

Jantung Shinonome juga berdetak cepat.

Dengan bunyi thump, thump, aku bisa merasakan detakan jantungku secara langsung.

Ini buruk. Berpikir demikian, aku mengangkat lengan bawahku dan mencoba menyentuh dinding, tapi...

"Shinonome?"

"... Tidak apa-apa."

Lengan Shinonome. Itu melingkar di punggungku.

"Aku... akan memastikan kamu tidak bisa bergerak."

Suara lembut Shinonome terdengar di telingaku. Sensasi kesenangan merambat di sepanjang tulang punggungku, dan seluruh tubuhku dibungkus kehangatan.

"A-aku hanya..."

"Tapi, kalau kita tidak melakukan ini, Minori-kun akan memaksaku... dan..."

Suara lembut Shinonome terdengar seperti suara lonceng. Rasanya seperti gendang telingaku mencair.

Itu menyentuh hatiku dan otakku.

"Aku... aku suka... tidak. Aku sangat suka berinteraksi dengan Minori-kun."

Aku merasa bahagia dari lubuk hatiku berada dalam posisi di mana Shinonome tidak bisa melihat wajahku.

Aku melepaskan lenganku dan perlahan membungkusnya di sekitar punggungnya. Shinonome berputar dan kemudian tertawa pelan.

"Mungkin aku lebih introvert daripada yang kupikirkan. 

Aku sangat gugup, tapi aku merasa sedikit lega."

"... Benarkah?"

"Ya."

"Aku juga."

Saat aku bergumam pelan, suara napasnya terdengar di telingaku. Kemudian, tawa ringan terdengar di telingaku. Itulah yang kami lakukan sampai kami sampai di stasiun berikutnya.

***

"... Haha."

Entah sudah berapa kali aku menghela napas hari ini. Aku masih berbaring di tempat tidur, merasakan sisa-sisa rasa sakit di tubuhku. Alasannya jelas—karena apa yang terjadi di kereta saat perjalanan pulang tadi.

"Itu pelanggaran kesepakatan kita."

Hangatnya tangan yang menyentuh punggungku, suhu tubuhnya... aku masih bisa merasakan dengan jelas kelembutannya. Dan juga, ucapan itu.

"Aku... aku suka... tidak. Aku sangat suka berinteraksi dengan Minori-kun."

Biasanya dia bersikap lembut dan penuh kasih sayang, tapi tadi dia sedikit lebih berani.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

Kepalaku memang kacau, tapi aku mulai mencoba mengurai pikiranku satu per satu. Tentu saja, mungkin saja aku salah paham. Katanya, laki-laki dan perempuan memang punya cara berbeda dalam berinteraksi sebagai teman.

Misalnya, ada yang suka menepuk kepala atau memeluk... Yah, mungkin ada, tapi setidaknya tidak ada di sekelilingku. Eiji juga bukan tipe yang seperti itu.

Sebaliknya, perempuan. Ada juga sih yang begitu. Beberapa tampak alami saat memeluk atau menggandeng tangan. Mungkin Shinonome termasuk tipe yang seperti itu... TIDAK.

"Tapi dia nggak kelihatan seperti orang yang begitu."

Aku jadi tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata “seseorang yang spesial” itu.

"Haah..."

Aku menghela napas lagi. Sepertinya malam ini aku nggak bakal bisa tidur.

Saat itu, suara notifikasi terdengar dari ponselku. Pengirimnya adalah...

[Hei. Kamu masih bangun?]

Itu dari Shinonome.

***

Sudut Pandang Nagi

“Uh… a-apa yang sudah aku lakukan?”

Aku berbaring sambil mencoba tidur, tapi benar-benar tidak bisa. Yang kulakukan hanyalah mengingat kejadian hari ini.

Karena aku tidak punya banyak pakaian, aku pergi berbelanja bersama Hayama-san sepulang sekolah.

Itulah kenapa aku pulang agak larut, dan di kereta... ada begitu banyak orang. Lalu, sebuah insiden kecil terjadi…

Wajah Minori-kun begitu dekat denganku. Ugh...

Aroma segar dan menenangkan menyebar memenuhi dadaku. Dan tangan yang memelukku dengan lembut terasa kokoh dan hangat… Seperti menyentuh hiasan kaca yang halus.

“Tidak, tidak, tidak. Aku terdengar seperti orang mesum!”

Kalau Minori-kun tahu aku begini, pasti dia akan membenciku. Aku harus tenang.

“Tapi…”

TIDAK. Aku terlalu senang sampai sudut bibirku terangkat sendiri. Bahkan ketika kutekan dengan telapak tanganku, mereka tetap saja terangkat lagi.

Apa wajahku akan kembali normal?

Bahkan saat makan pun rasanya susah. Kalau aku terus-terusan mengingatnya, wajahku rasanya akan meleleh. Ini mungkin setara gugupnya dengan saat aku pertama kali tampil di pertunjukan tari Jepang.

Dan ada satu masalah lagi.

“Aku nggak bisa tidur sama sekali.”

Iya. Aku nggak bisa tidur. Ini benar-benar mengejutkan. Padahal biasanya, jam segini aku sudah terlelap.

“Aku harus ngapain sekarang?”

Aku sudah coba memikirkan hal lain... tapi tetap nggak bisa tidur karena pikiranku terus kembali pada Minori-kun.

“Minori-kun... kamu udah tidur belum ya...?”

Aku sempat menutup telepon lebih awal, tapi aku pun mencari ponselku sambil memikirkan itu.

[Hei. Kamu masih bangun?]

Entah sejak kapan aku menuliskannya, tapi langsung dibaca.

[Ada apa?]

Aku merasa lega membaca balasannya. Pipi ini, lagi-lagi, ikut mengendur.

[Aku nggak bisa tidur. Kalau nggak merepotkan, boleh aku nelpon lagi?]

[Wah, bagus. Aku juga nggak bisa tidur.]

Syukurlah. Aku yakin, kalau bisa ngobrol sama Minori-kun, aku pasti bisa tidur. Tapi... ngobrol bareng Minori-kun lewat telepon ternyata sangat menyenangkan.

Kami malah ngobrol sampai larut malam.

Itu pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini. Rasanya sedikit deg-degan... tapi juga hangat.

***

Sudut Pandang Souta

“Maaf sudah merepotkan, Minori-kun.”

“Ah, selamat datang, Shinonome.”

Shinonome membungkuk sopan saat masuk ke dalam rumah. Begitu mata kami bertemu, senyum hangat perlahan muncul di wajah kami. Kami mencuci tangan bersama, lalu menuju ruang tamu.

“...Kita harus ngapain dulu? Lihat hasilnya dulu? Atau makan siang dulu?”

“Hmm, gimana kalau kita lihat hasilnya dulu? Soalnya... dari kemarin aku udah nggak tenang.”

“Hehe, aku juga sama. Susah banget tidur tadi malam.”

Hari ini adalah pengumuman hasil pengaturan tempat duduk. Di dadaku, berbagai perasaan bercampur aduk. Aku ingin segera memberitahunya hasilnya. Dan aku juga ingin tahu.

Shinonome duduk di sofa ruang tamu, lalu dengan tatapan matanya, ia diam-diam memintaku untuk duduk di sampingnya. Begitu aku duduk di sebelahnya, aroma manis dan lembut langsung menyentuh hidungku.

Meski begitu, aku tetap duduk dengan jarak satu kepalan tangan darinya. Tapi Shinonome memiringkan tubuhnya, menutup jarak itu sendiri. Bahkan melalui kain, aku bisa merasakan sentuhan lembut dari lututnya.

Shinonome tampak tak keberatan, malah meletakkan tasnya di pangkuan dan mengeluarkan sebuah map. Rambutnya yang halus bergoyang lembut, menyentuh bahuku seakan menggelitik.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlalu memikirkannya. Lalu aku meraih map bening yang ada di atas meja. Kertas di dalamnya tertutup, terbalik, jadi aku belum bisa melihat isinya.

“Hei, aku agak deg-degan, nih.”

“...Aku juga.”

Entah kenapa, aku merasa gugup. Sepertinya Shinonome juga merasakan hal yang sama. Seolah-olah dengan menyerahkan dokumen itu—yang terlihat bersih dan rapi—hasilnya akan langsung keluar begitu saja.

Kami duduk sangat dekat. Walau tak saling menghadap, punggung tangan putihnya menekan ringan ke tanganku. Di telingaku, aku bisa mendengar detak jantungnya menggema.

Dia pasti sadar kalau tanganku menyentuh tangannya... Aku teringat kata-kata Shinonome beberapa hari yang lalu, yang rasanya seperti menekan sabit ke dadaku.

Mungkin aku lebih terikat daripada yang kupikir. Ya. Shinonome cuma sedang malas saja. Dia hanya... suka menyentuhku seperti ini.

“Minori-kun? Kenapa?”

Aku masih tenggelam dalam pikiran, mataku terpejam. Tapi saat dia memanggil namaku, aku kembali tersadar.

“Ah... nggak, nggak ada apa-apa...”

Aku membuka mata, namun mulutku langsung terkatup lagi. Karena aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri memantul di dalam kilau biru matanya.

Dia mencoba menatap wajahku. Dari jarak sedekat ini... Aku bisa merasakan hangat tubuhnya meski hanya lewat udara.

"T-tidak apa-apa kok."

Aku memaksakan diri memalingkan wajah. Tapi walaupun aku alihkan pandangan, setiap kali aku berkedip, bayangan wajah cantiknya masih muncul di balik kelopak mataku. Rasanya terlalu mencolok... tapi aku tak bisa mengendalikannya. Aku bahkan bersyukur karena tidak bisa mendengar detak jantungku sendiri sekarang.

Ya, begitu pikirku—sampai sesuatu menyentuh dadaku.

“Shinonome?”

"...Detak jantungmu cepat, ya."

Saat aku melirik ke depan, dia berada dalam posisi seolah menyentuh dadaku—tidak, jari-jarinya memang benar-benar menyentuhnya.

Mata birunya bertemu dengan mataku, dan perlahan dia mendekatkan telapak tangannya. Lewat kain baju dan udara, aku bisa merasakan kehangatannya. Kain itu satu-satunya penghalang di antara kulit kami.

“Ini sama seperti waktu itu.”

Waktu yang mana? Aku tak bisa memikirkan apa pun sekarang.

“Suara dari dalam hatimu... suara hati Minori-kun itu menenangkan.”

“Padahal... aku merasa detaknya cepat banget.”

“Itu alasannya.”

Aku tak bisa langsung memahami maksud kata-katanya. Mungkin karena kepalaku terlalu kacau hingga tak mampu berpikir jernih. Dia tertawa kecil, lalu menggunakan tangan yang tak menempel di dadaku untuk menyibakkan rambutnya ke belakang.

“Sama, Minori-kun.”

Sama. Aku bukan orang yang sebegitu tumpul hingga tak bisa menangkap maksud dari kata itu.

Itulah kenapa... hatiku kembali bergetar.

“...”

Shinonome terus mendengarkan detak jantungku, dan ekspresinya berubah menjadi terkejut.

"A-a-aku minta maaf! Aku... aku menyentuhmu tanpa izin."

Tangan itu tiba-tiba terlepas. Kehangatan yang tadi memancar darinya perlahan menghilang...

"...Gak apa-apa."

Itu yang keluar dari mulutku. Tapi wajahku—sangat panas.

"A-a-apa kamu baik-baik saja?"

"Ah, iya... Tapi, gimana kalau kita mulai lihat hasilnya aja dulu?"

Kalau ini berlanjut, kami bisa saja lupa tujuan kami sekarang. Meski... sebenarnya, itu mungkin bukan hal buruk. Tapi rasanya, suasana ruangan benar-benar dikendalikan olehnya.

"Baiklah. Kita lanjutkan nanti."

Walaupun aku merasa lega mendengarnya, aku juga sengaja mengalihkan perhatian dari kalimat terakhirnya itu. Aku bertanya-tanya, apakah aku bisa menahan diri atau tidak.

"Kalau begitu... biar aku tunjukkan, ya."

"Ah, oke."

Kami saling menatap, mengangguk, dan menarik napas bersamaan.

"‘Satu, dua!’"

Peringkat yang tertulis di kertas itu: (peringkat pertama dari 280 orang, peringkat pertama dari 320 orang), hasil yang membuat kami berdua terpaku.

"...Peringkat pertama... Peringkat pertama! Minori-kun, kamu peringkat satu!"

"Ah. Shinonome, kamu juga nomor satu!"

"Luar biasa! Hebat banget! Minori-kun!"

Pipi Shinonome terangkat penuh semangat, dan tangannya mengepal erat. Meskipun itu membuatku kaget, aku juga merasa senang—karena dia tampak lebih senang dari aku sendiri.

Selain itu, distribusi nilai juga tertulis di bawah daftar tempat duduk. Pada kolom Bahasa Inggris, tertulis [100 poin], yang membuatku makin senang.

"Kamu biasanya nggak jago di bagian ini, tapi kayaknya kamu berhasil ngatasin."

"Itu semua karena Minori-kun. Aku gak bermaksud muji atau apa, tapi..."

"Terima kasih banyak, Shinonome. Ini semua berkat kamu."

"Sama-sama. Tapi kerja keras Minori-kun juga penting."

Tangannya menggenggam tanganku erat. Dia tersenyum, dan terlihat benar-benar bahagia.

"...Minori-kun."

"Hmm? Kenapa?"

Aku mencoba kembali menatap kertas hasil, tapi kata-katanya menghentikanku.

"Selain minta tolong atau hadiah, aku ingin minta satu hal... Ada sesuatu yang ingin aku lakukan."

"Kamu nggak terlalu pandai bicara. Tapi aku ingin kamu terus mencoba mengatakannya."

Ekspresinya serius, tapi pipinya sedikit memerah. Dan mata itu... menatap lurus ke arahku.

"Souta-kun."

Aku langsung berhenti bernapas. Suara lembut dan jernih itu... terdengar seperti denting lonceng.

"Souta-kun."

Ia memanggil namaku lagi.

"...Aku ingin memanggilmu seperti itu. Dan kalau kamu bisa memanggilku 'Nagi'... bukan 'Shinonome'... aku akan senang."

Aku rasa aku mengerti arti dari kata-katanya itu. Sampai titik ini... pengaruhnya benar-benar luar biasa.

Entah bagaimana, aku berhasil menggerakkan bibirku. Pelan, dan tentu saja penuh rasa gugup.

"...Nagi."

"……! Iya!"

Aku mendengar jawaban ceria darinya, tapi di saat yang sama, wajahnya sedikit menunduk.

"Hehe, Souta-kun. Akhirnya aku bisa memanggilmu seperti itu."

Tanganku digenggamnya lagi, erat dan hangat. Dan sekarang, Shinonome—tidak, Nagi—memanggil namaku lagi dan lagi dengan nada bahagia.

"Souta-kun."

"……Apa?"

"Kamu hebat sekali, Souta-kun."

Kata-kata itu dipenuhi kebaikan, kehangatan, dan ketulusan. Suaranya terdengar tulus dari hati, dan membuat dadaku hangat.

"Ah. Nagi juga hebat."

Saat aku membalas genggamannya, senyumnya makin dalam—dan entah kenapa, dunia terasa lebih terang daripada sebelumnya.

***

Hari ini hari sesi belajar. Aku sedang menunggu mereka tiba di stasiun.

"Oh, mereka sudah datang. Hey!"

Aku mendengar suara familiar temanku. Aku menoleh ke arah itu bersama Nagi.

"Kalian cepat banget! Kupikir kalian belum sampai."

"Kalian berdua yang terlalu cepat. Masih banyak waktu, tahu."

Eiji Makizaka dan pacarnya, Kirika Nishizawa. Dua orang itu akhirnya tiba. Lalu, Eiji dan Nishizawa mengalihkan pandangan mereka dari aku ke arah Nagi.

"Ini kedua kalinya kita bertemu. Tuan Makizaka, Nona Nishizawa."

"Oh, lama nggak ketemu! Souta-kun selalu bantu aku!"

"Masu~!"

"Eh, kalian ini pasangan dari drama zaman kapan sih?"

Wow. Mereka berdua membungkuk dengan gaya elegan. Sampai-sampai aku bisa merasakan kekesalan dalam nadaku sendiri.

Tiba-tiba, Nagi melangkah setengah langkah lebih dekat padaku… seolah ingin menunjukkan bahwa dia tidak kalah dari Eiji dan pacarnya.

Aroma manis dan menenangkan melayang dalam pikiranku, dan aku hampir merasa punggung tanganku menyentuhnya. Ini masalah jarak. Saat aku menoleh ke arah Nagi, dia juga menatapku dan pandangan kami bertemu.

Dia tersenyum, seolah tak tahu kenapa aku menatapnya seperti itu.

...Jangan lakukan hal seperti itu mendadak. Kamu sadar nggak sih betapa cantiknya wajahmu dari jarak sedekat ini? Jantungku rasanya terlalu bahagia untuk tetap tenang.

"Hey, aku lihat mereka tadi ciuman. Sekarang gimana?"

"Haruskah kita juga coba ciuman?"

Aku tersadar kembali ke dunia nyata saat mendengar dua suara pelan itu. Eiji dan pacarnya berbicara pelan... tapi cukup jelas untuk kudengar.

"Ini sekarang apaan? Apa kita pernah saling pandang kayak gitu juga sebelumnya?"

"Jadi begini ya, romcom ortodoks versi mereka?"

"...Aku bisa dengar semuanya, tahu."

Bahu Eiji dan pacarnya langsung tersentak. Tentu saja... wajah Nagi jadi merah padam. Tapi meskipun begitu, dia tetap tidak melepaskan lenganku. Sepertinya yang pemalu justru yang menang.

"Ya udah, nggak apa-apa. Ngomong-ngomong, temannya Shinonome-chan yang satu lagi juga datang, kan?"

"Ah, iya. Namanya Hikaru Hayama, dia orang yang ceria banget."

Tepat saat itu, aku melihat seseorang yang tampak ceria berjalan dari arah stasiun.

"...Apa mungkin itu dia?"

Nagi menatap ke arah gadis itu dan menghela napas. Seorang gadis berambut pirang terang melambai ke arah Nagi.

"Ya! Itu Hayama-san!"

Seorang wanita cerdas dengan rambut pirang yang dikuncir ekor kuda. Dia memiliki aura yang berbeda dibanding Nishizawa. Dari cerita yang kudengar... dia kelihatannya tipe yang ramah. Tapi bukan dalam arti buruk. Rasanya cukup melegakan. Nggak ada suasana aneh sama sekali. Dia memang teman Nagi, cuma itu.

"Kayaknya aku jadi yang terakhir datang, ya? Maaf, maaf."

"Nggak kok, masih terlalu awal. Nanti aku kenalin."

Nagi menjauh dariku dan berdiri di sampingnya.

"Hikaru Hayama-san. Dia temanku dan satu sekolah juga."

"Aku Hikaru Hayama! Panggil aja Hayama atau Hikaru, bebas. Hobiku banyak! Ah, walaupun penampilanku begini, aku gampang banget diajak ngobrol. Kalau mau curhat juga, aku siap dengar!"

"Ya. Hayama-san selalu dengar ceritaku dengan tulus. Aku juga berterima kasih sama dia."

Kami selesai memperkenalkan diri sambil saling mengangguk. Lalu, Hayama mendekat ke arahku.

"Hah... jadi ini ya Minori-kun. Aku sering denger tentang kamu."

"Ah?"

Dia menatapku dari atas sampai bawah. Rasanya geli dan membuatku sedikit merinding.

"Tidak buruk."

"¡H-Hayama-san!? Nggak, nggak boleh!"

Nagi langsung berdiri di depanku, menutupi pandangan Hayama.

"Nggak peduli seberapa bagus Hayama-san! Pokoknya, Souta-kun itu bagus!"

Nagi menatap Hayama seperti anak kucing kecil yang sedang menjaga wilayahnya. Bukannya terlihat menyeramkan, entah kenapa malah jadi terlihat menggemaskan. Dibandingkan dengan sosok “Putri Es”-nya, sekarang dia terlihat hangat dan imut.

Hayama melihat Nagi dan mengangguk penuh kepuasan.

"Ya, ya, aku tahu kok. Shinonome-chan selalu ngomong kayak gitu. Aku cuma bisa lihat betapa kerennya dia. Tenang aja."

Nagi langsung kaku mendengar kata-kata Hayama. Dan si penggoda pun mulai bicara lagi.

"Wah, posesif banget... Ngomong-ngomong, Kirika, kamu bakal kayak gitu juga nggak ke aku?"

"Hah? Kamu pengin aku gituin?"

"Mungkin sesekali?"

"Haa... ya udah deh. Kalau ada kesempatan. Tapi kayaknya nggak juga."

Dari belakang, aku bisa dengar obrolan mereka, dan pipi Nagi sudah merah sampai ke telinganya.

"Kalian gangguin Nagi kebangetan. Aku aja nggak tahu dia beneran kesal atau enggak."

Aku sebenarnya nggak mau mereka terus menggoda Nagi... tapi kuputuskan untuk nggak bilang apa-apa.

"Yasudah, kita udah ketemu semua. Ayo jalan. Ikuti aku."

Aku mulai melangkah, sambil berpikir kalau kami terus berdiri di sini, bisa mengganggu orang lain.

Nagi terlihat terkejut tapi segera mendekatiku.

Aku bisa merasakan Eiji dan yang lain tersenyum melihat kami, tapi aku mengabaikannya. Kami pun berjalan pulang bersama.

***

"Wow! Aku ngerasa cowok yang hidup sendirian itu biasanya ceroboh dalam banyak hal. Tapi kamu rapi banget, keren sih."

Begitu kami masuk rumah, Hayama langsung berseru takjub.

"Tapi soal bersih-bersih ini... Nagi, kamu pernah ngomong ya waktu itu?"

Aku menatap Nagi sambil tersenyum miris. Tapi dia langsung menggeleng dengan tegas.

"Itu menyangkut privasimu. Aku nggak akan ngomong tanpa izin."

"...Begitu ya."

Kalau ditanya, aku yakin Nagi memang nggak bakal cerita. Jadi, kayaknya aku sendiri yang harus jelasin.

"Aku nggak bisa masak... Atau lebih tepatnya, nggak terbiasa. Tapi itu nggak akan bertahan lama."

Tatapan mata Nagi langsung tertuju padaku. Seolah-olah dia ingin memastikan apakah aku bakal lanjut bicara atau nggak. Dia memang cepat menangkap maksud.

Aku mengangguk dan menyerahkan penjelasannya pada Nagi.

"Makan di luar dan cuma makan lauk jadi nggak cukup nutrisinya. Makanya, setiap hari Sabtu aku datang ke sini buat nyiapin makan siang dan yang lainnya."

Mata Hayama membelalak mendengar pernyataan itu.

"...Hah? Serius? Ini pertama kalinya aku dengar."

"Benar. Alasannya seperti yang sudah dijelaskan."

Nagi mengangguk dengan serius. Hayama melihat bergantian antara aku dan Nagi, setengah terkejut.

"Yakin kalian nggak pacaran beneran?"

"Oh, kita serius."

"Tapi kalian berdua udah kayak pasangan suami-istri deh kelihatannya."

"Kayak istri...?"

Pipi Nagi yang biasanya putih pucat kini berubah jadi merah terang. Aku juga ikut merasa panas, seolah-olah ikut tertular rasa malunya. Tapi aku merasa harus bilang sesuatu, jadi aku berdiri di samping Nagi.

"Nagi itu baik. Aku rasa dia nggak suka kalau aku sakit. Lagipula, kalau aku sakit, aku nggak bakal bisa menepati janji ke Nagi. Aku nggak bisa bilang detailnya, tapi ya begitu. Gimana? Eh… Nagi?"

Aku merasa diriku cukup bisa mengurus diri sendiri. Tapi saat melihat ke arah Nagi... aku merinding.

Dia bergetar dan memonyongkan pipinya. Seolah ingin bilang, ‘Aku marah!’

"...Nagi?"

"Heh, ini agak rumit."\

Nagi berkata begitu sambil mendekatiku. Jarak yang sebelumnya sudah dekat, kini makin sempit.

Bahkan bisa dibilang kami hampir bersentuhan. Lalu, matanya yang biru menatapku dalam-dalam.

Aku langsung memalingkan wajah karena malu. Nagi menghela napas... bukan karena kecewa, tapi ada rasa bahagia yang ikut dalam helaan itu.

"Yah, sementara ini nggak apa-apa lah. Yuk, belajar di ruang tamu. Ayo, cepat."

"Ah, iya."

Nagi jalan duluan ke ruang tamu. Aku pun mengikutinya dari belakang, tapi… rasanya seperti ada tiga tatapan menusuk dari arah belakang yang terus menatapku.

***

"Tentu, bukan seperti ini... sama seperti yang ada di halaman sebelumnya." 

"Oh, tentu! Aku akan menggunakan ini di sini! Terima kasih, Nagi-rin!" 

"Tidak masalah."

Kami melanjutkan sesi belajar. Masih ada banyak waktu sebelum ujian final, jadi ini lebih seperti persiapan, tapi tidak ada salahnya melakukan ini. Setelah belajar selama dua jam, Nagi mulai lebih banyak berbicara dengan mereka. Khususnya, dia mulai bisa berbincang sedikit dengan Nishizawa.

Nishizawa memanggil Nagi dengan "Nagi-rin" dan Hayama dengan "Hika-run." Ternyata, Nishizawa memiliki cara khusus dalam memanggil orang yang ingin dia ajak berbicara. Sepertinya itu tidak berlaku untuk Eiji dan aku, karena kami sudah berteman sejak kecil. Keahlian komunikasi mereka luar biasa.

Saat waktu makan siang mendekat, Nagi berdiri. 

"Yah, waktunya makan siang, jadi aku akan menyiapkan makan siang. Aku akan membuat daging dan kentang. Apa boleh?" 

"... Hah? Nagi-rin yang akan membuatnya untuk kita?" 

Nishizawa dan yang lainnya terlihat terkejut dengan kata-kata itu. Itu sudah kami rencanakan sebelumnya, jadi aku tidak terlalu terkejut. 

"Ya. Aku sempat berpikir untuk memesan makanan, tapi ini kesempatan yang baik." 

"Ya, terima kasih!" 

"Hai! Aku benar-benar menantikannya." 

Aku jarang punya kesempatan untuk makan masakan teman sekelas. Nishizawa dan yang lainnya sangat senang sampai mereka berhenti belajar sejenak.

"Kalau begitu, aku akan membantu Nagi juga. Kalian bertiga, tolong tunggu." 

"Baik!" 

Dengan kata-kata itu, aku menuju dapur bersama Nagi. Di dapur, Nagi memperhatikanku saat aku mengenakan celemek. Dia tampak senang dan tersenyum sedikit misterius. 

"Ada resep di dapur, kan? Jadi hari ini aku akan membuat daging dan kentang dengan gaya Souta-kun... Jangan khawatir, oke?" 

Mataku terbelalak. Itu jelas. Dapur Nagi bukan dapurku. Ada sedikit kabut gelap dalam hatiku karena bagaimana orang lain memperlakukanku. 

"Ya... Makanan yang aku buat hanya untuk keluarga dan Souta-kun." 

Itulah maksudnya. Rasanya sulit untuk menyebutkan imajinasi yang berlari di benakku itu absurd.

Namun, ada keinginan agar itu benar-benar seperti ini. Aku menutup mataku sejenak dan menenangkan hatiku. Baiklah, aku membuka mataku. Nagi berada tepat di depanku. 

Dia menutup matanya, dan bulu matanya yang panjang terlihat jelas. Jarak antara detak jantung, yang seharusnya tenang, kini semakin cepat.

"...Hmm. Silakan." 

Dengan itu, Nagi menundukkan kepalanya sedikit... dan menunjukkannya padaku. 

"Apakah kamu ingin melakukannya sekarang?"

“Aku merasa kalau aku melewatkannya hari ini, aku nggak akan bisa melakukannya lagi. Tolong.”

Dari ruang tamu, tidak bisa terlihat karena ada pintu geser... Bisa dibilang hanya pintu geser yang memisahkan kami dari yang lain. Bahkan sekarang, kami berbicara dengan suara pelan. Kalau kami bicara dengan suara normal, mereka pasti bisa mendengar.

Sebenarnya aku harus sadar kalau ini bukan hal yang baik. Tapi sebelum aku sempat berpikir, tanganku sudah terangkat pelan.

Kalau mereka nggak bisa lihat, seharusnya nggak masalah... pikirku. Aku menyentuh rambut halusnya.

“...Fufu~”

Saat aku membelai kepalanya dengan lembut, tawa kecil yang murni keluar dari bibirnya.

Aroma lembut dan manis menyebar di udara. Tangan Nagi diletakkan perlahan di dadaku... Sejak hari itu, Nagi mulai sering meletakkan tangannya di dadaku.

Seperti sebelumnya, rasanya cukup memalukan membiarkannya mendengar detak jantungku... Tapi melihat Nagi begitu bahagia, aku jadi tidak bisa menolak.

Rambut halus dan lembutnya tidak kusut meski terselip di jemariku. Aku juga senang melihat wajahnya yang begitu tenang. Aku ingin terus membelainya selamanya. Tapi kemudian...

“Hei, Shinonome-chan. Aku mau nanya sesuatu.”

Hayama membuka pintu geser dan mengintip ke dalam.

Aku dan Nagi tidak sempat menjauh. Dia hanya diam di tempat. Rasanya seperti waktu berhenti... tapi itu cuma ilusi.

“...

Bukan cuma aku dan Nagi yang membeku—Hayama juga begitu. Keheningan menyelimuti ruangan.

“Apa yang terjadi sama Hikaru?”

Waktu seolah mulai berjalan lagi setelah pertanyaan itu terdengar. Aku langsung melepas tangan dari kepala Nagi, tapi tangannya masih ada di dadaku.

Saat aku menatapnya... Nagi membalas tatapanku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Seolah dia berkata, 'Kita nggak bisa lanjut aja?'

Aku menatapnya balik seakan bertanya, "Kamu serius?" dan dia mengangguk pelan. Saat aku menggerakkan tanganku lagi, Nagi menyipitkan mata sambil tersenyum bahagia.

“Eh, kamu mau lanjut?”

Di saat yang sama, Hayama hampir pingsan.

“...? Hikaru?”

“Ah, nggak, nggak apa-apa. Tunggu sebentar.”

Hayama bicara ke Nishizawa, lalu menutup kembali pintu geser. Tapi bukannya kembali ke ruang tamu, dia malah ke dapur.

“Jadi? Ini situasinya gimana sebenarnya?”

“Hmm… gimana ya jelasinnya?”

Aku melihat ke arah Nagi, dan dia mengangguk. Akhirnya, dia mengangkat tangannya dari dadaku.

Tapi saat aku menarik tanganku, dia malah menatapku sedih.

...Aku nggak bisa menang kalau begini. Aku mengelus kepalanya sekali lagi, dan Nagi menatap Hayama dalam posisi seperti itu.

“Aku mau minta tolong, tolong lupakan yang tadi dan jangan bilang siapa-siapa.”

“Oke, oke. Aku ngerti kok.”

Melihat Hayama mengangguk cepat-cepat, Nagi mulai bicara.

“Aku sadar sejak bertemu Souta-kun. Sebenarnya... aku ini cewek yang manja banget.”

“...Ah, gitu ya?”

Dia tampak ragu, bertolak belakang dengan apa yang ia katakan. Kurasa dia mengangguk, seolah mencoba menelan semuanya dulu untuk saat ini.

"Yah, begitu. Setelah banyak hal yang terjadi, aku... mulai suka saat Souta-kun membelai kepalaku. Kalau kita lagi berdua begini, aku jadi pengen minta itu."

"...Tapi sekarang kita nggak cuma berdua."

"K-Karena justru sekarang... kalau aku nggak melakukannya hari ini, rasanya bakal hilang begitu aja. Sayang banget kalau dilewatkan."

Nagi menjawab dengan wajah yang memerah. Dia jadi terdiam sebentar. Saat mataku bertemu dengan sepasang mata biru yang menatapku, seolah mempertanyakan semuanya...

"Souta-kun? Kenapa?"

"...Kalau Nagi mau minta dibelai beberapa kali dalam sehari pun, aku nggak keberatan."

"¡B-Benarkah!?"

Nagi tak bisa menahan suaranya yang meninggi. Sepertinya Eiji dan yang lainnya sempat mendengar, tapi... untungnya mereka tidak datang menghampiri.

"Ah, maaf. Aku jadi teriak."

"Nggak apa-apa."

Entah bagaimana, aku menggerakkan tanganku dan mengelus kepalanya. Wajahnya yang tadi terlihat sedikit gelisah, perlahan mulai tenang.

"Ngomong-ngomong, kamu yakin nggak masalah?"

"Hah? Ah, tentu. Lagipula kita nggak pernah bikin aturan soal ini dari awal."

Ini pertama kalinya aku dengar kalau membelai kepala itu cuma boleh sekali sehari. Lagipula, itu bukan sesuatu yang merepotkan. Jujur, kadang membuat hatiku berdebar, tapi bukan berarti aku nggak suka.

Wajah Nagi langsung bersinar cerah. Tapi tak lama, ekspresinya berubah agak serius.

"Nggak, nggak, tapi... Kalau nggak dibatasi, aku pasti bakal minta sepuluh kali sehari..."

"B-Baiklah."

Yah... sepuluh kali sehari memang agak banyak. Aku tidak bisa menyangkal itu.

"Aku nggak keberatan membelai kepala Nagi... Maksudku, ya. Sepertinya aku memang nggak bisa nolak."

Begitu aku bilang begitu, Nagi tiba-tiba mendongak.

"Oh, kalau begitu... dua kali sehari! Nggak boleh lebih! Tolong bantu aku nahan diri!"

Aku bisa melihat rasa panik di matanya dan malah tertawa kecil.

"Oke. Kalau kamu ingin lebih dari itu, bilang aja lagi ya?"

"Iya!"

Saat aku membelai kepala Nagi yang tersenyum bahagia, pipinya makin lama makin terlihat rileks.

"Hei, kalian nggak lupa sama aku, kan?"

"...Ah."

Hayama mengintip dari samping, dan aku serta Nagi saling menatap—lalu tertawa bersama.

***

"Wah, ini enak banget."

"Iya. Enak banget."

"Rasanya bikin tenang banget. Beneran enak."

Masakan daging dan kentang buatan Nagi langsung jadi favorit semua orang. Tentu saja, menurutku juga enak, bahkan terasa sangat nostalgic.

"Hehe, ini enak ya. Ini daging dan kentang versi Souta-kun."

Eiji dan Nishizawa sampai tersedak saat mendengarnya.

"Nggh... uhuk, uhuk. Ini versi Souta?"

"...Padahal aku belum pernah dikasih resep masakan rumahan Eiji."

"Resepnya ada di dapur, jadi aku coba buat sendiri."

Ketiganya—termasuk Hayama—mengangguk setuju setelah mendengar penjelasan Nagi.

Beberapa saat kemudian, aku masih menikmati daging dan kentang itu sambil mengunyah pelan, menikmati rasanya. Lalu, Nagi seperti baru ingat sesuatu dan berseru:

"Oh iya! Aku ada permintaan buat kalian semua... Atau lebih tepatnya, ada tempat yang pengen aku ajak kalian datangi, kalau kalian nggak keberatan."

"Tempat apa?"

"Iya! Maaf ya, kita lagi makan, tapi aku izin sebentar ya."

Nagi berdiri dan mengambil tasnya. Dia mengeluarkan selembar kertas dan empat benda panjang dan tipis yang mirip tiket. Kertas besar itu terlihat seperti selebaran iklan sesuatu.

"Sebenarnya, awal November nanti akan ada pertunjukan tari tradisional Jepang, dan aku sedang belajar untuk itu. Tentu saja, aku juga akan tampil. Nah, para penampil dikasih tiket untuk mengundang keluarga dan teman-teman. Gimana, kalian mau datang?"

"Aku mau datang, Nagi."

Aku langsung menjawab begitu saja. Di saat yang sama, wajah Nagi yang tadinya kelihatan cemas langsung berubah jadi tenang. Eiji dan yang lain juga ikut bersuara:

"Oh! Aku juga suka acara kayak gini. Ayo pergi bareng!"

"Ngomong-ngomong, Eiji, kamu kan emang suka hal-hal yang berhubungan sama seni dan hiburan, ya?"

"Aku juga ikut deh. Soalnya Shinonome-chan bakal tampil."

Aku nggak nyangka Eiji bakal tertarik sama hal kayak gini. Tapi kata-kata Nishizawa terdengar masuk akal, dan sepertinya memang benar.

"Makasih ya semuanya! Aku tahu ini waktunya dekat-dekat ujian akhir, tapi semoga kalian tetap bisa menikmatinya!"

Mendengar jawaban dari kami bertiga, Nagi tersenyum sangat bahagia.

***

Waktu berlalu, dan sekarang sudah bulan November. Lusa adalah hari pertunjukan tari tradisional Jepang. Lebih tepatnya, acaranya berlangsung dua hari, Sabtu dan Minggu. Karena jumlah penampilnya banyak, giliran Nagi tampil adalah hari Minggu... dan ternyata penampilannya sukses besar.

Besok, Nagi akan pergi menontonnya lagi bersama keluarganya. Karena itu, hari ini—hari Jumat—dia memutuskan untuk datang ke rumahku. Ngomong-ngomong, kegiatan upacara minum teh dan merangkai bunga sedang libur minggu ini.

"Kamu gugup ya?"\

Minggu lalu, ekspresi Nagi memang terlihat serius. Ya, wajar saja. Aku aja kadang gugup cuma dengar pengumuman dari sekolah. Apalagi ini, tampil di depan ratusan, bahkan mungkin ribuan orang.

Layaknya konser. Ditambah lagi, dia akan memerankan seekor burung besar—pasti tegang banget rasanya.

Sekarang pun, Nagi duduk di sofa dengan bahu yang tegang. Dia mengangguk dengan senyum yang agak dipaksakan setelah mendengar kata-kataku.

"Iya, agak malu sih ngakuinnya, tapi aku emang gugup."

"Nggak perlu malu. Justru itu tandanya kamu benar-benar serius dan udah berusaha keras."

Aku juga penasaran, apakah dia bisa tampil sesuai dengan latihan. Apakah semua kerja kerasnya bakal terbayar? Wajar kalau dia jadi cemas, karena dia benar-benar menaruh banyak usaha.

"Makasih. Aku senang kamu bilang begitu."

Setelah berkata begitu, Nagi menarik napas dalam-dalam. Mungkin dia merasa nggak nyaman. Apa ada yang bisa kulakukan untuk membantu? Saat aku menyilangkan tangan dan berpikir, tiba-tiba aku dapat ide.

"...Hei, Nagi."

"...? Ada apa?"

"Aku tahu kamu udah berusaha keras. Bahkan saat aku nggak lihat langsung, aku percaya kamu tetap latihan."

Nagi memiringkan kepalanya. Sepertinya obrolan ini akan panjang, jadi aku tarik napas dulu.

"Kamu mau nggak, aku kasih hadiah spesial sebelum pertunjukannya?"

"! …Beneran boleh?"

"Aku pengen kasih. Tapi kalau kamu ngerasa nggak nyaman, kamu bisa nolak."

Nagi menggeleng pelan dan menatapku dengan sorot mata yakin.

"Apa pun yang kamu lakukan buat aku, aku pasti senang, Souta-kun."

Aku senang banget dengar dia bilang begitu, apalagi nadanya tulus, bukan cuma basa-basi. Perasaan senangku pasti kelihatan di wajahku.

"Oke. Sini bentar."

"B-baik!"

Tempat yang aku ajak Nagi pergi adalah... kamar tidurku.

"Kamar Souta-kun... Ini pertama kalinya aku masuk ke sini."

"Biasanya kita selalu di ruang tamu, ya."

"Iya. Aromanya khas kamu banget."

Nagi melihat-lihat sekeliling dengan ekspresi penasaran, dan entah kenapa aku jadi agak malu. Aku duduk di atas tempat tidur di pojokan ruangan, lalu menepuk tempat di sebelahku. Nagi mendekat dengan ekspresi agak gugup.

"Kamu kelihatan agak speechless. Tapi tenang, aku nggak bakal ngelakuin hal aneh kok."

"Beneran?"

Dia tampak sedikit lega dan duduk di sebelahku. Tapi... apa tadi dia kelihatan sedikit kecewa? Atau cuma perasaanku aja?

Aku menghela napas pelan.

"Nagi. Coba kamu berbaring di sini."

"Eh?"

Aku menepuk-nepuk pahaku, berusaha mengabaikan jantungku yang berdetak kencang. Nagi menatapku dengan ekspresi terkejut.

"Kalau kamu nggak nyaman, nggak usah dipaksain."

"Aku nggak keberatan."

Sebelum aku selesai bicara, Nagi sudah berbaring miring... di pangkuanku.

"...Aku senang. Senang banget."

Suaranya pelan, tapi jernih banget, sampai-sampai menggema di telingaku. Tanpa berkata apa-apa, aku mulai mengelus rambutnya dengan lembut.

"Enak banget rasanya."

"Syukurlah. Nggak ada batasan waktu, jadi kamu bisa aku elus selama kamu mau."

Senyum tipis muncul di wajah Nagi, dan dia mengucapkan terima kasih dengan sopan.

Aku terus mengelus kepalanya sambil bilang, "Sama-sama." Lalu, aku sadar sepasang mata yang setengah tertutup sedang menatap ke arahku.

"...Mungkin ini agak egois, tapi... boleh nggak kalau aku sedikit manja?"

"Itu bukan egois kok. Tentu aja boleh."

Nagi bukan orang yang egois. Nggak apa-apa sesekali manja.

Tapi ternyata, dia lebih manja dari yang kubayangkan. Tiba-tiba, dia memutar tubuhnya dan menyandarkan wajahnya ke perutku. Tubuhku langsung kaku. Dari ujung kepala sampai kaki.

Aku menatap ke langit-langit dan menghela napas. Lalu, aku kembali menaruh tanganku di belakang kepalanya.

"Hehehe~"

Dengan tawa kecil itu, tekanan di perutku makin terasa. Dia makin menempel.

"Bau Souta-kun bikin aku tenang banget. Aku suka banget."\

"...Serius?"

Sedikit. Nggak, cukup malu juga sih. Tapi aku terus mengelus rambut Nagi, berharap itu bisa bikin dia makin nyaman.

Beberapa saat kemudian, aku sadar napas Nagi makin teratur. Saat aku menunduk, kulihat mata birunya mulai tertutup dan terbuka pelan-pelan.

"Kamu masih punya waktu malam ini. Tidurlah selagi bisa."

"...Iya, tentu... Umm, Souta-kun."

"Kenapa?"

Nagi mengangkat tangannya dan meletakkannya di dekat dadaku.

"Aku pengen kamu genggam tanganku."

Aku benar-benar sulit menenangkan diri. Jantungku yang tadi sudah berdetak cepat, sekarang makin kencang.

"Biar kamu bisa tidur lebih nyenyak?"

"Hmm... Aku cuma pengen. Tolong, ya?"

"Oke. Aku ngerti."

Saat aku mendekatkan tanganku ke tangannya, dia langsung menggenggam erat.

"Hangat..."

"Iya. Hangat banget."

Saat aku melihat Nagi yang tersenyum dengan pipi yang tampak rileks, aku merasa hatiku ikut tenang.

Mataku mengikuti gerakan kelopak matanya yang mulai tertutup.

"Selamat tidur, Souta-kun."

"Ah. Selamat tidur, Nagi."

Dengan kata-kata terakhir itu, Nagi pun tertidur. Meski dia sudah tidur, aku tak berniat melepaskan tangannya. Saat aku menatap wajahnya, dia benar-benar terlihat seperti anak kecil. Julukan Putri Es sama sekali nggak cocok untuknya.

Saat aku menyibakkan rambut dari pipinya ke arah telinga, dia mengeluarkan suara kecil yang lucu.

"...Lucu banget."

Tanpa sadar aku mengucapkannya pelan. Lalu buru-buru kututup mulutku sendiri. Tapi ternyata Nagi sudah benar-benar tertidur. Aku menghela napas lega dan kembali mengelus kepalanya dengan tangan satunya. Pipi Nagi tetap merah, wajahnya terlihat begitu damai.

Aku jadi bertanya-tanya... Apa dia merasa malu dengan keluarganya? Karena dia anak angkat... Atau memang sejak dulu dia merasa canggung dengan keluarganya. Hanya dia yang tahu jawabannya, tapi aku nggak bisa berhenti memikirkannya.

Keluarganya nggak bisa memanjakannya. Itu hal yang asing buatku. Aku malah dimanja walau aku nggak minta, tapi kalau kupikir-pikir, mungkin orang tuaku khawatir karena aku nggak punya teman.

Saat aku menunduk, Nagi sudah tertidur nyenyak. Pasti dia tegang, tapi juga kelelahan. Katanya dia latihan tari Jepang tiap hari sampai kemarin. Kalau diingat lagi, akhir-akhir ini tiap malam saat kami ngobrol pun dia cepat tertidur. Biasanya dia ketiduran di tengah-tengah telepon, tapi belakangan dia malah yang lebih dulu menutup telepon.

Mungkin... dia nggak bisa tidur nyenyak selama ini.

"Setidaknya malam ini, tidurlah dengan tenang di sini."

Aku tersenyum saat mendengar suara lirih dari Nagi yang sulit dijelaskan. Saat aku terus memandanginya, pikiran itu tiba-tiba muncul.

Aku rasa... aku nggak bisa hidup lagi tanpa Nagi.

Hal paling sederhana adalah makanan. Akhir-akhir ini, aku selalu makan bento buatan dia setiap hari.

Sabtu dan Minggu pun Nagi yang masak atau menyiapkannya lebih dulu. Jujur saja, itu jadi hal yang paling kutunggu tiap hari.

Lalu soal belajar. Kalau ada hal yang nggak kumengerti, Nagi selalu menjelaskannya dengan sabar dan jelas. Tapi bukan cuma itu. Dia juga mendukungku secara emosional.

Saat Nagi ada di sisiku, aku merasa... entah kenapa, hatiku tenang. Dan sekarang, aku merasa sedikit kesepian. Aku nggak mau kembali ke rutinitas harian yang biasa.

Tidak, jangan mikir yang aneh-aneh lagi. Meski aku memaksa pikiranku begitu, perasaanku tetap menolak.

Rasa ingin terus bersamanya makin kuat. Pada akhirnya... saat aku menyadari aku mencintainya, aku juga merasa dicintai. Sampai-sampai aku udah nggak bisa lagi bilang ke Eiji, "Aku nggak tahu."

Wajahku memanas. Perasaan ini... harus kutahan. Itulah kenapa aku memejamkan mata.

Nagi sudah menerimaku… Ingat alasan kenapa dia rela mempertaruhkan segalanya demi aku. Mungkin karena dia percaya padaku. Karena itu, perasaan ini... nggak boleh ditunjukkan. Bahkan jika suatu saat Nagi punya kekasih...

Tiba-tiba, kata-kata yang pernah Eiji ucapkan kembali terngiang di benakku.

"Sepuluh tahun dari sekarang, siapa yang kamu ingin jadi pria di samping Nagi Shinonome?"

Sesuatu yang mengerikan terasa merayap di punggungku.

Jika orang yang berdiri di samping Nagi sepuluh tahun dari sekarang...
bukan aku...

"Aku nggak suka."

Tanpa sadar aku membisikkan itu dan menggigit bibirku. Perasaanku pada Nagi... sudah tumbuh sejauh ini. Aku harus menyembunyikannya bagaimanapun caranya...

"...Souta-kun? Ada apa?"

Aku menarik tanganku dari dada dan menoleh ke arah Nagi, yang hanya menggerakkan matanya pelan.

Aku tersenyum padanya sambil terus berkedip, mencoba menenangkan hatiku sendiri.

"...Nggak apa-apa. Jangan khawatir."

Seperti yang kuduga, aku nggak bisa ngomong ini ke Nagi. Ini semua cuma pikiran yang muncul di dalam diriku sendiri. Tapi... kalau terus begini, aku tahu aku akan terus memikirkannya. Pikiran itu nggak akan pergi.

Aku mengelus kepala Nagi pelan dan menggenggam tangannya. Nagi membalas dengan senyum dan menggenggam erat kembali.

Kalau perasaanku ini terus tumbuh sampai aku nggak bisa menahannya lagi...

Saat saat itu tiba... aku harus bagaimana?

***

"Wah, banyak banget orangnya. Dan banyak yang kelihatan... berwibawa gitu."

"Iya... Banyak yang pakai jas dan kimono mahal. Ngomong-ngomong, keluarga Shinonome emang luar biasa, ya."

Akhirnya, hari pertunjukan tari Jepang Nagi pun tiba.

Tempat itu penuh sesak oleh para penonton. Aku bisa merasakan auranya—banyak dari mereka tampak kaya dan berkelas, dan mungkin memang begitu adanya. Katanya, kalau mau tampil dalam tari tradisional Jepang, wajib pakai kimono. Dan kimono itu... nggak murah.

Untungnya, sebagai pelajar, kami cukup mengenakan seragam sekolah. Jadi nggak perlu ribet soal pakaian formal.

"Tempat ini cukup resmi. Jadi kita jangan bikin heboh, apalagi kelihatan kayak pasangan yang pacaran."

"Tenang aja, kamu kelihatan rapi kok. Tapi... kamu masih nyebut Eiji 'Ei-chan' pas nonton pertunjukan seni gini?"

"Eiji itu pecinta seni, tahu. Kalau dia diem aja, aku nggak akan kelihatan aneh di tempat beginian, jadi santai aja."

...Beneran tuh? Soalnya Eiji biasanya bawel juga sih, meskipun kadang tahu waktu.

"Kalian berdua ini kayaknya gugup, deh."

"Aku bener-bener pengin bilang terima kasih, buat semuanya, termasuk kegiatan kita sehari-hari."

Dia berusaha ketawa kayak biasa, tapi Nishizawa nyikut Eiji pelan, dan Eiji langsung diam. Kalau terjadi sesuatu, mereka pasti bakal jaga sikap. Di sebelahnya, Hayama malah tertawa kecil.

"Sebagai cewek yang tahu diri, aku lega sih."

"Percaya diri banget ya kamu? Tapi ya, sejujurnya... Nagi juga bisa baca suasana sih. Kayaknya dia udah nebak semua ini."

Bagi Nagi, cukup menjadi teman saja sudah lebih dari cukup. Aku juga pernah mendengar tentang Hayama dari Nagi. Ia mengerti bahwa Nagi punya cara berpikir yang lembut dan agak berbeda dari orang kebanyakan.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita masuk?"

Kami masuk ke lorong bersama Eiji dan menunjukkan tiket di bagian penerimaan. Aku melangkah tanpa ragu dan menyerahkan tiketku dengan hati-hati, menempatkannya di tempat yang sesuai.

Kursinya sudah ditentukan... entah kenapa, aku mulai berkeringat.

Aku melihat ke sekitar, mencari tempat duduk kami dari arah pintu masuk. Hayama melihat wajahku yang gugup dan tersenyum menenangkan.

"Seperti yang Shinonome-chan bilang, keluarganya memang berbeda... Sepertinya dia dapat tempat duduk seperti tamu VIP. Dia bilang kamu pasti tahu kursinya di mana. Katanya dia yang menyebutkan nama-nama kita."

"Oh, begitu ya?"

Tentu saja, akan sulit bertemu dengan begitu banyak orang di sini. Aku merasa lega dia sudah mengatur segalanya... tapi tetap saja, ada rasa kecewa karena aku ingin bertemu orang tua Nagi.

Tak lama setelah itu, kami menemukan tempat duduk kami dan duduk. Tempatnya berada tepat di depan, di tengah-tengah panggung—sangat mudah untuk melihat pertunjukan. Sepertinya ini memang area yang disediakan untuk teman dan kerabat dekat.

Urutan duduk dari kiri ke kanan adalah Nishizawa, Eiji, aku, dan Hayama. Saat aku melirik Eiji yang terlihat gelisah sekaligus senang, aku hanya duduk diam, menunggu pertunjukan dimulai.

Setelah menunggu beberapa saat, pengumuman mulai terdengar. Petugas membacakan prosedur keselamatan, lalu susunan acara dan nama-nama para penampil. Aku membuka brosur dan membaca halaman terakhir—mataku langsung membelalak.

"Sebagai penutup acara hari ini, akan ada tarian dari Nagi Shinonome, satu-satunya murid dari Ichitake Tsuru, seorang Pusaka Hidup Nasional."

Aku langsung menoleh ke arah Eiji. Ia bertanya, "Kamu tahu soal ini?" dan aku hanya menggeleng.

Aku pun melihat ke Hayama, dan dia juga terlihat terkejut.

"Aku juga nggak tahu," katanya.

Ichitake Tsuru. Nama itu terdengar familiar.

Saat pertama kali tahu Nagi menekuni tari tradisional, aku sempat mencari-cari info dasar soal tarian Jepang—tentang sejarah, jenis-jenisnya, dan nama-nama maestro yang terkenal. Aku ingat sekarang, nama Ichitake Tsuru memang ada dalam daftar "Pusaka Hidup Nasional."

Dan Nagi... adalah satu-satunya muridnya?

Lampu mulai redup. Tirai panggung terbuka. Segala pikiranku langsung lenyap begitu pertunjukan dimulai.

Suara shamisen dan tabuhan taiko memenuhi ruangan. Meski semuanya disebut tari Jepang, ternyata jenisnya sangat beragam—ada yang tradisional, ada juga yang kuno dan sakral. Nagi pernah bilang kalau yang ditampilkan hari ini adalah tarian klasik.

Para penari bergerak dengan anggun, selaras dengan setiap petikan shamisen dan tiupan seruling.

Langkah mereka halus dan teratur. Meskipun aku bukan penggemar tari, aku merasa terseret masuk ke dalam dunia mereka.

Gerakan mereka begitu halus, sampai-sampai aku lupa bernapas. Aku cepat-cepat menarik napas dalam.

Aku sampai lupa berkedip, dan mataku mulai terasa kering. Aku menutup mata sebentar, lalu membukanya kembali—tak ingin melewatkan satu detik pun.

Ini adalah dunia tempat Nagi bersinar—dengan bimbingan seorang Pusaka Hidup Nasional. Dan aku… benar-benar tak sabar melihatnya tampil.

Tergantung pada pertunjukannya, tapi gerakan para penari seolah menggambarkan berbagai macam aksi. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan bahwa sebuah cerita dituturkan melalui tarian. Hal ini sebaiknya dikonfirmasi. Meski banyak gerakan yang asing, aku bisa menangkap bahwa mereka sedang merepresentasikan kegiatan sehari-hari. Mungkin kemampuan teknis para penari begitu tinggi, sehingga kita tetap bisa memahami maksudnya meskipun tidak secara sadar mencarinya.

Kemudian, pertunjukan pertama selesai... panggung menjadi gelap.

"......"

Aku merasakan emosi yang sulit dijelaskan di dalam dada. Aku mencoba menghela napas, tapi tidak berhasil melepaskan perasaan itu. Tanpa memberi kesempatan untuk bernapas, pertunjukan berikutnya langsung dimulai.

Sejak saat itu, semua pertunjukan benar-benar luar biasa. Aku merasa tertarik pada dunia itu. Tidak bisa dibandingkan dengan apa yang kita lihat di layar.

Mungkin memang berbeda ya—antara hanya mendengarkan lagu dan melihat pertunjukan langsung, dengan bernyanyi dan menyaksikan semuanya secara langsung di hadapan kita?

Tarian, lagu, dan semua suara yang terdengar benar-benar menyentuh hati. Sebuah dunia tercipta di atas panggung dari perpaduan semua unsur itu. Para penampil menguasai seluruh ruang.

Rasanya seperti sedang bermimpi. Kupikir pertunjukannya belum akan selesai, tapi tiba-tiba kusadari waktu telah berlalu begitu cepat. Bahkan ketika satu pertunjukan selesai, yang berikutnya langsung dimulai lagi, seolah aku tenggelam dalam kenikmatan yang tersisa. Mimpi itu berakhir... lalu dimulai lagi. Sepertinya semuanya akan terus berlangsung seperti itu.

“Pertunjukan berikutnya adalah yang terakhir.”

Aku terkejut mendengar pengumuman yang tiba-tiba. Saat melihat jam tanganku, aku benar-benar terperanjat. Berjam-jam pasti telah berlalu, tapi rasanya waktu berjalan begitu cepat. Tapi saat mengingat kembali angka-angka di jam dan semua pertunjukan yang telah kulihat, aku menyadarinya.

Di saat yang sama, bulu kudukku meremang dari kepala hingga kaki. “Benar. Yang terakhir adalah giliran Nagi.” Aku bisa merasakan bahwa dia gugup... karena ini adalah bagian penutup dari seluruh pertunjukan, dan dia harus tampil sebaik mungkin.

Aku menelan gugup dan air liurku, menyilangkan tangan, dan menunggu waktu berlalu. Saat-saat hening, ada yang terasa singkat, ada yang terasa panjang.

Ketika akhirnya dia muncul, ketegangan dan kecemasanku langsung lenyap. Sesaat aku tidak sadar bahwa yang di atas panggung adalah dia.

Aku membuka mata lebar-lebar dan lupa bernapas. Semua sel tubuhku terfokus padanya. Rasanya seolah-olah aku bahkan lupa bagaimana cara membuat jantungku berdetak. Aku tidak tahu... aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan ini dengan kata-kata.

Sejak awal, kulitnya memang putih, jadi meskipun wajahnya dipoles dengan riasan, tetap terlihat nyaris sempurna. Rambut panjang berwarna perak ditata rapi dan disematkan dengan pin.

Dia, dalam balutan kimono bermotif kelopak bunga sakura di atas kain putih bersih, bukanlah Nagi yang kukenal.

Matanya yang sedikit menyipit terlihat lembut. Mulutnya yang terkatup rapat memberi kesan tenang dan tegas. Semuanya tentang dirinya...

Oh, ya. “Cantik.” Kata itu paling tepat menggambarkannya. Aku bahkan merasa kata itu mungkin diciptakan hanya untuk dia.

Keindahan ini tidak akan bisa ditampilkan dengan rambut hitam. Karena warna rambut yang paling cocok untuk Nagi adalah putih.

Dan Nagi pun mulai menari di atas panggung. Lehernya yang mungil bergerak anggun, dan gerakan tangan dan kakinya lebih halus dan elegan daripada siapa pun yang pernah kulihat. Dedikasinya langsung terasa oleh penonton.

Kekuatan ekspresinya juga luar biasa. Bahkan jika aku tidak memahami secara langsung arti dari tatapan matanya atau gerakan tangannya, semuanya seolah langsung diteruskan ke dalam pikiranku—aku bisa merasakannya.

Sebelumnya, pertunjukan ini memang sudah berada di tingkat tinggi, tapi kini, gerakan Nagi terlihat berbeda, bahkan bagi mata amatir sepertiku. Wajahnya serius. Aku belum pernah melihatnya sefokus ini.

Ah, indah sekali. Luar biasa. Tatapannya sempat mengarah padaku. Ekspresinya tidak berubah, tapi tatapannya terasa melunak sejenak… lalu, di momen berikutnya…

Sebuah kipas terbuka di depan dadanya. Biru—seperti warna mata Nagi. Kipas itu memiliki gradasi indah dari biru langit ke biru laut. Suasana pun berubah. Sulit dijelaskan dengan kata-kata, tapi...

Sepertinya kini ia bukan lagi “Putri Es,” melainkan Nagi yang sesungguhnya.

Perlahan, dia memutar kipasnya dengan kelembutan yang memukau. Meskipun gerakannya terlihat lambat, aku bahkan tidak bisa langsung menangkap bagaimana tepatnya tangannya bergerak. Haruskah aku membandingkan? Aku pernah meneliti teknik ini sebelumnya, dan aku punya bayangan... Tapi, apakah bisa dilakukan seindah itu?

Aku terpukau oleh kelembutan gerakan yang kembali dengan mulus. Tidak. Ini bukan hal yang bisa dilewatkan. Aku tidak bisa menonton tanpa menghela napas. Rasanya seperti emosiku akan meledak.

Apa yang terjadi setelah itu jelas berbeda dari sebelumnya. Kipas itu bergerak seolah menjadi bagian dari tubuhnya. Gerakan kaki dan tangannya juga berubah. Lebih lembut dari sebelumnya. Ekspresinya mungkin tak berubah... tapi dia tampak lebih bersemangat.

Ah, aku mengerti sekarang. Aku akhirnya sadar kenapa gerakannya berubah. Nagi, kamu pasti gugup. Saat gerakannya berubah, suara shamisen pun mulai terdengar memenuhi seluruh ruangan.

Gerakan yang sudah luar biasa sebelumnya kini menjadi semakin halus dan matang seiring waktu berjalan. Seperti seorang anak yang tumbuh, perubahannya begitu cepat hingga penonton pun tak mampu mengejarnya.

Mungkin inilah kekuatan sejati Nagi.

Tanpa sadar, aku tersenyum dalam diam. Saat dia pertama muncul, aku bahkan tidak menyadari itu adalah dia. Tapi sekarang, aku bisa melihat kepribadian Nagi dengan jelas. Dan itu membuatku bahagia.

Nagi adalah gadis yang sangat rajin, lebih baik hati, dan lebih cantik daripada siapa pun. Rasanya semua kualitas itu tertuang dalam satu tarian ini. Aku sangat, sangat bahagia. Dan di saat yang sama, aku menyadari satu perasaan yang lebih dalam di dalam diriku.

Aku benar-benar mencintai Nagi.

***

"...Itu luar biasa."

"Ah. Benar-benar menakjubkan."

Aku mengangguk pada kata-kata Eiji. Orang-orang di sekitarku berjalan sambil memberikan ucapan selamat pada Nagi—tentang betapa hebat dan cantiknya dia. Itu membuatku merasa sangat senang.

Namun aku baru sadar belakangan bahwa Eiji sedang menatapku dengan senyum di wajahnya.

"Yah, aku senang kalau Souta terlihat menikmati semua ini. Aku penasaran apa yang akan dia lakukan kalau tiba-tiba bilang, ‘Rasanya seperti hidup di dunia yang berbeda.’"

Senyuman getir muncul di wajahku mendengar perkataan Eiji.

"Sejujurnya, itu memang yang aku pikirkan di awal. Tapi, di pertengahan pertunjukan, aku mulai melihat kepribadian Nagi muncul. Aku sadar kembali bahwa Nagi tetaplah Nagi—bukan 'Putri Es'—dia masih gadis biasa."

"Begitu ya... Apa kamu sudah berubah?"

"...Mungkin saja."

Ketika aku menjawab, aku kembali merenung.

Perasaan yang terus tumbuh ini sudah tak bisa kuabaikan lagi. Aku tahu, aku tidak akan bisa menyembunyikannya lebih lama lagi. Dalam situasi seperti ini, aku tidak punya pilihan selain menghadapinya secara langsung.

Aku tidak pernah menyangka momen itu akan datang secepat ini.

Dan tepat ketika aku membuat keputusan itu...

"Kamu Minori Souta?"

Aku mendengar suara dari belakang. Saat aku berbalik... berdirilah seorang wanita berusia empat puluhan. Seorang wanita berambut pendek hitam. Penampilannya yang anggun membuatku merasa tenang dan nyaman.

"Y-ya. Aku Minori Souta... tapi, siapa Anda?"

"Maafkan saya atas ketidaksopanan saya."

Wanita itu membungkuk dengan anggun dan menatapku dengan lembut.

"Aku adalah pelayan dari keluarga Shinonome... dan pelayan pribadi Nagi-sama. Namaku Shoko Suzuka."

...Pelayan pribadi Nagi?

"Minori Souta. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu. Aku akan sangat berterima kasih jika kamu bisa meluangkan sedikit waktumu."

"Y-ya... tapi, apa itu tidak apa-apa?"

Aku melirik ke arah Eiji dan yang lainnya. Aku bertanya-tanya apakah mereka juga boleh ikut, tapi wanita itu...

Suzuka-san mengangguk.

"Tentu saja, teman-temanmu boleh ikut."

"Aku mengerti."

Namun, masih banyak orang di sekitar sini. Kami pun meninggalkan aula pertunjukan dan berjalan ke ujung tempat parkir. Di sana ada mesin penjual minuman dan beberapa bangku. Untungnya, tidak ada siapa-siapa di sekeliling.

"Pertama-tama, Minori-sama. Terima kasih karena sudah menjadi teman bagi nona muda... dan terima kasih juga karena telah membantu beliau."

Suzuka-san mengucapkannya sambil membungkuk dalam-dalam. Aku mengerti maksud dari ucapan itu, dan banyak pertanyaan mulai muncul di benakku.

"T-tidak, um... itu saja. Apakah... Nagi... Nagi-san pernah membicarakan tentangku?"

"Tenang saja. Hanya aku yang mendengar cerita tentang Minori-sama. Dan tidak ada masalah selama kamu tetap memanggilnya seperti biasa dan berbicara dengan cara yang membuatnya nyaman."

Ini adalah pertama kalinya aku mendengar bahwa Nagi pernah membicarakan tentangku.

"Saat ini, aku adalah pengurus rumah tangga pribadi sekaligus orang yang paling bertanggung jawab atas urusan memasak. Dulu pun aku sering membantu nona muda."

"Ah, begitu ya."

Kupikir kalian berdua sudah tahu soal kotak bekal itu. Kalau begitu, mungkin kalian juga sudah tahu... aku benar-benar tidak bisa memasak.

"Tenang saja. Aku sudah mendengar situasi nona muda."

"Terima kasih atas pengertiannya."

Mendengar hal itu, Suzuka-san berdeham pelan.

"Aku tidak akan mengambil terlalu banyak waktumu, jadi aku akan langsung ke pokoknya."

Aku penasaran apa yang ingin dia katakan. Semoga saja bukan sesuatu yang buruk... pikirku. Namun, Suzuka-san tiba-tiba menundukkan kepalanya lagi.

"Hari ini, berkat Minori-sama, nona muda bisa menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Terima kasih banyak."

"...Aku?"

"Ya. Saat nona muda mengubah gaya penampilannya. Orang yang dia lihat saat itu adalah Minori-sama."

...Jadi, dia tahu itu aku? Tapi, tunggu. Rasanya itu masih agak aneh.

"Tapi aku duduk cukup jauh dari panggung, jadi bukankah ada kemungkinan dia melihat orang lain?"

"Tidak, aku tidak berpikir begitu. Ada alasan lain."

Suzuka-san tersenyum lembut. Senyuman yang bisa membuat siapa saja merasa tenang hanya dengan melihatnya.

"Di tempat itu… lebih dari siapa pun… Nona muda paling mengagumi Minori-sama. Itulah sebabnya aku tahu."

"Oh..."

Wajahku memanas mendengar ucapannya. Aku tahu Eiji dan yang lain pasti sedang tersenyum di belakangku, walaupun aku tidak menoleh.

"Aku ingin mengucapkan terima kasih. Belakangan ini, nona muda terlihat sangat bahagia. Sudah lama sejak aku melihatnya bersenang-senang seperti itu… berbicara denganku seperti dulu lagi."

Suzuka-san menatap ke kejauhan dengan pandangan bernostalgia... Tapi saat aku memikirkannya, Suzuka-san kembali menatapku dengan ekspresi serius.

"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, walau mungkin terdengar agak memalukan."

"...? Apa itu?"

Walaupun tiba-tiba diminta menjawab sesuatu, aku tidak tahu harus berkata apa. Suzuka-san pun mulai menjelaskan.

"Nona muda sangat berterima kasih pada kedua orang tuanya... pada ayah dan ibunya. Dia merasa sangat bersyukur karena telah diadopsi dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang."

Dari pembicaraan ini, aku jadi mulai memahami. Bukankah itu hal yang baik? Tapi... wajah Suzuka-san tampak sedikit khawatir.

"Tentu saja, mereka berdua sangat menyayangi putri mereka. Tapi sebagai orang tua, kadang sulit untuk bisa benar-benar memahami anak perempuan seusia dia... Tindakan dari Tuan Besar mungkin justru menimbulkan kesalahpahaman, dan keduanya pun sibuk dengan pekerjaan. Ada banyak hal yang tidak saling dimengerti."

"Ah, begitu ya."

Aku bisa mengerti. Anak seusia kami memang sering mengalami kesulitan seperti itu. Banyak teman di kelas yang juga sering cerita tentang pertengkaran dengan keluarga.

"Tuan Besar itu sangat kaku. Kalau soal pekerjaan, tak ada yang bisa menandingi dia, tapi… ah, aku jadi keluar topik. Maafkan aku."

"Tidak apa-apa. Aku memang belum banyak mendengar tentang orang tua Nagi."

Aku memang tidak ingin terlalu dalam membicarakan hal itu, jadi aku tak banyak bertanya pada Nagi… Sejujurnya, aku seperti sengaja menghindarinya.

"Terima kasih. Tapi aku tidak akan mengambil lebih banyak waktumu yang berharga."

Suzuka-san benar-benar telah menggunakan waktunya sebaik mungkin. Aku hanya bisa mendengarkan dengan tenang dan menunggu kata-kata berikutnya darinya.

"Ini masih masalah yang bisa diselesaikan. Namun, suatu hari nanti, tuanku mungkin akan menjadi benar-benar acuh terhadap nona muda. Jika itu terjadi, besar kemungkinan nona muda akan sangat terluka... Meski dia tidak akan menunjukkannya secara langsung. Saat itu tiba, aku ingin Minori-sama dan teman-temanmu mendukung Nagi-sama."

Tatapan Suzuka-san tidak hanya tertuju padaku, tapi juga pada Hayama dan yang lainnya di belakangku. Aku mengangguk dalam atas ucapannya.

"Kalau Nagi sedang dalam kesulitan, aku akan membantunya. Aku pasti akan mendukungnya."

"Aku juga!"

"Kami memang baru saling kenal sebentar, tapi kalau ada yang bisa kulakukan, aku pasti akan membantu."

"Nagi-rin... Aku ingin lebih dekat dengan Nagi-chan! Aku juga akan membantunya!"

Setelah aku bicara, Hayama dan yang lain pun mengikutinya dengan semangat yang sama. Mendengar itu, Suzuka-san mengeluarkan sapu tangan dan menyeka matanya.

"Maaf... Mungkin karena faktor usia, mataku akhir-akhir ini mudah berair. Tentu saja, aku juga akan melakukan yang terbaik untuk membantu kalian dan nona muda."

Suzuka-san memasukkan kembali saputangannya dan tersenyum lembut.

"Terima kasih banyak untuk hari ini. Aku belum memberi tahu Tuan Besar tentang Minori-sama karena nona muda memintaku untuk merahasiakannya, tapi... tolong, datanglah dan temui mereka suatu saat nanti. Aku yakin mereka berdua akan bersikap sangat ramah. Itu pasti akan membuat nona muda sangat bahagia."

"Y-ya. Aku mengerti."

Kalau aku memang ingin menghadapi perasaanku ini, suatu hari nanti aku pasti harus bertemu dengan orang tuanya.

"Terima kasih banyak. Sampai jumpa lagi."

"Ya. Aku juga sangat berharap bisa bertemu lagi."

Lalu aku pun berpisah dengan Suzuka-san.

Hari ini, aku melihat sisi lain dari Nagi... dan juga menyadari lebih banyak tentang perasaanku sendiri.

Sekarang setelah aku menyadarinya... aku harus mengambil keputusan\

***

Ketika Souta dan teman-temannya sedang berbicara dengan Suzuka, di sebuah ruangan pribadi, seorang ayah dan anak sedang saling berhadapan.

“Ayah. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”

Orang yang berkata demikian adalah seorang pemuda berpenampilan rapi dengan setelan jas. Usianya sekitar dua puluh tahun. Ekspresinya sangat serius, dan sepertinya ia juga sedang gugup. Tangannya yang tergenggam erat basah oleh keringat.

“Ada apa?”

Orang yang duduk di depannya adalah pria berambut hitam, ditata rapi dengan wax. Jika dia adalah ayah dari pemuda itu, usianya pasti cukup tua, tapi wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda penuaan.

“… Aku penasaran tentang wanita yang menari di pertunjukan terakhir.”

Pemuda itu akhirnya berkata setelah ragu-ragu sejenak. Meskipun cara bicaranya terdengar tak langsung, maksudnya tersampaikan dengan jelas pada pria di depannya.

“Serius? Kau mengatakan ini padahal tahu bahwa wanita itu adalah putri dari rival bisnis keluargamu?”

Pria itu bertanya tanpa sedikit pun mengubah ekspresinya. Namun, pemuda itu tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun.

“Ya… Jika itu tak bisa diterima, Ayah bisa mengasingkanku. Aku siap untuk itu.”

Pria itu memegang kepalanya. Ia tahu bahwa putranya benar-benar serius.

“Maaf karena telah menjadi anak yang tidak berbakti, tapi meski aku disingkirkan, aku pasti akan membuktikan diri suatu hari nanti.”

“Jangan bicara bodoh.”

Pria itu sangat menyayangi pemuda itu, putranya sendiri. Sekarang, pikirannya dilanda dilema.

Pekerjaan, atau keluarga? Mana yang harus ia pilih?

Setelah beberapa saat, pria itu menghela napas.

“Apakah itu membuatmu bahagia?”

“Ya, tentu saja.”

“Kau juga tahu bahwa gadis itu masih siswa SMA, bukan?”

“Usia tidak penting. Bahkan jika usianya seumuran Ayah, aku tetap akan memohon seperti ini.”

Pria itu menunduk dalam diam.

“Kita pikirkan bersama. Bersiaplah agar kita bisa bertemu kapan saja.”

Wajah pemuda itu langsung bersinar mendengar bisikan itu.

“……! Terima kasih banyak!”

Beberapa waktu kemudian, barulah mereka semua menyadari insiden ini.

***

Dia datang ke rumahku pada hari Senin, sehari setelah pertunjukan Nagi berakhir. Minggu ini terasa seperti liburan, dan sepertinya tak ada hal yang perlu dipelajari. Dan sekarang, aku dan Nagi duduk berdampingan di sofa, saling menatap.

"Aku sudah berusaha keras. Aku mau hadiah."

"Tentu."

"Eh, kamu langsung jawab? Cepat banget, ya? Kupikir kamu bakal nolak."

"Aku tahu Nagi sudah berusaha keras. Lagipula, aku juga ingin berterima kasih. Kamu telah menunjukkan sesuatu yang... benar-benar luar biasa."

Penampilannya benar-benar luar biasa. Pengalaman itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah kudapatkan hanya dengan menjalani hidup biasa.

"Itu semua berkat Nagi. Kalau ada yang bisa kulakukan, bilang saja. Aku akan melakukan apa pun."

"Apa pun... Tidak, itu tidak baik. Jangan asal ngomong hal seperti itu."

Aku tak bisa menahan senyum saat mendengar ucapan Nagi.

"Baiklah, aku sudah bilang ke Nagi."

Aku tak pernah berpikir kalau Nagi akan meminta hal yang buruk. Kupikir, saat aku mengatakannya...

"...Tidak, itu tidak boleh. Kalau kamu bilang begitu, aku bisa jadi gadis nakal."

Kata-kata itu diucapkan dengan lembut. Namun, dalam keheningan ruangan, aku tidak mungkin melewatkannya.

"Tidak apa-apa kalau kamu jadi gadis nakal di depanku, aku nggak akan membenci Nagi karena itu."

"Aku sudah bilang, kan? Aku akan jadi gadis yang sangat egois, ya kan?"

Meskipun mata birunya berkedip, dia menatapku langsung. Aku menerima tatapan itu dan mengangguk.

Nagi biasanya tidak manja. Tapi belakangan ini, dia mulai menunjukkannya sedikit demi sedikit.

Tapi itu masih belum cukup. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.

"Baiklah, kalau begitu. Aku akan bilang. Aku bilang ya?"

"Ah, apa pun nggak masalah."

Nagi mengepalkan tinjunya di depan dadanya. Bibirnya yang berwarna merah muda pucat bergetar saat ia membukanya. Di saat yang sama, ia sedikit membuka tangannya.

"Tolong peluk aku erat-erat. Aku ingin kamu memelukku erat."

...Meski aku sempat menduga beberapa hal, aku tidak menyangka ini.

"Ah, begitu ya."

Tidak ada alasan untuk menolak. Aku memeluknya, dengan tangan kecilnya yang terbuka. Lengan putih dan ramping melingkari punggungku dan memelukku erat. Sebagai balasan, aku memeluknya lebih erat lagi.

Perasaan hangat dan lembut menyebar ke seluruh tubuhku. Aku malu mendengar suara detak jantungku yang cepat, tapi aku juga bisa mendengar detak jantungnya—berasal dari dalam tubuhnya, tumpang tindih dengan milikku.

Aku sadar itu adalah detak jantung Nagi, dan di saat yang sama, dia tertawa pelan. Nafas yang lolos darinya membuat bahu dan punggungku geli.

"Suara hati Souta-kun menenangkan banget."

"Oh, aku juga merasa begitu."

Aku bisa merasakan suhu tubuhnya dari tempat tangannya menyentuh punggungku, dan saat dia memelukku. Rambutnya yang lembut menyentuh tanganku, dan aroma manisnya membuat pikiranku terasa ringan.

"Souta-kun."

"Apa?"

"...Hehe, nggak apa-apa."

Setiap kali dia membuka mulutnya, dagunya bergerak di pundakku, menimbulkan rasa geli. Entah dia sedang ingin bilang sesuatu atau hanya mengobrol. Aku tidak tahu. Tapi aku rasa, tidak mengerti pun tidak apa-apa.

Suara detak jantungnya, kehangatannya... aku merasa seperti bisa merasakannya semua.

Aku berharap momen ini bertahan selamanya, tapi tanpa kusadari, satu jam sudah berlalu. 

Nagi melihat jam, lalu melepaskan pelukannya, tampak puas. 

Mata birunya menyipit, dan pipinya terlihat rileks.

Bibir mungilnya perlahan terbuka.

"Selanjutnya, giliran Souta-kun."

"Aku?"

"Ini hadiah untuk Souta-kun."

Aku sedikit memiringkan kepala mendengar kata-katanya. Memang ada alasan kenapa Nagi berusaha keras, tapi... aku tidak merasa telah melakukan apa pun.

"Karena Souta-kun datang, aku bisa berusaha sekuat itu."

"Nagi-lah yang berusaha keras. Aku tidak melakukan apa-apa."

"Tapi kamu datang, kan? Ke pertunjukan itu."

Jari-jarinya yang ramping seperti sirip ikan mencengkeram bajuku. Wajahnya terlihat serius… atau mungkin lebih tepatnya, sedikit putus asa.

“Souta-kun, kamu nggak tahu berapa kali aku diselamatkan olehmu.”

Wajahnya semakin dekat. Tangan-tangannya bergerak pelan dan menempel di dadaku. Aku bisa merasakan langsung kehangatan tubuhnya di dadaku. Detak jantungku terdengar semakin jelas.

“Satu-satunya tempat di mana aku bisa benar-benar menjadi diriku sendiri… adalah di samping Souta-kun. Sejak hari kamu datang… Tidak.”

Tangannya naik lebih tinggi. Tangan satunya terulur dan membelai pipiku. Mata lautnya memantulkan sinar matahari. Saat aku terpaku melihatnya, satu jari panjang dan ramping menggelitik pipiku.

“Sejak pertama kali tatapan mataku bertemu dengan mata Souta-kun, aku bisa menari lebih baik dari sebelumnya. Setelah itu, guruku memujiku dan bilang, ‘Kulitmu berubah, jadi lebih indah.’”

“…Benarkah?”

“Iya. Dia bilang, ‘Sepertinya kita bertemu orang yang baik.’ Jadi, sebenarnya Souta-kun sudah menolongku jauh lebih banyak dari yang kamu bayangkan.”

Jari-jarinya membelai pipiku dengan lembut lagi dan lagi.

Aroma manis dan lembut Nagi menyeruak ke hidungku, membuatku merasa pusing dalam cara yang menyenangkan.

“Aku nggak bisa mengungkapkan betapa bersyukurnya aku dengan kata-kata.”

Suaranya seindah denting lonceng dan sejernih aliran mata air pegunungan. Getarannya menggema di telingaku, mengguncang otakku. Tubuhku dipenuhi ketenangan, sampai aku merasa seperti akan kehilangan kesadaran. Tapi ternyata, itu belum akhir darinya.

“Maka dari itu, Souta-kun juga harus dapat hadiah. Tolong, bilang saja apa pun. Sungguh, apa pun boleh.”

Kata-kata itu manis sekali—sampai rasanya seperti racun bagiku.

“Lebih baik jangan bilang hal seperti itu…”

Aku memaksa kata-kata itu keluar dari tenggorokanku, dan akhirnya berhasil mengatakannya. Itu saja sudah susah payah kulakukan agar aku tidak terlihat gugup.

Kata-katanya terngiang keras di kepalaku… Aku membayangkan, akan berbahaya kalau seseorang benar-benar mengatakan “apa pun” saat aku mulai menyadari perasaanku sendiri.

Aku malu dan berusaha mengalihkan pandanganku, tapi tidak bisa lepas dari tatapan mata itu. Dia terkekeh pelan.

“Gak apa-apa. Aku hanya akan bilang seperti ini ke Souta-kun saja.”

Mataku membelalak mendengar itu, lalu aku pun tersenyum.

“Kedengarannya jahat banget.”

“Hehe. Sekarang kamu ngerti ‘kan gimana rasanya tadi?”

“Ah. Ini jelas masalah.”

Di saat itu, Nagi akhirnya melepaskanku. Meskipun aku merasa lega, ada sedikit rasa sedih juga—karena pipiku terasa sedikit lebih dingin sekarang.

“Gak apa-apa. Kalau ada yang bisa aku bantu, aku pasti akan bantu.”

Jantungku mulai berdetak tak karuan lagi saat aku mendengar kata-kata itu untuk kedua kalinya. Tidak, tidak… Ini bukti bahwa Nagi mempercayaiku. Tapi…

"Tidak apa-apa kalau kita tidur bersama."

Tenggorokanku terasa tercekat saat dia terus bicara. Aku mencoba mengatakan sesuatu, tapi mulutku terbuka tanpa mengeluarkan suara.

"Aku nggak bercanda..."

Senyumnya masih semanis biasanya, tapi mata dan kata-katanya terdengar serius. Aku menggelengkan kepala, mencoba menghapus pikiran buruk yang muncul di benakku.

"Aku hentikan sampai di sini. Bukan karena aku nggak suka idenya. Itu sebenarnya... menarik. Tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."

Saat aku menolak, Nagi terlihat sedikit sedih, jadi aku buru-buru menjelaskan alasanku. Matanya yang sempat redup kembali bersinar, dan dia sedikit memiringkan kepalanya.

"Apa yang kamu mau?"

"Ah, soal itu... Awalnya, aku kepikiran buat ngajak kamu..."

Aku merasa agak malu dan menggaruk pipiku sambil akhirnya mengambil keputusan.

"Bisa nggak kamu ngeluangin satu hari aja buat aku?"

Mata Nagi sedikit membesar.

"Itu..."

"Ah, Nagi. Aku ingin..."

Dadaku berdebar kencang, napasku mulai pendek-pendek. Mulutku kering, dan aku menarik napas panjang.

"Aku ingin kamu jalan-jalan bareng aku."

"...! Maksud kamu... ini kencan?"

Kata-katanya benar-benar menyentuh hatiku. Aku mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugup.

"Aku pasti mau. Kencan bareng Souta-kun."

Nagi bergumam dengan suara bahagia. Melihatnya seperti itu membuat hatiku jadi lebih tenang, dan ada kehangatan yang mulai mengisi dadaku.

"Itu bagus."

Aku menghela napas lega dari lubuk hatiku. Aku tahu kecil kemungkinan dia bakal nolak, tapi tetap saja aku senang dia menerimanya.

"Aku nggak sabar buat kencan sama Souta-kun. Kamu udah pikirin kita mau ngapain?"

"Yah, ini mungkin agak kekanak-kanakan, tapi... aku kepikiran buat ke taman hiburan."

"Taman hiburan!"

Mata Nagi langsung berbinar seperti anak kecil. Aku sempat bingung, lalu dia terlihat sedikit malu dan berdeham pelan.

"Sebenernya, aku belum pernah ke taman hiburan."

"Serius?"

"Iya. Waktu kecil, orang tuaku pernah ngajak. Tapi bahkan saat masih kecil, aku udah ngerti kalau mereka sibuk banget, jadi aku tolak ajakan mereka..."

"Oh, begitu ya..."

Aku nggak tahu pasti berapa umur Nagi, tapi mudah sekali membayangkan dia yang kecil, menahan keinginannya demi menjaga perasaan orang tuanya.

"Kalau begitu, ayo kita bersenang-senang bareng."

"Iya!"

Saat aku mengatakan itu pada Nagi, tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di benakku.

Aku berharap, suatu hari nanti, Nagi bisa pergi ke banyak tempat bersama orang tuanya.

***

Sabtu depan. Hari yang sudah kami janjikan.

Minggu lalu adalah minggu liburannya Nagi, jadi hari ini dia datang…

Tapi sejak Sabtu lalu, dia kelihatan nggak enak badan. Itu terjadi setelah aku dengar dia bilang akan ada pembicaraan penting dengan ayahnya hari Sabtu itu.

Aku sempat khawatir dan menawarinya untuk mengganti jadwal, tapi Nagi langsung menolak.

"Aku nggak akan pernah ganti harinya."

Aku coba tanya apakah ada sesuatu yang terjadi, tapi dia ragu dan akhirnya memilih diam. Aku pun nggak memaksanya, merasa lebih baik membiarkannya bicara saat dia siap.

Aku mengepalkan tangan yang mulai mati rasa dan membiarkan darah mengalir kembali untuk meredakan ketegangan.

Saat melakukannya, aku sampai di peron stasiun tempat Nagi menunggu. Melihat rambut putih saljunya dari balik jendela, rasa gugupku perlahan menghilang.

"Selamat pagi! Souta-kun!"

"Oh, selamat pagi, Nagi."

Nagi tampak seperti biasa… atau bahkan lebih ceria dari biasanya. Aku sedikit khawatir, tapi dia terlihat baik-baik saja.

Musim dingin hampir tiba, dan hari ini sangat dingin. Nagi mengenakan mantel cokelat tua dan topi rajut hitam. Dia terlihat hangat dan nyaman.

"Pakaian itu cocok banget buat kamu."

"...! Terima kasih. Souta-kun juga kelihatan keren."

"Eh… makasih ya."

Aku hanya mengenakan jaket musim dingin hitam. Tapi sepertinya pakaian Nagi memang khusus untuk hari ini.

"Oke, ayo kita pergi."

"Ya! Aku udah nggak sabar!"

"...Ah. Saking nggak sabarnya, aku sampai susah tidur tadi malam."

"Hehe~, aku juga nggak bisa tidur."

Nagi tersenyum. Entah kenapa, senyumnya yang biasa itu kali ini terasa sedikit canggung?

Walau hatiku masih menyimpan sedikit kekhawatiran, kami pun naik kereta bersama.

***

"Wow...! Luas banget!"

"Ini pertama kalinya aku ke sini, dan ternyata tempatnya luas banget."

Taman hiburan ini cukup dekat dari stasiun. Melihat suasananya, Nagi langsung terlihat bersemangat dan tanpa ragu meraih lengan bajuku, menarikku untuk segera ikut dengannya.

Kami pun berdiri dalam antrean untuk masuk ke taman.

"Tapi aku kaget juga. Kukira Souta-kun udah pernah ke taman hiburan sebelumnya."

"Hmm?... Ah, soalnya rumahku di pedesaan. Nggak ada taman hiburan di sekitar sana."

Waktu kecil, aku pernah pergi ke kebun binatang dan akuarium, tapi belum pernah sekalipun ke taman hiburan.

"Kamu tahu kan, taman hiburan biasanya punya wahana yang ada batas usia dan tinggi badan? Sebenarnya, dulu sempat ada rencana mau pergi pas aku SMA, tapi waktu itu ayahku sibuk kerja."

"Oh, jadi itu maksudmu?"

Melihat antreannya, sepertinya kami masih harus menunggu agak lama. Aku pun kembali menatap Nagi dan menanyakan sesuatu yang tiba-tiba terpikir.

"Nagi... Kamu pernah ke tempat lain selain taman hiburan? Kayak kebun binatang, gitu?"

"Aku cuma pernah ke kebun binatang sekali, bareng keluargaku. Itu sekitar setahun setelah aku pulang ke rumah. Sisanya... aku tolak. Alasannya sama kayak kenapa aku nolak ke taman hiburan."

"...Ah, begitu ya."

Tapi bisa dibilang, orang tua Nagi tetap berusaha meluangkan waktu untuk mengajaknya ke kebun binatang meski mereka sibuk. Fakta bahwa mereka sempat mengajaknya ke tempat hiburan menunjukkan kalau mereka tetap memikirkannya. Tapi tetap saja...

"Kalau begitu... kenapa kamu nggak terus pergi ke tempat-tempat seperti itu?"

Dari sekarang, aku ingin melihat banyak tempat bersama Nagi. Akuarium, museum... sepertinya menyenangkan. Terutama kalau ke museum seni yang berkaitan dengan tarian tradisional Jepang.

Itulah yang aku pikirkan saat bertanya, tapi wajah Nagi tiba-tiba membeku. Setelah dia berkedip, ekspresinya kembali seperti biasa—tapi aku nggak bisa mengabaikannya.

"Iya, tentu saja. Aku pengin pergi."

Tapi ada sesuatu yang gelap di balik senyumnya... Aku penasaran. Mungkin cuma perasaanku saja. Tapi tetap saja, aku khawatir.

"Kamu boleh cerita, kalau ada sesuatu yang terjadi."

Karena aku benar-benar peduli pada Nagi. Meski aku merasa mungkin aku terlalu berpikir jauh.

Mata Nagi sempat membesar, lalu dia tersenyum.

"Ada sesuatu yang bikin aku sedikit bingung. Tapi kalau aku main bareng Souta-kun, aku yakin aku bakal bisa lupa itu semua. Jadi, nggak apa-apa kok."

"...Benarkah?"

Dia nggak mau cerita lebih jauh. Kurasa dia memang nggak ingin membicarakannya. Kalau begitu, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.

"Ayo kita bersenang-senang."

Aku menyentuh tangan yang sedari tadi memegangi lengan bajuku. Jari-jari Nagi sempat bergerak menjauh dari ujungnya, tapi tidak benar-benar melepas. Saat aku menggenggam tangannya, Nagi menyipitkan mata, tersenyum, dan membalas genggamanku dengan erat.

"Hari ini, aku mau bersenang-senang!"

Ucapnya ceria, sambil melangkah lebih dekat dan menyandarkan bahunya ke bahuku.

***

Tempat pertama yang kami datangi setelah masuk ke taman hiburan adalah... labirin.

"Jadi, ini jalur yang mengarah kembali ke tempat semula?"

"Sebaliknya, malah menjauh."

Sambil melihat brosur bersama Nagi, aku pertama-tama bertanya ke mana dia ingin pergi lebih dulu—dan tempat pertama yang dia tunjuk adalah ini.

Labirin ini merupakan bangunan terbesar di taman hiburan ini dan tampaknya memang cukup serius dibuat. Rupanya ini memang salah satu tempat yang sudah lama ingin dia kunjungi.

Dan dia terlihat benar-benar menikmati tempat ini. Aku juga senang.

Tentu saja ini bagus buat mengasah otak, tapi selain itu...

"Hmm. Sekarang kamu bisa melihat keseluruhan jalurnya."

Aku suka melihat Nagi berpikir dengan ekspresi serius seperti itu. Dia meletakkan tangan di dagu, pandangannya terpaku ke kejauhan—meskipun sebenarnya tidak melihat apa pun secara khusus... entah sadar atau tidak, dia menggenggam tangannya erat-erat.

Tingkah lakunya benar-benar menggemaskan, dan aku nggak pernah bosan memperhatikannya.

"...?"

Saat Nagi menatap mataku, dia membalas senyumanku.

Menurutku, semua gerak-geriknya itu terlalu lucu. Sampai-sampai aku sulit bernapas karena terlalu gemas.

"Kalau begitu, ayo kita balik lewat jalur tadi."

"Ah, baik."

Dengan Nagi yang memandu dan menggandeng tanganku, kami menelusuri jalan di dalam labirin.

Dan akhirnya, kami pun berhasil mencapai tujuan.

***

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku yang menggenggam tangan Nagi.

Alasannya? Karena sekarang kami masuk ke rumah hantu.

"Kamu nggak apa-apa, Nagi? Kalau kamu beneran takut, kita boleh kok batalin,"

Kataku di dalam ruangan yang agak gelap. Sosok Nagi nyaris nggak terlihat, tapi dia menggeleng pelan—dan pada saat yang sama, rambut putih saljunya bergoyang, menyentuh bahuku dan terasa menggelitik.

"T-Tidak! Aku udah bilang mau masuk!"

Sambil mengatakan itu, Nagi langsung memeluk lenganku… atau lebih tepatnya, memeluk seluruh lenganku.

Situasinya bisa dibilang cukup sulit, tapi bukan berarti aku nggak takut juga.

Aku memang suka film horor, tapi bukan berarti aku suka ditakut-takuti secara langsung.

Tiba-tiba, sesuatu yang dingin menyentuh pipiku dan membuatku refleks mengangkat bahu.

Nagi juga merasakannya dan ikut melonjak kaget.

"S-Souta-kun!? A-Ada apa!?"

"Nggak, nggak... kayaknya ada yang nyentuh pipiku..."

Saat aku menoleh ke belakang, nggak ada siapa-siapa di sana. Tapi pelukan Nagi di lenganku terasa makin kuat, dan sesuatu yang hangat bersandar di bahuku. Saat kulihat, ternyata pipi Nagi sudah menempel di bahuku.

"Uuh, uuuh… Ayo jalan terus, Souta-kun!"

"Jangan dipaksain, ya?"

"Nggak apa-apa! Aku yakin, kalau ada apa-apa, Souta-kun pasti bakal lindungin aku!"

Kalimat itu terdengar sangat alami.

Saat kulihat wajah Nagi, dia mengembungkan pipinya dan mencoba berjalan lebih dulu.

Melihat dia seperti ini… bahkan di tengah-tengah situasi menyeramkan, aku tetap merasa hangat di dalam hati.

Tiba-tiba—sebuah tangan muncul dan mencengkeram kakiku.

Dan kami langsung berlari.

***

Kami duduk di bangku taman dan beristirahat.

Nagi meletakkan tangannya di dada dan menarik napas dalam-dalam.

"Ha... Seru banget."

"Iya. Aku nggak nyangka orang pertama yang memarahiku waktu SMA malah pemeran rumah hantu, bukan guru,"

Kataku sambil tertawa pelan.

Lari di rumah hantu memang dilarang karena berbahaya. Kami ditegur setelah berhasil keluar.

Nagi tersenyum kecut dan mengeluarkan dua kotak dari tas yang ada di pangkuannya.

"Kalau begitu, ayo makan siang."

"Baiklah, makasih ya."

Di taman hiburan ini memang ada area khusus untuk makan.

Pengunjung boleh membawa makanan dan minuman sendiri, bahkan ada taman kecil di dalamnya.

Kami bisa menikmati makan siang seperti sedang piknik.

"...Aku bikin bekal untukmu, Souta-kun. Ini pertama kalinya kita makan siang bareng, ya?"

"Kalau dipikir-pikir, iya juga."

Wajar sih, karena kami sekolah di tempat yang berbeda. Tapi tetap terasa sedikit aneh juga.

"Hari ini aku masak banyak makanan yang kamu suka. Jadi makan yang banyak, ya."

"Ah, makasih. Boleh aku buka sekarang?"

"Tentu saja!"

Aku mengucapkan terima kasih dan setelah Nagi mengangguk, aku membuka kotaknya.

"Wow...!"

Ada ayam goreng dan hamburger. Nasi putih dengan tumis sayuran manis pedas.

Semuanya adalah makanan favoritku.

Saat aku memandangi isinya dengan kagum, Nagi juga membuka kotaknya sendiri dan menatapku sambil tersenyum.

Saat aku merapatkan kedua tanganku, Nagi pun melakukan hal yang sama.

"Selamat makan!"

Dan kami mulai makan.

"...! Enak banget! Ini beneran enak, Nagi!"

"Hehe~. Aku senang kamu suka."

Nagi makan bekalnya sambil tersenyum, lalu berkata,

"Iya, rasanya enak sekali!"

Bekal yang seharusnya cukup banyak itu pun habis dalam waktu singkat.

"Terima kasih untuk makanannya."

"Terima kasih juga sudah jadi orang yang baik. Souta-kun kelihatan makannya lahap sekali."

"Karena enak, beneran."

Dan porsinya benar-benar pas untuk membuatku kenyang.

"Makasih ya, Nagi. Berkat kamu, aku bisa ingat lagi gimana rasanya menikmati makan."

Untuk beberapa waktu, sebelum aku bertemu Nagi, makan hanyalah kewajiban—sesuatu yang kulakukan karena harus.

Saat aku mengucapkan terima kasih sekali lagi, Nagi tersenyum lembut.

"Sama-sama."

Namun, entah itu cuma perasaanku saja atau bukan... senyum itu tampak seperti menyimpan sesuatu yang lebih dalam—sedikit bayangan kesedihan yang samar.

***

"Roller coaster. Ini pertama kalinya aku naik, dan ternyata seru banget!"

"Iya. Aku juga senang."

Setelah makan siang, kami mencoba beberapa wahana. Tapi seperti biasa, waktu menyenangkan terasa cepat berlalu. Matahari mulai terbenam, dan saatnya untuk satu wahana terakhir.

Tanpa sadar, pandanganku bertemu dengan mata biru itu.

"Ada satu wahana terakhir yang ingin aku naiki."

"...Kebetulan sekali. Ada satu wahana yang juga ingin aku naiki bareng Souta-kun. Kurasa itu wahana yang sama."

Percakapan berhenti sampai di situ. Kami mulai berjalan—tanpa bergandengan tangan, tanpa isyarat apapun.

Tempat yang kami tuju adalah bianglala.

"Bianglala. Aku sudah lama ingin naik ini."

"Aku juga ingin..."

Suara hatiku menyela ucapanku sendiri, dan meski keluar dari mulutku, rasanya seperti bukan kata-kataku.

Sekarang kami sudah di sini, tidak ada jalan untuk mundur. Tidak, aku memang tidak berniat untuk mundur.

Aku sudah siap... Tapi tetap saja, rasa gugup ini tidak bisa dihindari. Anehnya, sambil menunggu dalam antrean, obrolan kami jadi sepi.

Ah, aku bahkan tidak bisa melihat wajah Nagi sekarang. Apakah tanganku berkeringat dan terasa tidak nyaman? Aku sendiri pun bingung.

Tiga puluh menit dalam antrean. Waktu yang pendek untuk melakukan sesuatu, tapi terasa lama saat tidak melakukan apa-apa.

Selama itu, aku dan Nagi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terlalu gugup sampai-sampai tak sanggup menatap wajahnya.

Aku menarik napas kecil dan dalam berulang kali agar napasku tidak jadi pendek.

Waktu yang terasa panjang dan singkat di saat bersamaan. Akhirnya, tibalah giliran kami naik bianglala.

"Hati-hati jangan sampai jatuh saat naik, ya."

"Makasih."

Nagi naik lebih dulu. Lalu aku menyusul.

Di saat seperti itu pun, dia masih menggenggam tanganku.

Ternyata bagian dalamnya tidak seluas yang kubayangkan. Paling-paling hanya cukup untuk empat orang.

Aku duduk di sebelah Nagi, mencoba merapikan pikiranku yang kacau.

Sebenarnya sudah sejak tadi aku mencoba, tapi tidak berhasil juga—mungkin karena pikiranku benar-benar berantakan.

Kapan aku harus mengatakannya? Saat wahana mencapai titik tertingginya? Apa yang harus kita bicarakan sampai saat itu? Aku bertanya-tanya apa yang akan kulakukan jika dia menolakku, dan kemudian aku menyadari sesuatu yang aneh.

Suasana di dalam bianglala benar-benar aneh. Terdapat ketegangan, seolah-olah ada benang yang ditarik.

"Nagi?"

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya aku melihat wajah Nagi.

Kapan terakhir kali aku tidak melihat wajahnya seperti ini? Yah, mungkin ini pertama kalinya sejak kami bertemu. Pemikiran itu mengejutkanku, dan mataku semakin terbelalak saat melihat wajah Nagi.

Nagi menatapku dengan ekspresi tegang.

"Souta-kun."

Kelembutan hilang dari kata-katanya. Mungkin dia sudah menunggu aku untuk menyadarinya.

"Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu... Sebuah cerita yang sangat penting."

Aku merasa kepalaku menjadi dingin, seolah-olah aku disiram air dingin. Merinding sepanjang tulang belakangku, seperti air yang mengalir di kulit. Aku punya firasat buruk.

Mata biru Nagi menatap mataku tanpa berkedip.

"Souta-kun, sebenarnya..."

Aku tidak ingin mendengar kata-kata berikutnya. Dadaku bergetar, seolah-olah organ dalamku sedang disentuh langsung. Meskipun aku tidak tahu apa yang akan dia katakan... aku ingin menutup telingaku.

Aku ingin mendengar suara lembutnya seperti biasa. Aku ingin dia tertawa. Aku berpikir untuk menutupnya dengan kata-kata. Intuisiku mengatakan ini bukan waktu yang tepat untuk itu.

Aku tidak ingin mendengarnya, tapi aku harus mendengarnya. Pikiran yang saling bertentangan bertarung di dalam hatiku. Dan firasatku benar...

"Hari ini adalah hari terakhir aku bisa bertemu dengan Souta-kun."

Aku mengenai sasaran dengan cara yang paling buruk. Aku tidak bisa mempercayai apa yang kudengar.

Aku bahkan tidak bisa memprosesnya. Pikiran saya menjadi kosong, dan saya tidak bisa memikirkan apa pun.

Ketika akhirnya aku mulai berpikir, beberapa puluh detik telah berlalu... Tidak, mungkin sudah beberapa menit.

"Apa yang kamu katakan?"

Suara saya serak, dan mungkin sulit untuk didengar. Namun, Nagi tidak menunjukkan hal semacam itu dan hanya mengulang kata-katanya.

"Mulai hari ini, aku tidak akan bisa bertemu dengan Souta-kun lagi. Itu yang aku katakan."

Aku berharap aku salah mendengar kata-kata itu. Namun... matanya serius, dan kata-katanya langsung.

Tolong katakan itu bohong. Banyak pikiran datang dan pergi dalam benakku. Tidak, aku tidak bisa mengorganisir pikiranku.

"...Alasannya. Boleh aku tanya kenapa?"

Dengan susah payah, aku berhasil mengucapkan kata-kata itu. Nagi mengangguk dan menggenggam tanganku yang dingin. Tangannya juga dingin.

"Aku sudah memutuskan untuk bertunangan dengan seseorang... Tapi itu belum terjadi."

Kata-kata itu terdengar tumpul, seolah-olah datang dari bawah air. Mereka menguasai diriku seperti cengkeraman erat pada organ dalam tubuhku. Entah bagaimana, aku berhasil menyimpannya dan menanamkannya dalam otakku yang bingung.

"Tolong lanjutkan."

"Calon suamiku adalah putra dari presiden sebuah perusahaan... Sepertinya dia akan berusia 20 tahun tahun ini. Dia melihatku sekali di acara televisi dan jatuh cinta padaku sejak pandangan pertama."

Lebih tua. Dan putra seorang presiden. Meskipun pikiranku lambat, aku bisa mengerti.

"Aku tidak mengatakan itu. Ayahku seorang pebisnis, dan lebih spesifiknya, dia terlibat dalam bisnis yang berhubungan dengan kimono... Dengan fokus pada pasar luar negeri."

"...Begitu ya?"

Ada banyak hal yang mulai masuk akal. Nagi unggul dalam tari Jepang, upacara teh, dan penataan bunga... mungkin itulah alasan di baliknya. Pakaian Jepang juga populer di luar negeri, jadi itu mungkin menjadi daya tarik untuk pasar luar negeri.

"Sabtu lalu, aku berbicara dengan ayahku. Syarat yang dia berikan adalah: ‘Kita akan mengatur pertemuan pernikahan minggu depan. Dan jika mereka bertunangan, mereka akan diserap oleh Shinonome Group’... Ini sedikit lebih rumit, tapi jika aku analisis, ini yang dimaksud."

"...Apa niat Nagi?"

"Aku bilang aku mau."

Pasti aku salah dengar. Nagi tersenyum, tapi ada sesuatu yang menyakitkan dalam senyum itu. Namun, dia tak pernah mengalihkan pandangannya.

"...Aku tidak bisa mengubahnya."

Dia berbisik pelan, dan sebuah tangan dingin menutupi pipiku.

"Aku minta maaf, aku menarikmu ke dalam ini. Sebenarnya, aku selalu berpikir bahwa suatu hari aku akan menerima lamaran seperti ini. Aku menggunakan Souta-kun untuk tujuan itu."

"Apa...?"

"Apakah kamu ingat pertama kali aku berbicara denganmu, Souta-kun?"

Dalam kata-kata Nagi. Tentu saja, aku ingat saat itu, dan aku mengerti. Ketika dia bilang dia takut pada pria dan ingin mengatasi rasa takut itu.

Waktu akan memungkinkan dia untuk akhirnya menyelesaikan masalah itu. Itu yang aku pikirkan juga.\

Namun, karena "suatu hari nanti," kemungkinan besar dia akan melewatkan peluang besar dalam waktu dekat. Hubungan atau studi? Mungkin ujian masuk... Atau mungkin peluang besar lainnya.

"Aku harus mengatasi rasa takut ini. Itu sebabnya aku percaya padamu, dan aku ingin bertaruh nyawaku padamu."

Akhirnya, aku mengerti mengapa dia ingin mengatasi rasa takutnya.

"Ya. Suatu hari nanti, jika aku takut pada pria saat ada lamaran seperti ini, aku akan berada dalam posisi yang merugikan. Itulah mengapa aku menggunakan Souta-kun."

Aku mulai gemetar saat kata-kata itu terbentuk. Sebuah lapisan tipis terbentuk di atas mataku. Namun, mata biru itu tetap menatapku dengan langsung.

"Seharusnya itu saja."

Nagi mengatakan itu dengan senyum di pipinya. Sebuah tetes air mata jatuh.

"...Aku jatuh cinta padamu."

Suara pengakuannya terdengar terlalu tenang. Namun, tak ada cara untuk mengabaikan kata-kata Nagi.

"Jadi, aku ingin berubah. Aku ingin bisa mengatakan tidak pada permintaan ayahku. Itu sebabnya aku ingin membuat keputusan."

Tetesan air mengalir di pipi Nagi.

"Aku berharap bisa jatuh lebih cinta lagi pada Souta-kun. Akan lebih baik jika aku tidak bisa bertemu orang lain selain dirimu. Jadi, aku berbicara dengan Hayama-san tentang apa yang harus aku lakukan agar itu bisa terjadi. Kupikir, jika aku melakukannya, aku bisa jatuh lebih dan lebih cinta padamu."

Air mata mengalir tanpa henti. Sebelum aku menyadarinya, aku menghapus tetesan air itu dengan jari.

Tangan Nagi saling bertumpuk dengan tanganku.

"Aku suka kebaikan Souta-kun seperti itu... Mencoba menyenankan Souta-kun. Mengenalmu dan membuatmu lebih senang. Suatu hari nanti, aku akan memperkenalkanmu pada ayahku sebelum lamaran datang. Bahkan jika tawaran itu datang, saat lamaran datang, aku akan bilang, 'Aku punya seseorang yang aku suka'..."

Aku mencoba mengeringkan air matanya, tapi tangannya menggenggam tanganku begitu erat sehingga aku tidak bisa.

"Tidak. Aku memilih jalan yang paling buruk."

"Nagi, kenapa kau... Tidak bisakah kau menolak?"

"Karena aku mencintai ayah dan ibuku."

Nagi menjawab tanpa ragu dan memaksakan senyum. Itu adalah senyum yang sangat terdistorsi.

"Aku berhutang banyak pada ayah dan ibu... Aku tidak bisa membalas mereka seumur hidupku. Itulah sebabnya aku membuat keputusan ini. Aku mempertimbangkan keluarga dan Souta-kun dengan setara."

Ketika aku menatap mata birunya yang penuh air mata, hatiku terasa kencang dan perih.

"...Apakah tidak ada tempat bagiku untuk campur tangan?"

"Tidak. Tidak peduli apa yang kau katakan, aku tidak akan berubah. Aku sudah sampai pada titik di mana aku tidak bisa mengubahnya lagi."

Meski matanya kabur, mereka tidak pernah goyah. Dia sudah tekad. Dia memberitahuku bahwa tak peduli apa yang aku katakan, dia tidak akan berubah pikiran. Aku sadar bahwa jika aku menahannya, Nagi hanya akan terluka.

"Semua salahku. Aku yang membiarkan semuanya tak terselesaikan... Sebenarnya, aku tahu aku seharusnya memberi tahu Souta-kun lebih awal."

Mata birunya menggelap, dan dia menunduk untuk pertama kalinya.

"Aku takut memberi tahu Souta-kun. Saat pertama kali bertemu denganmu, aku merasa begitu tenang dan melupakan semua hal buruk... Aku terus mengulang-ulang apa yang akan kukatakan besok, dan kita ada di sini sekarang."

Tangan Nagi, yang sebelumnya bertumpuk satu sama lain, terpisah. Pada saat yang sama, tanganku jatuh dari pipinya.

"Tolong benci aku, Souta-kun."

Nagi mengepalkan tangan dan meletakkannya di dadanya. Dia sedikit gemetar, mungkin karena dia menggenggamnya terlalu erat.

"Apakah kau menyimpan begitu banyak kebencian terhadapku, wanita yang kau kenal? Tolong, lupakan itu... Tidak, aku minta maaf. Aku tahu tidak ada cara bagi seseorang seperti Souta-kun untuk melakukan hal seperti itu dengan lebih mudah jika itu masalahnya... Aku benar-benar wanita yang menjijikkan bagi dirimu."

Nagi menggeleng pelan dan berdiri. Saat itu juga, wahana bianglala berhenti.

“Ada satu hal lagi. Masih ada satu hal yang ingin aku katakan.”

Nagi turun dari bianglala dan mulai berjalan. Aku mengikutinya dari belakang. Tidak ada percakapan.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku benar-benar tidak tahu harus bilang apa.

Dia berhenti di tempat yang cukup tenang. Di sana, Nagi mulai bicara lagi.

Nagi berbalik dan tersenyum… setidaknya aku pikir itu senyuman. Pipi-nya bergetar, dan aku tidak yakin apakah pantas menyebut itu senyum.

“Souta-kun, bahagialah. Kalau itu kamu, aku yakin kamu bisa menemukan seseorang yang jauh lebih baik dariku.”

Aku tidak suka ini.

“Kalau begitu, bahagialah bersama orang itu. Bangunlah keluarga yang jauh lebih bahagia dari keluargaku… T-tolong.”

Tolong hentikan. Aku ingin berteriak. Tapi tidak ada suara yang keluar. Hanya udara yang lewat dari tenggorokanku.

“Anakmu pasti akan sangat lucu. Kamu akan jadi ayah yang baik… dan akan bermain dengannya di hari libur.”

Suaranya makin kecil.

“Tidak…”

Ia menggeleng pelan. Bersamaan dengan itu, air mata mengalir bebas di pipinya.

“…Sebenarnya tidak, aku bukan orang yang seperti kamu… Tidak.”

Aku menggigit bibirku keras-keras. Rasanya seperti menggigit besi, tapi aku tidak bisa melepaskannya.

Sepuluh tahun dari sekarang… aku tidak bisa membayangkan ada orang lain di sisiku selain Nagi.

“Aku… aku tidak mau.”

Kata-kata yang akhirnya keluar terdengar lemah dan menyedihkan.

“Tidak, aku tidak bisa… kalau bukan bersama Nagi.”

Itu mutlak. Aku benar-benar membenci ini.

Tapi… sebanyak apa pun aku mengatakannya, aku tahu itu hanya akan membuat hati Nagi semakin sakit. Jadi aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Aku tahu tekad Nagi sangat kuat. Aku tahu dia tidak akan berubah pikiran.

“Souta-kun benar-benar baik.”

Tanpa menghapus air matanya, Nagi menatap mataku.

“Maaf karena aku lemah.”

Sambil berkata begitu, Nagi melangkah satu langkah mendekat. Wajahnya kini sangat dekat denganku.

Matanya yang biru, masih penuh air mata, menatapku dalam-dalam.

“Maaf karena aku pengecut dan licik.”

Dia tertawa. Kali ini, seperti biasanya. Tersenyum dengan lembut…

“Aku akan menjadi kenangan terakhirmu.”

Sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibirku.

Itu terjadi dalam sekejap.

Nagi melangkah mundur dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tapi wajahnya tetap menghadapku, masih dengan senyuman.

"Ciuman pertama ini... hanya ini yang ingin aku berikan untuk Souta-kun."

"Nagi..."

"Souta-kun."

Tanganku yang tadinya ingin meraih dirinya, kehilangan kekuatan begitu dia memanggil namaku.

"Maaf... Dan terima kasih."

Nagi benar-benar tidak adil.

"Sama-sama."

Kata-kata itu... yang seharusnya menjadi penghubung antara aku dan Nagi, justru terucap sebagai kata perpisahan.

Nagi tersenyum makin dalam mendengar jawabanku.

"Dari lubuk hatiku, aku benar-benar berharap Souta-kun mendapatkan masa depan yang bahagia... lebih dari siapa pun."

Nagi pun berbalik, memperlihatkan punggungnya padaku.

"Selamat tinggal, Souta-kun."

Ciuman pertama itu... terasa sangat pahit.

"...Tanpa Nagi di sisiku, aku tak bisa merasakan bahagia lagi."

Setetes darah mengalir dari bibirku, menetes ke tanah.

***

Kepalaku terasa sakit.

Aku bangkit dari tempat tidur, mencari obat.

...Eh, gimana caranya aku bisa sampai rumah, ya?

Ah, sudahlah. Itu nggak penting.

Aku mematikan ponsel yang terus-menerus berdering.

Aku nggak mau bicara dengan siapa pun sekarang.

Aku minum obat pereda nyeri... dan aku bahkan nggak punya tenaga buat kembali ke tempat tidur.

Aku terjatuh ke sofa dalam diam.

Aku nggak tahu mana yang lebih baik.

Dan aku nggak mau tahu.

Aku cuma ingin tidur dan menghilang.

Tanpa melawan rasa kantuk yang pelan-pelan menguasaiku, aku memejamkan mata.

Kalau aku membiarkan diriku tertidur... mungkin aku nggak akan pernah bangun lagi.

Aku benar-benar sempat berpikir begitu, tapi tetap saja aku menutup mata...

Ding dong

Suara bel pintu membangunkanku. Tapi aku nggak punya tenaga untuk bangkit dan membukanya.

Aku nggak ingat pernah pesan apa pun... Maaf, aku akan pura-pura nggak ada orang di rumah.

Ding dong

Bel itu berbunyi lagi. Mungkin cuma tukang jualan.

Ding dong

...Atau mungkin orang dari kelompok agama...

Ding dong

...

Ding dong ding dong ding dong ding dong

Bel itu terus berbunyi tanpa henti.

Aku menghela napas dan perlahan bangkit.

Siapa sih, datang-datang tengah malam begini?

Dengan langkah berat, aku menuju pintu dan membukanya dengan enggan, dan...

"...Eiji?"

Nggak mungkin... tapi memang sosok Eiji yang berdiri di sana.

"Halo, Souta. Aku datang."

***

Sudut Pandang Nagi

Satu minggu yang lalu.

Siang hari di hari Sabtu, ayah memanggilku karena ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

Semuanya terasa begitu tiba-tiba.

Kami makan siang bersama sekeluarga, dan saat itulah beliau mengatakan ingin berbicara empat mata denganku di kamarnya. Aku hanya bisa mengangguk, penasaran dengan apa yang ingin beliau sampaikan.

Aku berjalan ke kamar ayah dan mengetuk pintu.

“Ini aku, Nagi.”

“Masuk saja.”

“Permisi.”

Setelah pertukaran kata singkat itu, aku masuk ke kamar.

Kamar ayah bergaya barat yang sangat sederhana... Meski tidak banyak perabotan, ada beberapa bagian yang menarik perhatian. Ada meja kerja dan sofa di dalamnya.

Meja kerja itu katanya dipasang agar beliau bisa tetap bekerja di kamar. Katanya, punya meja kerja yang sama seperti di kantor membuatnya lebih fokus, dan yang paling penting: ukurannya pas dengan tubuhnya. Sofa di sana bukan untuk dipakai sendiri, tapi untukku, ibu, atau tamu yang datang.

Ayah duduk di meja, lalu berdiri dan berpindah ke sofa... sambil membawa selembar kertas.

“Duduklah di sini.”

“Baik.”

Aku duduk di samping ayah. Aku mencoba menebak apa yang akan dibicarakannya, tapi tidak ada satu pun yang terlintas jelas di pikiranku.

Ada rasa cemas yang muncul perlahan di dalam diri.

Ayah berdeham pelan dan sesekali menatapku.

“…Nagi. Aku dengar dari Suzuka dan yang lainnya, kamu menikmati kehidupan SMA, ya? Apa menyenangkan?”

“Iya. Aku menikmatinya.”

Tak ada alasan untuk menyembunyikan apa pun. Mungkin beliau hanya ingin tahu apakah ada perubahan sejak terakhir kami berbicara. Tentang teman... ah, aku sudah pernah memberitahu ayah tentang mereka.

Dan aku juga sudah minta Suzuka untuk merahasiakan soal Souta.

Dan kemudian... ayah terlihat mengerutkan kening, menyilangkan tangan, lalu berbicara dengan sedikit kesulitan.

“Itu bagus... Tapi, hmm, apa kamu punya seseorang yang kamu suka?”

Jantungku langsung berdegup kencang saat mendengar itu.

Wajahku kaku, dan aku butuh waktu untuk bisa menjawab.

“…Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya.”

Tidak, itu bukan jawaban yang tepat.

Seharusnya...

“Seharusnya aku jawab ‘Iya’.” Aku hanya perlu menjawab jujur tanpa bertanya balik.

Aku menggenggam tanganku sendiri erat-erat sambil menunggu kelanjutan kata-kata ayah. Jantungku berdebar cemas.

“Bukan, maksud ayah adalah... ada lamaran pernikahan yang datang untukmu.”

Pernikahan.

Begitu mendengar kata itu, pikiranku langsung kosong.

“Menurut ayah, ini masih terlalu cepat... karena kamu masih kelas satu SMA.”

Jantungku seperti berhenti berdetak sejenak karena terkejut.

Dan di saat yang sama, muncul pikiran dalam diriku 'Akhirnya, hal ini datang juga...'

Yang mengejutkan, hatiku justru langsung terasa tenang, lalu...

“Siapa tunangannya?”

Itulah yang aku tanyakan.

Tidak. Seharusnya aku tidak perlu mendengar lebih jauh.

Tapi kalau tunangannya... bukan seseorang yang punya pengaruh pada bisnis ayah...

Aku masih menyimpan harapan kecil.

“Ah, itu Minamikawa Yuto-san.”

Dan harapan itu langsung hancur.

“Minamikawa? Maksud Ayah... yang itu?”

“Iya, Ayah juga terkejut, kok.”

Sebuah perusahaan yang fokus melestarikan kimono dan budaya hiburan Jepang di dalam negeri.

Aku ingat perusahaannya memang dipimpin oleh seseorang bermarga Minamikawa.

Dan perusahaan itu... adalah rival bisnis ayah, perusahaan yang justru mengembangkan kimono secara besar-besaran ke luar negeri.

Aku seharusnya tidak mendengarkan lebih jauh lagi. Aku harus langsung menolak.

Dan aku juga harus bicara soal orang yang aku sukai, tentang Souta-kun.

Aku harus bicara—tapi mulutku tak bisa bergerak seperti yang aku inginkan.

“Bagaimana ini bisa terjadi?”

“Nagi, waktu itu kamu muncul di acara TV, kan? Nah, katanya, anak laki-laki mereka jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihatmu di acara itu. Ayah sempat selidiki sedikit, dan ternyata anaknya orang yang jujur dan sangat baik. Ini profilnya.”

Ayah menunjukkan kertas yang dari tadi dipegangnya.

Seperti CV, di sana ada foto seorang pria muda yang tampan... kurasa wajahnya memang menarik.

Di bawahnya tertera riwayat pendidikan, pencapaian, dan sertifikasi yang ia punya.

Tapi bagiku, karakter, penampilan, atau kemampuan calon pasangan bukanlah hal penting.

Karena orang yang aku suka bukan dia. Tapi Souta-kun.

Jadi, aku harus bicara tentang Souta-kun.

Aku harus segera bicara.

“Tapi, Ayah... Bukankah perusahaan mereka dan perusahaan kita itu rival? Bukankah itu hal yang rumit?”

Kenapa mulutku tidak bisa bicara seperti yang aku mau?

“Hm? Ah... Sebenarnya, Ayah tidak ingin membahas soal bisnis sama kamu, Nagi.”

Mungkin saat itu adalah kesempatan terakhirku.

“Tolong, ceritakan saja.”

Aku kehilangan kesempatan untuk mundur.

Ayah terlihat agak ragu sebelum mulai bicara.

“Sebenarnya, mereka sudah membuat penawaran. Kalau kita bersedia, mereka ingin mengadakan pertemuan informal minggu depan, hari Minggu, untuk saling mengenal. Itu saja sudah cukup membuat Ayah yakin ini akan sangat menguntungkan bagi perusahaan. ...Dan, kalau ada komitmen lebih lanjut, mereka juga bersedia membantu bisnis kita... dalam arti lain, mereka bahkan bersedia menjadi anak perusahaan kita.”

Ini adalah tawaran yang sangat luar biasa, dan bahkan aku yang tidak begitu paham soal bisnis pun bisa mengerti hal itu. Terlebih lagi, ini adalah tawaran yang terlalu menguntungkan bagi kami. Aku jadi merasa takut karenanya.

“Bukankah ini mencurigakan?”

“Ah, Ayah juga sempat berpikir begitu, jadi Ayah sudah menyelidiki beberapa hal... Dan dari hasilnya, tampaknya mereka memang sudah tidak punya ambisi lagi. Demi anaknya, mereka bilang pekerjaan... perusahaannya sendiri sudah tidak penting. ‘Aku akan melindungi budaya Jepang,’ kata orang itu, tapi sekarang dia sudah tidak ada.”

Itu saja yang aku pikirkan tentang putranya.

Atau mungkin lebih tepatnya—tentang ego sebagai seorang ayah.

Dia bilang itu demi anaknya, tapi kalau begini, orang-orang yang akan dirugikan bukan cuma sepuluh atau dua puluh orang saja.

“…Ayah yakin tidak ada yang mencurigakan di balik semua ini?”

“Ah. Ya. Dan kalaupun ada, kita masih bisa mengatasinya.”

Kalau begitu—

Itu salah.

Aku harus menolak. Aku harus menolak...

Benarkah?

Apa aku benar-benar harus menolak?

Kesempatan seperti ini... mungkin hanya datang sekali seumur hidup.

Tidak, aku bahkan tidak tahu apakah kesempatan lain seperti ini akan datang lagi.

Kalau aku melewatkannya, bisa saja aku takkan pernah dapat kesempatan seperti ini lagi.

Artinya, ini adalah kesempatan pertama dan terakhir untuk membalas kebaikan orang tuaku.

Meskipun aku sudah mulai membalasnya sedikit demi sedikit... tapi menjadikan perusahaan mereka sebagai anak perusahaan dari perusahaan besar, itu adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa aku lakukan sendiri.

Apa tidak apa-apa kalau aku membiarkannya lewat begitu saja?

Kalau ini bisa memperluas bisnis Ayah, maka perusahaan-perusahaan pesaing akan tertinggal satu langkah... tidak, dua atau tiga langkah. Kalau itu terjadi, Ayah akan makin dekat dengan mimpinya.

Mimpi yang diceritakan Ayah dan Ibu padaku waktu aku masih kecil:

“Sebarkan keindahan kimono ke seluruh dunia.”

Kalau diucapkan begitu saja, terdengar agak kekanak-kanakan. Tapi itu karena memang mimpi itu Ayah miliki sejak muda.

Ayah menemukan dunia kimono dan tari Jepang... dan diselamatkan oleh seorang guru yang kini sudah tiada. Itulah alasan Ayah mendirikan perusahaan—untuk menghidupkan kembali seni tradisional Jepang yang mulai terlupakan.

Ibu juga ikut mengejar mimpinya bersama Ayah dan terus mendukungnya.

Tentu saja, apa yang bisa dilakukan oleh generasi Ayah dan Ibu memang terbatas...

Tapi kalau aku mengambil keputusan ini, Ayah bisa melangkah jauh menuju mimpinya.

“Kalau aku menolak... rasanya seperti tidak ada kemajuan sama sekali.”

Saat aku terdiam, Ayah tersenyum padaku.

...Sangat jarang aku melihat Ayah berubah ekspresi seperti itu.

“Kamu masih kelas satu SMA. Ayah juga merasa ini terlalu cepat kalau bicara soal menikah. Tapi Nagi dari dulu susah bergaul dengan laki-laki, kan? Ayah pikir ini kesempatan yang bagus. Dia juga sudah dewasa dan punya sopan santun, jadi kamu tidak akan merasa takut.”

Mendengar kata-kata itu, aku menutup mataku.

Ini tidak mungkin terjadi. Aku harus mengatakannya... meski aku tidak seharusnya. Aku harus memperkenalkan Souta-kun pada Ayah.

Namun, kalau aku melewatkan kesempatan ini... bukankah itu sama saja dengan mengkhianati kebaikan mereka?

Pikiranku menjadi kosong.

Timbangan dalam benakku bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Antara Souta-kun... atau Ayah dan Ibu.

Aku... Aku...

“Aku mengerti.”

Aku mengangguk.

“Minggu depan, kan? Kalau hari Minggu, aku tidak keberatan.”

Ayah tampak sedikit khawatir.

“Apa kamu benar-benar yakin? Kamu masih bisa memikirkannya lagi.”

“Tidak. Aku sudah memutuskan sejak lama.”

Saat aku masih kecil, aku pernah bertanya pada Ayah:

“Kalau aku sudah besar nanti, aku ingin membantu Ayah. Caranya gimana?”

Aku ingin membantu Ayah. Tapi saat itu, aku tidak tahu bagaimana caranya. Itu sebabnya aku bertanya.

“Kamu masih harus banyak belajar. Dan kalau bisa, Ayah ingin kamu melanjutkan bisnis dan mimpi Ayah. Ah, mungkin. Mungkin nanti akan datang seorang menantu yang hebat. Kalau saat itu tiba, bertemanlah dengannya.”

“Iya! Aku janji!”

Karena itulah yang aku katakan.

Aku berjanji.

Dan aku hidup dengan janji itu.

Jika keputusan ini bisa membawa kebahagiaan untuk Ayah dan Ibu, maka aku akan menggunakan hidupku untuk mereka berdua.

Saat aku memandang Ayah dengan perasaan itu… ekspresi wajahnya berubah menjadi sesuatu yang sangat jarang kulihat seumur hidupku.

“Begitu ya… akhirnya saat itu tiba juga. Ayah akan bicara pada pihak mereka. Tapi kalau setelah bertemu kamu merasa tidak sanggup, bilang saja.”

“Terima kasih banyak.”

Sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku melihat ekspresi itu di wajah Ayah?

Kalau aku bisa melihat ekspresi itu... itu sudah cukup.

...Ya.

Kurasa, itu sudah cukup.

***

Hari-hari terasa seperti neraka yang tak ada habisnya.

Aku tidak bisa tidur di malam hari.

Selalu dihantui oleh kebencian terhadap diriku sendiri, pikiranku terus dipenuhi oleh bayangan Souta-kun.

Aku tahu, aku harus segera bicara dengan Souta-kun.

Semua ini adalah akibat dari perbuatanku sendiri... tidak, lebih buruk dari itu. Karena aku menyeret

Souta-kun ke dalam masalah ini.

Aku merasa mual dan muntah.

Perutku sakit, aku terjebak di kamar mandi.

Kepalaku pusing, rasanya seperti akan pingsan.

Suzuka-san sangat peka, jadi dia hampir mengetahuinya, tapi entah bagaimana aku berhasil menyembunyikannya.

Aku memutuskan untuk merahasiakan ini dari Suzuka-san sampai hari yang dijanjikan. Aku juga sudah meminta ayah untuk tidak memberitahunya. Karena aku ingin ini jadi kejutan.

Ayah dan ibu juga tidak tahu. Sejak dulu aku memang pandai menyembunyikan sesuatu.

"......"

Aku bahkan tidak mengizinkan diriku sendiri untuk bernapas. Aku tidak ingin mengizinkannya.

Karena aku seperti ini, aku pantas menderita.

Sebagai hukuman karena telah menyakiti orang-orang yang benar-benar aku cintai, ini masih terlalu ringan.

Aku seperti ini... lebih baik terus menderita sampai aku mati.

Panggilan telepon itu akan segera berakhir. Hari ini, aku seharusnya bicara.

Aku seharusnya bicara...

"Kalau begitu, sampai jumpa besok. Selamat malam, Souta-kun."

"Ah, sampai besok. Selamat malam, Nagi."

Aku tak bisa bicara.

Bukan di telepon, bukan juga di kereta.

Pada akhirnya... hari itu pun tiba.

Hari saat aku pergi ke taman hiburan bersama Souta-kun.

***

Akhirnya, aku kembali meneguhkan tekadku.

Tidak, aku tidak punya pilihan selain meneguhkannya kembali.

Hari ini, aku akan bicara dengan Souta-kun. Itu adalah hal yang harus aku lakukan, tanpa pengecualian.

Tapi... kalau aku tiba-tiba mengatakannya, semua harapan yang Souta-kun simpan akan hancur seketika.

Dan... karena aku sendiri ingin memiliki satu kenangan terakhir bersama Souta-kun.

Aku tahu ini egois, ini menyedihkan dan memalukan. Tapi aku tidak bisa menghentikannya.

Waktu yang kuhabiskan bersamanya adalah waktu paling menyenangkan, membuat rasa takut dan kebencian terhadap diriku sendiri jadi terasa lebih kecil.

Dia menyadari bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi… tapi dia tidak memaksa untuk tahu lebih.

Lalu kami bersenang-senang...

Sangat menyenangkan, benar-benar sangat menyenangkan.

“Setelah hari ini, aku tidak akan bisa bertemu Souta-kun lagi.”

Aku sudah mengkhianati kepercayaannya. Semua yang dia percayakan padaku.

“Aku tidak akan pernah mengkhianati Shinonome.”

Tapi aku justru mengkhianati orang yang pernah berkata seperti itu.

Aku benci diriku sendiri, dan aku mengutuk diriku sendiri.\

Sebenarnya, aku ingin Souta-kun juga membenciku.

Walau aku tahu, dia tidak akan pernah berpikir seperti itu.

Aku mencoba merasa lebih baik, dan itu malah membuatku semakin membenci diriku sendiri.

Keputusanku sudah final.

Bahkan jika Souta-kun berkata apa pun… meskipun aku rasa dia tak akan melakukannya… bahkan jika dia memaksaku, aku sudah siap untuk melawan.

...Sampai akhirnya aku tertawa setelah mengatakannya.

Tidak, ini bukan sesuatu yang pantas ditertawakan.

Tapi akulah yang telah melakukan hal kejam itu.

Karena aku ingin memberikan ciuman pertamaku untuk Souta-kun.

Itu lebih baik... tidak, cukup. Aku akan berhenti memikirkannya.

Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Souta-kun, aku segera pergi... dan tak pernah menoleh ke belakang.

Aku selalu mencintainya.

Aku sangat mencintai dia.

Meskipun aku tak akan pernah bisa melihatnya lagi.

Aku tahu, aku seharusnya tidak berdoa.

Tapi biarkan aku berdoa sekali saja.

“Semoga kamu bisa bahagia dalam hidupmu nanti. Semoga kamu bisa menemukan seseorang yang spesial.”

Ciuman pertama itu... terasa seperti darah.

***

Setelah aku pulang ke rumah, sempat terjadi sedikit kekacauan.

Itu semua karena Suzuka-san.

Begitu Suzuka-san mendengar ceritaku, wajahnya langsung pucat.

Tanpa pikir panjang, dia langsung ingin pergi menemui ayah dan menceritakan tentang Souta-kun.

"Masih ada waktu, kita masih bisa mengejarnya," katanya.

Dengan susah payah, aku berhasil menghentikannya.

Kalau aku memberitahukan semuanya sekarang… itu akan menjadi masalah besar.

Itu bisa memengaruhi pekerjaan ayah. Kerugiannya akan tak terhitung.

Aku menjelaskan berulang-ulang sampai aku sendiri merasa lelah.

"Cukup. Aku tidak ingin menyakiti Souta-kun lagi."

Setelah aku mengatakan itu, barulah Suzuka-san benar-benar mengerti.

Aku menutupi bekas air mataku dengan riasan.

Saat makan malam, aku merasa tidak enak, tapi tetap memaksakan diri untuk menghabiskannya.

Ibu mungkin curiga... tapi sepertinya masih aman.

Untungnya, tidak ada yang mengungkit lebih jauh.

Setelah makan, aku langsung kembali ke kamarku—seolah sedang melarikan diri.

***

Aku sadar bahwa pagi telah tiba dari suara burung-burung yang berkicau.

Padahal aku tidak tidur semalaman, entah kenapa mataku terasa sangat jernih.

Mataku sudah bukan masalah lagi.

Memang sedikit merah, tapi masih bisa ditutupi dengan riasan.

Aku terkejut saat melihat diriku di cermin.

"Karena aku punya ekspresi yang persis seperti sebelum bertemu dengan Souta-kun."

‘Iced Princess’.

Aku tidak tahu siapa yang pertama kali mengatakannya.

Meski terasa aneh mengatakannya sendiri, julukan itu memang cocok dengan wajahku.

Ekspresi itu tak menunjukkan emosi… atau lebih tepatnya, tak ada yang menyadarinya.

"Ya, aku tak perlu menunjukkannya lagi. Karena aku tak akan bertemu Souta-kun lagi."

Aku menggeleng pelan dan menepuk pipiku, mencoba menyemangati diri sendiri.

Karena hari ini, ibuku sendiri yang akan merias dan mendandani aku.

Ketika waktunya tiba, ibu masuk ke kamar dan memperhatikan wajahku dengan saksama.

"Nagi, ada yang sedikit berbeda, ya?"

Ucapannya membuatku terkejut.

"Kenapa ibu berpikir begitu?"

"...Sejak kemarin. Sepertinya ekspresi wajahmu berubah. Apakah ada yang mengganggumu?"

Ah, aku buru-buru menutup mulutku.

Sedikit panik, detak jantungku jadi tak beraturan.

"Benarkah... Apakah kamu tidak menyukai pertemuan hari ini? Kalau kamu kesulitan mengatakan pada ayah, biar ibu saja yang bicara..."

"Tidak. Aku tidak membencinya..."

Aku menggeleng tegas dan berbohong.

Aku tak punya pilihan selain terus berbohong.

Ibu terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu... tapi akhirnya ia memilih diam.

Lalu aku memejamkan mata dan membiarkan ibu merias wajahku.

Aku sempat khawatir riasan di sekitar mataku akan terlihat aneh karena bekas tangisan, tapi tidak ada yang mengatakan apa pun.

Setelah riasanku selesai, ibu juga membantu memakaikan pakaian.

Soal merias dan berdandan, semua kupelajari dari ibu.

Tentu saja, keterampilannya jauh melebihi milikku.

"...Iya. Kamu benar-benar jadi sangat cantik. Ibu sampai terkejut melihatmu."

"Terima kasih."

Aku kembali tertegun saat melihat diriku di cermin.

Ternyata, riasanku masih jauh dari sempurna, atau mungkin aku hanya berpikir:

‘Aku ingin menunjukkan penampilan ini pada Souta-kun.’

***

Saat aku memejamkan mata, perasaan itu kembali muncul… sensasi bibir yang lembut. Dan rasa darah—yang muncul setelah ciuman itu.

Aku tidak ingin ada orang selain dia yang melihatku dalam keadaan seperti ini. Aku benci rasanya.

“Nagi?”

“Bukan apa-apa…”

Aku tahu, menangis di sini bukanlah hal yang benar…

Aku sadar, aku tidak boleh melakukan itu.

Tapi, air mataku hampir tumpah.

Aku ingin bertemu dengannya…

Aku ingin menunjukkan diriku yang sebenarnya hanya padanya…

…Aku ingin disentuh oleh tangannya yang hangat.

Aku ingin dipeluk dan merasakan kehangatannya.

Padahal aku tahu itu mustahil.

“Nagi...? Kenapa? Kamu gak apa-apa?”

Walaupun aku berusaha menahan diri dengan memejamkan mata, air mata itu tetap jatuh.

Tidak boleh. Aku harus cepat mengubah pikiranku.

Kalau tidak, riasan yang tadi dipersiapkan dengan susah payah akan rusak…

“Um, um… Nagi. Maaf, ya. Boleh aku masuk sebentar?”

Aku tiba-tiba dikelilingi oleh aroma manis dan lembut.

“Ibu…?”

“Maaf ya. Ibu nggak tahu kenapa Nagi menangis. Tapi, kalau berbagi cerita bisa bikin kamu merasa lebih baik, boleh Ibu tahu alasannya?”

Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku merasakan kehangatan dan kelembutan ini?

Sejak kapan aku mulai menolak rasa hangat seperti ini?

Tapi aku tidak boleh lengah.

Aku tidak pantas bergantung pada orang lain.

Aku tidak punya hak untuk bersandar pada siapa pun…

—Ding-dong—

Bel pintu berbunyi. Masih terlalu pagi. Jadi, tidak mungkin itu orang yang akan kutemui nanti, Minamikawa-san.

Ada beberapa interkom di rumah ini. Salah satunya berada tepat di depan kamarku.

Aku mendengar suara langkah kaki. Mungkin itu Suzuka-san.

Lalu suaranya terdengar samar dari luar kamar.

“Ya, saya Suzuka, pelayan keluarga Shinonome. Siapa ya… e-eh?”

Saat aku mulai bertanya-tanya siapa yang datang, terdengar suara Suzuka-san yang bingung.

Air mataku masih terus mengalir, tapi telingaku secara refleks fokus mendengarkan.

“Minori… sama?”

Sebuah nama keluarga yang kupikir tidak akan pernah kudengar lagi.

Tubuhku langsung membeku. Dan bara kecil yang selama ini kusembunyikan dalam sudut hatiku… mulai menyala kembali.

***

Sudut Pandang Souta

Sabtu malam.

“Hey, Souta. Aku datang.”

“…Eiji?”

Saat aku membuka pintu, aku melihat Eiji berdiri di sana—seseorang yang jelas tidak seharusnya berada di sini.

“Aku udah nelpon kamu berkali-kali, tapi kamu gak angkat. Aku punya firasat buruk… dan ternyata benar. Tapi, lihat deh mukamu—kamu kelihatan kacau banget.”

Eiji mengernyit saat menatapku.

Ah… benar juga. Aku langsung tidur begitu sampai di rumah. Pakaian dan rambutku pasti berantakan.

“…Banyak yang terjadi. Aku cuma pengin sendiri dulu.”

“Gak bisa. Kamu justru orang terakhir yang seharusnya sendirian sekarang.”

Eiji meletakkan tangannya di bahuku.

“Ceritain semuanya. Dari awal sampai akhir. Aku pasti bantu kamu.”

Dia menatapku lurus ke mata dan berkata,

“Ada apa? Kalau ada sesuatu yang terjadi, bilang aja. Aku akan bantu.”


Mengingat hari pertama kami bertemu, semua tekadku untuk menolak langsung lenyap.

“...Masuk dulu, deh.”

Suara yang keluar dari mulutku terdengar jauh lebih lemah dari yang kukira. Aku mempersilakan Eiji masuk ke kamar.

“Soal minuman... aku cuma punya teh sama kopi instan. Mau yang mana?”

“Teh aja.”

“Baik.”

Aku menuangkan teh ke cangkir tamu dan memberikannya padanya. Lalu aku menuangkan kopi ke cangkirku sendiri dan duduk.

“Jadi? Ada apa?”

“...Banyak.”

“Aku gak bakal pulang sebelum kamu cerita. Aku serius.”

Itu pertama kalinya aku melihat Eiji se-sungguh itu. Dengan terkejut, aku menyeruput kopi dan menghela napas.

“‘Hari ini terakhir kita bisa ketemu,’ itu yang Nagi bilang.”

Ekspresi Eiji langsung berubah, dahinya mengernyit.

“Jelasin lebih detail.”

Tatapan matanya berkata jelas—dia gak akan pergi sebelum dapat cerita lengkap.

Tapi... aku harus mulai dari mana?

Ah, Eiji... Dia gak akan berhenti sebelum semuanya keluar.

...Maaf, Nagi.

Dalam hati, aku meminta maaf padanya.

Lalu aku mulai bercerita.

Segala hal yang aku tahu tentang Nagi.

"Nagi bilang dia akan menerima pertunangan besok."

Ada seseorang yang jatuh cinta pada Nagi setelah pertunjukan. Orang itu adalah anak dari presiden perusahaan saingan ayah Nagi.

Sebagai syarat pertunangan, dia menawarkan kerja sama bisnis dengan kondisi yang sangat menguntungkan untuk pihak Nagi.

Dan... ayah Nagi menerimanya.

Tapi, bukan ayahnya yang memaksa.

Nagi sendiri yang memilih menerima pertunangan itu.

Aku ceritakan semua.

Dan saat aku bercerita, ingatanku membawaku kembali.

Ekspresinya... hangatnya tangan itu…

Sentuhan air mata yang mengalir di jari-jarinya.

Aku mendengar suara isakan. Tapi aku tetap melanjutkan, karena aku harus.

Eiji mendengarkan semuanya tanpa menyela, wajahnya serius seperti belum pernah kulihat sebelumnya.

Kurasa butuh sekitar tiga puluh menit sampai aku selesai bercerita.

Setelah itu, Eiji menarik napas dalam-dalam.

“Kalau bisa dihentikan, kamu pasti udah berhentiin.”

“Ya... Nagi udah sangat yakin. Gak ada celah buatku ikut campur. Gak ada.”

Eiji menunduk, merenung.

Tak sampai satu menit, dia mengangkat wajahnya lagi.

“...Aku gak bisa paham sepenuhnya gimana rasanya buat kamu, Souta. Aku gak akan pura-pura ngerti. Bahkan simpati pun rasanya gak cukup.”

Aku mengangguk perlahan.

Karena memang bukan simpati yang aku butuhkan.

Eiji menatapku dengan sorot mata tajam dan penuh tekad.

“Tapi sebagai temanmu… tidak, sebagai sahabatmu, biarkan aku bicara.”

Tatapan itu seolah menembus diriku, namun sebenarnya ditujukan pada seseorang yang lain.

“Serius.”

Suaranya dingin dan tegas.

“Kau bilang semua itu padaku, dan aku sadar. Kau selalu menahan semuanya sendiri, lalu tetap jadi temanku. Jadi, sebagai teman—aku tidak akan menahan diri. Kalau kau ingin bahagia, aku akan melakukan apa saja. Apa pun.”

Kata-katanya mungkin terdengar dingin, tapi ada semangat membara di dalamnya.

“Mereka bilang soal tekad atau pengorbanan, tapi pada akhirnya semua itu cuma berarti mengorbankan diri sendiri. Mengorbankan kebahagiaanmu demi orang yang kau anggap penting… itu nggak akan bikin siapa pun benar-benar bahagia.”

Tanganku terkepal erat, gemetar karena frustrasi.

“Tekad macam itu... harus dihancurkan.”

“…Itu nggak mungkin, kan?”

Entah kenapa, aku menjawab begitu tanpa sadar.

Kata-kata Eiji membuat hatiku terasa hangat. Tapi mengabaikan keputusan orang lain... sebelum itu, aku sendiri belum yakin Nagi akan benar-benar tidak bahagia.

“Hah? Maksudmu ‘Putri Es’ itu bahagia sebelum bertemu denganmu?”

Aku langsung menutup mulutku. Kata-katanya mengenai sesuatu yang penting.

“Souta. Sama seperti kau yang nggak bisa tersenyum sekarang, Shinonome Nagi juga begitu. Aku yakin banget soal ini. Nggak cuma sekarang, tapi nanti juga.”

Eiji mendekat. Dengan kedua tangannya, dia menepuk pipiku perlahan.

“‘Putri Es’ Shinonome Nagi nggak akan bisa bahagia dengan siapa pun selain dirimu. Meski tunangannya tampan, pintar, berotot, dan orang baik, tetap nggak akan cukup. Kau tahu kenapa?”

Mata Eiji menatap langsung ke mataku, penuh keyakinan.

“Siapa yang bisa mencairkan es di hati sang putri?”

Kata-katanya tegas, tapi juga lembut.

“Siapa satu-satunya orang yang dipercayai oleh Putri Es?”

Sedikit demi sedikit, kata-katanya mulai masuk ke dalam hatiku.

“Siapa lelaki yang benar-benar disukai oleh Putri Es?”

Kenangan hari itu kembali jelas di pikiranku.

'Aku sudah memutuskan, kau yang pertama.'

“Kau tahu, Souta. Itu kau. Selalu kau. Dari semua orang yang pernah ditemui Putri Es, cuma kau satu-satunya.”

Jantungku berdetak keras.

“…Cuma aku?”

“Ya. Cuma kamu. Dia sudah bertemu ratusan, ribuan orang dari SD, SMP, sampai SMA. Tapi yang berarti hanya kamu. Kau sendiri pasti tahu itu lebih dari siapa pun.”


Aku tak bisa berpikir jernih. Tidak seharusnya aku berpikir lebih jauh.

Tapi Eiji—Eiji mencoba membuka kembali pintu yang sudah kututup rapat.

“Berapa banyak orang yang akan datang dalam hidupnya mulai sekarang? Sampai saat ini, hanya ada satu orang. Seberapa besar kemungkinan orang berikutnya yang mendekatinya bisa seperti kamu?”

“Tapi tunangannya itu… dia bukan orang jahat…”

“Kalau bukan orang jahat, di dunia ini banyak orang seperti itu. Sebaliknya juga berlaku.”

Kata-katanya terdengar seperti sesuatu yang pernah kukatakan pada diriku sendiri. Aku memalingkan wajah, tak sanggup menatap masa lalu yang menyakitkan.

“…Nagi tidak takut pada pria lagi.”

“Kalau begitu, mungkin dia akan kembali seperti dulu—sebelum kamu mendekatinya. Apa dia terlihat pernah menganggap siapa pun dekat sebelum bertemu kamu?”

Ucapannya menekanku tanpa henti, membuatku tak bisa lari ke mana pun. Yang bisa kulakukan hanyalah menggeleng pelan.

Seperti bara api yang menyala pelan di bawah air, nyala yang kupikir sudah padam mulai bersinar merah kembali.

“Kamu satu-satunya, kan, Souta?”

Eiji tersenyum, nakal seperti biasanya.

“Ambil keputusan. Bersiaplah untuk membuat dirimu dan orang yang kamu sayangi bahagia. Kamu mencintainya, kan? Jangan menyerah di sini.”

Pintu yang tertutup rapat perlahan terbuka. Udara masuk, menyulut api… dan nyala yang kupikir takkan pernah menyala lagi, kini berkobar.

“Kenapa? Kenapa Eiji bisa bicara seperti itu padaku?”

Pertanyaan itu keluar begitu saja. Untuk sesaat, Eiji terlihat sedikit terkejut. Tapi kemudian dia tertawa.

“Kan udah aku bilang tadi. Karena kita teman. Dan sebagai temanmu, aku nggak akan membungkus segalanya dengan kata-kata manis. Aku nggak akan hanya menghiburmu. Tugasku adalah mendorongmu ke depan, supaya kamu bisa mencapai masa depan yang kamu inginkan.”

Tanpa kusadari, aku juga ikut tertawa. Aku bisa tertawa. Padahal rasanya tadi seperti hampir mati karena patah hati.

Perasaan yang selama ini kusembunyikan mulai keluar. Emosi yang seharusnya kutekan, terus mengalir.

“Benar-benar khas Eiji.”

Setelah beberapa saat, aku memanggil namanya.

“Hey, Eiji.”

“Apa?”

“Kamu sadar nggak sih, semua yang barusan kamu bilang tuh... nggak masuk akal?”

Eiji mengangguk dengan yakin, sambil memamerkan senyum jahil khasnya.

“Ya, tentu saja.”

“Menurutmu… aku bisa melakukannya?”

“Entahlah. Tapi kalau kamu bilang kamu akan mencobanya, aku bakal dukung kamu sepenuhnya.”

Dia tidak sembarangan bilang, “Pasti bisa.” Tapi mendengar itu saat ini… rasanya sangat berarti bagiku.

“Aku akan melakukannya.”

Aku tertawa seperti orang bodoh, menyadari betapa gila semua ini.

Betapa konyolnya—menginjak-injak tekad seseorang demi mencoba membuatnya bahagia.

“Tapi kali ini, aku nggak akan menyesal. Aku nggak akan biarkan dia menyesal. Aku nggak akan membuat Nagi menangis. Benar, kan?”

Aku mengembuskan napas panjang, melepaskan semua yang selama ini kutahan.

“Bantu aku, temanku.”

“Serahkan padaku, temanku.”

Ini bukan akhirnya. Karena ekspresi sedih itu... tidak pantas untukmu, Nagi.

Aku ingin melihat senyummu lagi.

Masih terlalu cepat untuk menyerah.

***

"Penampilanmu oke, rambut rapi! Bajunya juga keren! Nggak ada yang aneh!"

"Ini masih pagi, tahu. Bisa nggak suaramu agak dikecilin?"

"Oh, iya, iya, maaf, maaf."

Walaupun Eiji dan Nishizawa sudah melakukan pengecekan terakhir, Hayama tetap mengingatkan mereka soal suara.

Masih pagi banget, belum jam tujuh, di area perumahan. Ngomong terlalu keras bisa ganggu orang sekitar.

Aku melihat pantulan diriku di cermin kecil dan jujur saja, aku kaget sendiri.

"...Tapi serius, makeup ini luar biasa, ya?"

"Kan? Lingkaran hitam, bekas air mata, bahkan bekas luka pun bisa ketutup rapi!"

"Emang, banyak kok anak-anak yang nutupin kayak gitu pakai makeup."

Seperti yang mereka bilang, lingkaran hitam, kelopak mata bengkak dan merah, semua bisa ditutupi.

Bibir pecah-pecah juga. Dan kulit kelihatan jauh lebih bersih.

"Ya, makanya kami di sini buat bantu, kan? Tapi apa kamu yakin mau pergi sendirian?"

"Nggak apa-apa, aku bisa sendiri."

Aku menarik napas panjang sambil menatap teman-teman baikku yang sudah membantuku sejauh ini.

"Beneran, makasih banyak. Nanti pas pulang, kita pesen pizza dan makan bareng, ya."

"Yay! Ditunggu, ya!"

"Aku mau banyak keju, ya!"

"Aku kayaknya mau yang seafood."

"Oke. Nanti kalau sudah selesai, aku kabarin. Kalian putusin aja mau pesan rasa apa."

"Siap!" jawab Eiji dan yang lainnya sambil aku mulai melangkah.

"Sampai nanti."

"Sampai ketemu lagi. Kamu pasti bisa. Semuanya bakal baik-baik aja."

"Bener tuh! Jalan dengan percaya diri, ya! Sampai ketemu!"

"Uh, tolong cubit kepala Ayah yang nggak peka dan Nagi yang nggak ngerti apa-apa, ya?"

"Wah, kamu makin tinggi aja standarnya. Tapi akan aku coba."

Dengan suara mereka di belakangku, aku terus berjalan.

Tujuanku nggak terlalu jauh dari sini. Dan tak lama kemudian, tempat itu terlihat.

"...Wah, luar biasa juga ngelihat langsung kayak gini."

Rumahnya besar banget. Bisa dibilang, bergaya tradisional.

\Ada pagar, jadi bagian dalamnya nggak kelihatan jelas, tapi dari ukurannya aja udah kelihatan ini bukan rumah biasa.

Dengan rumah sebesar ini, bukan hal aneh kalau ada beberapa pelayan tetap tinggal di sana.

Saat aku lagi mikirin itu, mataku tertuju ke pintu kayu yang terlihat elegan.

"Zaman sekarang masih ada juga rumah kayak gini, ya."

Tapi pengamanannya kelihatan ketat. Kayaknya ada kamera pengawas juga.

Aku menarik napas dalam sekali lagi, lalu menekan bel pintu.

"Halo. Ini Suzuka, pelayan keluarga Shinonome. Siapa ya... ini... eh?"

Ternyata yang menjawab Suzuka-san. Ya, masuk akal sih.

Pasti dia lihat aku dari kamera. Aku melirik sedikit ke arah tempat kameranya mungkin dipasang.

"Suzuka-san, lama nggak ketemu. Ini aku, Minori Souta."

"Eh? Minori-sama...?"

Mendengar suara kaget Suzuka-san, aku mengepalkan tangan lagi, menguatkan tekadku.

"Maaf sudah merepotkan di pagi-pagi begini. Aku datang untuk bicara dengan Shinonome Nagi dan keluarganya."

Aku ingin bisa berada di sisi Nagi selama sepuluh tahun ke depan—dan lebih.

***

"Selamat pagi. Kamu Minori Souta, ya?"

Dia lebih tinggi dariku. Mungkin sekitar 180 cm. Rambutnya ditata rapi ke belakang.

Wajahnya masih muda—mungkin sekitar awal tiga puluhan... bahkan kelihatan seperti akhir dua puluhan pun masih masuk akal.

Tapi ini pertama kalinya aku lihat seseorang yang benar-benar cocok dengan gaya rambut slick-back seperti itu.

Ada aura tekanan yang besar banget darinya.

Kelihatan muda, tapi... apa dia ayahnya Nagi?

Gawat, aku nggak nyangka bakal disambut langsung olehnya. Untung Suzuka-san ada di sini juga.

"Maaf sudah datang sepagi ini, dan perkenalan kita juga baru pertama kali. Saya Minori Souta, teman dekat Nagi-san selama ini."

"...Baru kali ini aku dengar kalau putriku punya teman laki-laki."

"Itu benar, Tuan. Minori Souta adalah teman yang sangat penting bagi putri Anda," 

Suzuka-san langsung membantu menjelaskan. Mendengar itu, ayah Nagi mengangkat alisnya sedikit.

"...Masuklah. Ayo kita ngobrol sebentar."

"Terima kasih."

"Dan tidak perlu memaksakan diri menggunakan bahasa yang terlalu formal. Aku tidak menuntut kesopanan seperti itu dari seorang pelajar."

"Baik, terima kasih."

Sejujurnya, aku memang tidak terlalu pandai memakai bahasa formal. Bukan berarti aku tidak bisa, tapi aku memang belum terlalu paham cara menggunakannya dengan benar.

Aku berniat mengikuti ayah Nagi, tapi tiba-tiba dia berbalik.

"Oh, maaf. Aku belum memperkenalkan diri. Aku ayah dari Shinonome Nagi. Namaku Shinonome Souichirou."

"...Kalau begitu, Souichirou-san..."

"Panggil saja sesukamu."

Setelah perkenalan singkat itu, Souichirou-san mulai berjalan lagi. Aku mengikutinya, dan Suzuka-san menyusul di belakang kami.

Kami dibawa masuk ke sebuah ruangan, sepertinya ruang tamu.

"Ini tempatnya. Silakan duduk di mana saja yang kamu suka."

"Baik, terima kasih."

Ruangannya adalah ruang tatami yang tetap menjaga kesan tradisional rumah itu, dengan meja panjang dan besar di tengah, serta bantal duduk yang terlihat sangat mewah di sekelilingnya. Baik meja maupun bantalnya tampak mahal.

…Eh, kayaknya ada aturan khusus kalau duduk di tempat seperti ini ya? Ada aturan soal posisi duduk yang sopan dan yang tidak, kan?

"Minori-kun, silakan duduk di sini."

"Maaf, terima kasih."

Akhirnya aku duduk di tempat yang ditunjukkan Suzuka-san. Karena gugup, aku langsung duduk dengan posisi tegak. Mulutku terasa kering. Di saat bersamaan, seseorang yang sepertinya pelayan membawakan teh untukku. Aku langsung meminumnya perlahan untuk membasahi tenggorokan.

Souichirou-san pun memulai pembicaraan.

"Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi pertama-tama, aku ingin tahu tujuanmu datang kemari, Minori-kun."

"Baik."

"Jadi, kenapa kamu datang ke sini?"

Jantungku mulai berdetak kencang. Tubuhku mulai terasa dingin karena gugup. Tekanan yang kurasakan sangat besar.


Mata hitamnya menatapku seolah-olah menyerap semua cahaya yang ada.

Namun, aku tidak bisa berhenti di sini.

"Aku datang untuk menghentikan pertunangan Nagi-san."

Mata Souichirou-san menyipit. Tatapannya tajam, seolah bisa menembus sampai ke dalam hatiku… dan sebenarnya, kalau dia memang bisa melihat semuanya, mungkin justru akan lebih mudah.

Pikiranku mungkin terdengar konyol... Tapi Souichirou-san menunggu. Dia memberi waktu padaku untuk melanjutkan. Entah karena dia memang sabar, atau karena aku adalah teman Nagi... mungkin keduanya.

Dengan tekad itu, aku memutuskan untuk tidak memalingkan pandangan dan menatap langsung ke mata hitamnya.

"Karena kalau pertunangan itu tetap terjadi, semua orang akan menyesalinya. Aku, Nagi-san, dan juga keluarga Souichirou-san."

Mata Souichirou-san membelalak, dan seolah waktu di ruangan itu berhenti.

Mungkin dia belum bisa sepenuhnya memahami maksudku... tapi aku yakin dengan apa yang kukatakan.

"Kemarin, aku pergi ke taman bermain bersama Nagi-san."

"…!"

Souichirou-san kembali terkejut. Tapi hanya dalam beberapa detik, ketegangan itu mulai mereda.

"Tempat yang Nagi datangi setiap minggu... itu tempatmu, ya?"

"Anda menyadarinya juga."

Tadi malam, kami banyak bicara dengan Eiji dan yang lainnya. Mengatakan bahwa kami ingin menghentikan pertunangan Nagi bukanlah hal yang mudah... kata ‘mustahil’ sering kali terlintas di pikiran.

Namun, semuanya berubah ketika Eiji menemukan sebuah kemungkinan.

"Mungkin selama ini kita semua salah paham."

Itulah kesimpulan yang Eiji sampaikan.

Nagi sangat disayangi oleh orang tuanya. Itu sesuatu yang kudengar langsung dari Suzuka-san.

"Kenapa menurutmu orang tua Nagi ingin dia bertunangan?"

Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Itu aneh, kan? Pertunangan untuk anak SMA. Biasanya orang tua akan menolaknya. Mungkin memang ada keuntungan tertentu, tapi kurasa bukan itu satu-satunya alasan."

Eiji melanjutkan dengan nada yakin.

"Nagi berubah setelah bertemu Souta, tentu saja jadi lebih baik. Kalau kamu jadi orang tua yang sayang anaknya, bukankah kamu ingin anakmu punya lebih banyak teman?"

Kedengarannya memang seperti imajinasi Eiji semata, terlalu cocok dengan harapan kami.

"Anak yang rela berkorban demi kebahagiaan orang tuanya... dan orang tua yang juga mencari kebahagiaan untuk anaknya... Kalau dipikir-pikir, semuanya saling terhubung, bukan? Itu juga... kata Suzuka-san."

Eiji tersenyum nakal seakan bisa membaca pikiranku. Rasa percaya dirinya terasa menular padaku.

"Kita semua salah paham. Demi orang tua. Demi anak. Semuanya, semuanya."

Tentu saja, ada keinginan besar agar semua itu memang benar. Namun sekarang, aku tidak punya pilihan lain selain mempertaruhkan kemungkinan ini.

Sepertinya...

"Kalau memang begitu... Tunggu, barusan aku bilang apa...?"

Taruhannya sepertinya berhasil.

Souichirou-san tampak kehilangan keseimbangan karena terkejut. Suzuka-san juga terlihat kaget melihat reaksinya. Mungkin ini memang jarang terjadi... Apakah semuanya akan baik-baik saja?

Kekhawatiranku ternyata tidak perlu, karena Souichirou-san cepat kembali tenang.

Puncak ketegangan sudah lewat. Saat aku mulai merasa sedikit lega, Souichirou-san membuka mulutnya.

Perasaan tidak enak langsung muncul, dan aku kembali duduk tegak.

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan."

Tatapan matanya tak lagi tajam, tapi ekspresi serius di wajahnya membuat tubuhku menegang secara alami...

"Kamu... siapa kamu bagi Nagi?"

"Aku temannya."

Ternyata keteganganku tidak perlu. Aku menjawab tanpa berpikir panjang.

Aku adalah teman Nagi. Itu adalah fakta yang tak tergoyahkan.

Tapi...

"Aku adalah sahabat Nagi. Aku ingin menjaga dia lebih dari siapa pun. Aku... ingin kebahagiaan Nagi lebih dari apa pun. Kalau bisa, aku ingin melihat dia bahagia... dari tempat yang sangat dekat."

Tidak. Aku harus memilih kata-kataku dengan hati-hati. Mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. 

Itu yang diinginkan Souichirou-san.

"Bukan. Aku rasa... akulah orang yang bisa membuat Nagi paling bahagia."

Itu adalah kebenaran mutlak.

Mendengar kata-kataku, Souichirou-san menutup matanya. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan tentang ucapanku, yang mungkin terdengar terlalu percaya diri, bahkan sombong.

Lalu perlahan, ia menundukkan kepala.

"Aku mengerti posisimu sekarang... Mungkin aku telah menyakitimu, Minori-kun. Dan aku minta maaf atas sikapku yang kurang sopan."

Walaupun kata-kata itu membuatku merasa lega, aku tetap menggelengkan kepala.

"Tidak perlu minta maaf. Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Boleh?"

Sekarang, lebih dari sekadar perasaanku sendiri, aku justru lebih penasaran tentang Nagi. Aku selalu penasaran tentang apa pun yang berhubungan dengannya.

"Apa itu?"

"Kalau Anda tidak keberatan, bisakah Anda ceritakan hari ketika Nagi mulai berubah?"

Tentu saja, dia pernah bilang perubahan itu terjadi setelah ayahnya mengatakan, “Jangan tunjukkan kelemahanmu.”

Sejak kapan... sejak kapan dia jadi tidak bisa bersandar pada siapa pun? Aku selalu ingin tahu itu.

"Aku mengerti. Ya... Aku rasa aku memang perlu menceritakannya."

Aku hanya ingin tahu, bukan memaksa. Tapi kalau dia bersedia menceritakan... maka aku akan mendengarkan dengan sepenuh hati.

"Untuk menceritakannya, aku harus mulai dari kesalahan yang pernah kulakukan."

Kesalahan, ya...

"Boleh aku cerita tentang masa lalu... saat Nagi datang ke rumah ini?"

Aku mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa.

"Itu adalah..."

Setelah sedikit ragu, Souichirou-san mulai bercerita.

"Dulu, aku menganggap Nagi hanya sebagai alat untuk memperluas usahaku."

Kami semua—termasuk Suzuka-san dan aku—tak bisa mengalihkan pandangan dari Souichirou-san selama beberapa detik keheningan.

"...Tapi, Nagi. Dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang, kan?"

Kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku, walau terdengar ragu. Aku sama sekali tidak menyangka akan mendengar sesuatu seperti itu.

"Tentu saja. Sekarang, aku mencintai putriku lebih dari siapa pun. Tapi saat aku menyadarinya... semuanya sudah terlambat. Semuanya... sudah terlambat."

Aku masih belum sepenuhnya mengerti makna dari kata-katanya. Tapi melihat ekspresinya, aku sadar satu hal.

Souichirou-san... sangat... sangat menyesal.

"Aku dan istriku... tidak bisa punya anak."

Souichirou-san mulai berbicara dengan nada tenang.

***

Sudut Pandang Ayah Nagi

Istriku dulunya adalah sekretarisku. Setelah kami menikah, dia tetap menjalankan peran itu.

Bisnis kami saat itu berjalan dengan sangat baik, dan segalanya terlihat sempurna… Itu yang ingin kukatakan. Tapi kenyataannya, ada satu masalah besar.

Tak ada satu pun di perusahaan yang punya kemampuan untuk menggantikanku.

Dan saat itu, aku langsung terpikir satu ide cemerlang:

Kalau begitu, aku harus mengajarkan segalanya pada anakku sendiri.

Namun tak lama setelah itu, muncul masalah baru. Aku dan istriku... tidak bisa memiliki anak kandung.

Kami berdua sangat sedih saat mengetahui hal itu. Tapi tak butuh waktu lama sampai kami menemukan jawabannya.

“Tidak harus anak kandung, kan? Entah itu darah daging kita atau bukan, aku akan bahagia jika bisa memiliki anak bersamamu, Souichirou-san.”

Aku tidak pernah memberitahunya bahwa rencanaku adalah menjadikan anak kami sebagai penerus bisnis. Tapi kurasa dia sudah bisa menebaknya.

Meskipun begitu, dia tetap ingin punya anak bersamaku. Atas saran darinyalah kami akhirnya memutuskan untuk mengadopsi.

Tentu saja, jika anak itu akan menjadi penerus bisnis, kami perlu mencari anak yang memiliki kemampuan. Namun, hampir tidak ada lembaga adopsi yang mengizinkan kami untuk langsung melihat dan memilih anak-anak.

Meski begitu, aku tetap mencari, hingga akhirnya kami menemukan seorang gadis kecil.

Ada dua alasan kenapa aku memilihnya. Pertama, karena dia cerdas.

Aku selalu percaya pada kemampuanku dalam menilai orang. Dari awal, aku tahu dia adalah gadis yang serius dan baik hati. Dia bukan anak bodoh, dan aku yakin kalau dia tumbuh dewasa, dia akan jadi wanita yang luar biasa.

Alasan kedua adalah karena penampilannya—dan darah campurannya.

Perusahaanku memiliki pandangan global. Penampilan itu senjata yang kuat.

Itulah kenapa aku memilihnya—karena aku yakin dia memiliki darah Nordik. Aku pikir, Nagi adalah bakat yang cocok dengan semua kriteria yang kucari.

…Waktu itu, aku sangat bodoh. Memperlakukan manusia seperti benda adalah tindakan yang tak bisa dimaafkan.

Cerita ini jadi agak melebar. Mari kembali ke inti.

Kami memutuskan untuk mengadopsinya, tapi ada satu kekhawatiran. Dia adalah anak yang ditelantarkan…

Saat kami mengadopsi Nagi, usianya sekitar tiga tahun. Namun ternyata kekhawatiranku tidak terbukti—tak ada tanda-tanda bahwa dia mengalami kekerasan dari keluarganya sebelumnya.

“Mulai hari ini, namamu adalah Nagi.”

“Nagi?”

“Itu berarti laut yang tenang, tanpa angin atau gelombang. Kami memilih nama ini karena mata birumu yang indah, yang mengingatkanku pada laut,” kataku sambil melihat istriku yang sedang menggendong Nagi.

Aku mulai memikirkan pendidikan seperti apa yang harus kami berikan.

Pertama-tama, aku mengajarkan Nagi tarian tradisional Jepang, lalu upacara minum teh, dan seni merangkai bunga.

Alasannya sederhana. Memiliki seorang anak perempuan berdarah asing yang bisa memakai kimono adalah sebuah nilai lebih, terutama di luar negeri—apalagi jika anak itu mencintai budaya Jepang.

Untungnya, Nagi memang menyukai budaya tersebut.

Namun tentu saja, aku juga punya kesadaran sebagai seorang ayah. Walaupun aku sangat sibuk, aku tetap mencoba meluangkan waktu untuk berinteraksi dengannya... Berkat saran istriku, kami bahkan sempat pergi ke kebun binatang bersama.

Sejak saat itu, Nagi mulai menghormatiku. Suatu hari, dia berkata:

“Kalau aku sudah besar, aku mau bantu Ayah. Harus bagaimana ya?”

Kupikir itu adalah kesempatan yang bagus.

Aku pernah dengar, banyak anak tidak suka belajar. Tapi kalau diarahkan dengan baik, mereka mungkin tidak akan membencinya.

"Belajarlah yang banyak… dan kalau bisa, Ayah ingin kamu melanjutkan bisnis dan mimpi Ayah. Oh ya, mungkin nanti akan ada pria tampan yang datang melamarmu. Kalau saat itu tiba, kamu harus bersikap baik padanya."

Saat aku menatapnya dan mengatakan itu, Nagi kecil terlihat senang dan mengangguk penuh semangat.

“Ya! Aku janji!”

Itulah kesalahan pertamaku.

Beberapa hari setelah itu, aku membuat kesalahan kedua.

“Ayah, saat kerja, hal apa yang paling Ayah perhatikan?”

Aku sempat ragu menjawabnya. Ada banyak hal yang menjadi perhatianku saat bekerja. Aku bingung mana yang harus kubagikan padanya terlebih dahulu.

Setelah berpikir, akhirnya aku berkata:

“Jangan pernah tunjukkan kelemahanmu pada orang lain, itu saja. Karena itu, Ayah selalu berpura-pura. Kalau kamu terus begitu, kerja akan terasa lebih mudah.”

Ya... itulah yang kukatakan. Aku benar-benar mengatakannya.

Itulah kesalahan keduaku—dan itu adalah kesalahan terbesarku.

***

Saat aku menghabiskan waktu bersama Nagi dan istriku, aku mulai menyadari sesuatu. Aku mulai merasakan kasih sayang seorang ayah terhadap anak perempuannya.

Ketika Nagi memenangkan penghargaan dalam tarian tradisional Jepang, aku merasa senang seolah-olah itu adalah pencapaianku sendiri. Aku juga merasa bahagia saat dia bilang kalau dia mulai menikmati belajar upacara minum teh dan ikebana.

Lalu aku berpikir:

'Aku ingin Nagi hidup bebas.'

Aku ingin dia melakukan hal-hal yang ia sukai dan menikmati hidupnya. Aku tidak ingin memaksakan mimpi atau pekerjaanku padanya. Aku tidak ingin membatasi hidupnya.

Untungnya, kami memiliki cukup uang untuk membiarkan Nagi memilih jalan hidupnya sendiri.

Namun, ketika aku menyadari hal itu… semuanya sudah terlambat.

Sudah terlambat.

Senyuman Nagi mulai memudar, sedikit demi sedikit, karena kata-kata yang pernah kuucapkan.

Aku berbicara dengan istriku, mencari cara agar bisa mengembalikan semuanya seperti semula.

Tapi, itu tidak berhasil.

Kata-kata yang diucapkan orang tua saat anak-anak masih kecil... akan sangat membekas dan punya pengaruh besar. Dan aku, aku sudah mengulang-ulang kata-kata yang salah itu kepada Nagi.

"Nagi, apa ada hal lain yang ingin kamu lakukan?"

"Untuk sekarang, aku menikmati latihanku."

Perilakunya yang tidak seperti anak kecil, dan jarak yang mulai terbentuk secara alami.

Aku bukan orang yang tepat untuk menghadapinya. Aku meminta Chie (istriku) untuk menyampaikan bahwa tidak apa-apa jika Nagi ingin kembali seperti dulu.

Namun, itu juga tidak berhasil.

“Tapi kalau begitu, aku tidak akan bisa menjadi orang hebat seperti Ayah,” katanya.

Keberadaanku telah menjadi terlalu besar dalam dirinya.

Aku mencoba membujuknya berkali-kali. Tapi Nagi sudah terbiasa menyembunyikan perasaannya. Dan meskipun kadang-kadang terlihat seperti dia mulai membaik, ternyata semua itu hanya di permukaan.

Ah… tidak bisa. Tidak boleh seperti ini.

Itulah pikiranku. Tak lama setelah masuk SD, Nagi sudah menjadi seperti sekarang.

Entah siapa yang memulainya, tapi sejak saat itu, Nagi mulai dipanggil "Putri Es."

Aku menyekolahkannya di sekolah swasta yang bagus, tempat anak-anak dari keluarga terpandang bersekolah. Tapi aku merasa, ini malah jadi pertanda buruk.

Dia terisolasi. Dia sendirian.

Mungkin akan lebih baik jika dulu kami menyekolahkannya di sekolah negeri.

Mungkin, jika seseorang muncul dan bisa membuat Nagi bahagia, dia akan berubah.

Ketika aku dan istriku menyarankan untuk pindah sekolah, Nagi menerimanya dengan mudah.

Tapi… itu tetap menjadi beban baginya.

"Ayah adalah orang penting. Kalau aku membuat kesalahan, pekerjaannya bisa hancur."

Itu adalah rumor yang cepat menyebar. Tentu saja, aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu.

Tapi tetap saja, semua… semua menjadi bumerang bagi kami.

Semuanya, semuanya salahku.

***

"Anak-anak belajar tentang akal sehat dari orang tuanya. Bahkan hal-hal sepele seperti itu… aku tidak menyadarinya… Seiring waktu berjalan, Nagi tumbuh besar. Aku pernah dengar bahwa saat anak perempuan menginjak masa remaja, mereka biasanya mulai membenci ayahnya. Jadi, aku pikir akan lebih baik jika aku mengurangi percakapan dengannya….Tidak. Karena alasan itulah… aku malah terus menghindari Nagi."

Nada suaranya yang seharusnya berat, ekspresi wajahnya yang seharusnya tegang—kini terdengar lemah, rapuh.

"Aku berkata pada diriku sendiri bahwa suatu hari nanti semuanya akan membaik. Tidak perlu diselesaikan sekarang. Dengan alasan itu, aku melarikan diri ke pekerjaanku. Urusan Nagi… aku serahkan pada Suzuka."

Dan bertahun-tahun pun berlalu... sampai akhirnya dia bertemu denganku. Apakah Nagi terus hidup seperti itu selama ini?

Tatapan mata Souichirou-san kosong, seolah melihat ke kejauhan.

"Belakangan ini, Nagi mulai sering keluar rumah. Aku pikir itu pertanda baik, dan aku sangat senang... Aku terlalu bersemangat. Aku pikir, kalau ada seseorang yang bisa menjadi tunangannya, seseorang yang juga bisa menjadi teman, menjadi sosok yang dekat dengannya, mungkin hidup Nagi akan menjadi lebih menyenangkan. Dia bisa lebih bahagia. Tapi ternyata aku hanya memaksakan pikiranku sendiri padanya..."

"Padahal aku bahkan tidak pernah benar-benar berbicara dengannya. Aku tidak menyadari perubahan dalam diri anakku sendiri."

Tatapannya kembali. Dari kehampaan... ke arahku.

"Maafkan aku, Minori-kun. Aku telah menyulitkan putriku... dan juga dirimu."

Mendengar kisah itu, ada sesuatu yang terasa berat di dalam hatiku. Sungguh, ini terasa sulit.
Tapi itu bukan segalanya.

"Anda tidak perlu minta maaf pada saya. Tolong, katakan itu langsung pada Nagi. Itu permintaan saya."
Senyum alami muncul di wajahku.

"Masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Nagi sangat mencintai orang tuanya."
Nagi benar-benar menyayangi ayah dan ibunya.

Souichirou-san sudah menyesalinya dan terus memikirkannya sampai sekarang. Masih ada waktu.

"Kalau begitu, mulailah berinteraksi lagi seperti dulu. Aku yakin Nagi akan mengerti… Tolong."

"Ah, baiklah. Sekarang juga, aku akan—"

Namun, saat Souichirou-san hendak berdiri—

"Tidak perlu, Ayah."

Pintu geser yang menghubungkan ruangan lain terbuka.

"Aku sudah mendengar semuanya."

Aku menahan napas.

"…"

Nagi, mengenakan kimono bermotif bunga lili putih, berdiri di sana.

Kulitnya tampak sedikit lebih pucat dari biasanya.

Justru karena itu, kejernihan kulit Nagi dan kecantikan wajahnya terlihat semakin menonjol.

Rambutnya diikat ke belakang, dihiasi tusuk rambut bertatahkan permata biru.

Sejenak, aku kehilangan fokus. Baru kusadari ada seorang wanita cantik berdiri di sampingnya.

"Kau mendengar semuanya, Nagi. Chie?"

"Maaf. Kami sedang menunggu saat yang tepat untuk masuk."

Ayo, Minori. Sadarlah. Ini bukan waktu untuk terpukau. Setidaknya, belum sekarang.

"Tapi aku memang berniat bicara dengan Nagi, jadi tidak masalah. Itu justru menghemat waktu kita."

Ucap Souichirou-san, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada dua orang di hadapannya.

"Mari kita bicara. Nagi, Chie. Silakan duduk."

Mendengar perkataan Souichirou-san, keduanya mengangguk pelan dan duduk di sebelahnya.

"Sebelum itu, aku harus memperkenalkanmu pada Minori-kun, Chie."

"Ya. Tapi aku sudah tahu sedikit darinya, lewat Nagi."

Chie yang disebutkan tadi—mungkin memang ibu Nagi.

Dia memiliki rambut hitam yang indah, diikat dengan gaya kuda poni, dan wajah yang cantik.

Sangat cantik. Sama seperti Souichirou-san, seseorang mungkin akan percaya jika dikatakan dia masih berusia dua puluhan.

"Senang bertemu denganmu. Aku ibu Nagi, Shinonome Chie. …Terima kasih banyak sudah membantu Nagi."

"T-tidak… Justru saya yang banyak dibantu oleh Nagi-san. Ah, saya… nama saya Minori Souta."

Aku buru-buru bicara, dan kata-kataku jadi berantakan, membuatku merasa malu.

Namun, Chie-san tersenyum lembut.

Itu adalah senyum yang sangat familiar.

"Tak perlu memaksakan diri menggunakan bahasa formal. Baiklah, mari kita kembali ke pembicaraan."

Kata Chie-san sambil menoleh ke arah Souichirou-san.

"Nagi."

"Ya."

Souichirou-san menatap Nagi.

Lalu, ia menempatkan kedua tangannya di atas tatami, dan dahinya pun menyentuh lantai.

"Maafkan aku… maafkan aku… Aku bahkan tak tahu harus mulai minta maaf dari mana. Aku telah membuat hidup Nagi berantakan."

"Ayah."

Nagi menatap Souichirou-san dan tersenyum lembut.

Senyuman itu sangat mirip dengan senyum yang tadi Chie-san berikan padaku.

"Ayah, angkat kepalamu. Aku sangat mencintai ibu dan ayah. Jadi, meskipun dikatakan bahwa aku dianggap sebagai alat… Meskipun itu membuatku terkejut, aku tidak akan merasa sedih."

"Nagi."

Chie-san memeluk Nagi dari belakang.

"…Maaf. Aku membuatmu mengatakan hal seperti itu."

Chie-san menggigit bibirnya, dan bahunya bergetar.

"Maaf karena tak menyadarinya lebih awal. Tapi sekarang, Souichirou-san dan aku… tidak, ayah dan ibu, kami hanya memikirkan Nagi. Kami hanya memikirkan kebahagiaan Nagi. Nagi adalah putri kami, meskipun mungkin sudah terlambat untuk mengatakan itu."

"Tidak, aku tak merasa begitu. Bagiku, ibu dan ayah adalah satu-satunya orang tua yang aku miliki."

Pelukan Chie-san menjadi semakin erat.

Souichirou-san mengangkat kepalanya dan menatap Nagi dengan serius.

"Setidaknya sekarang, kami memprioritaskan kebahagiaan Nagi di atas segalanya. Kebahagiaan Nagi adalah kebahagiaan kami juga. Bahkan kami merasa bahwa pekerjaan tak ada artinya dibandingkan itu. Jadi, aku ingin bertanya sekali lagi."

Mata hitam Souichirou-san, seperti kedalaman sumur yang dalam, menatap langsung ke dalam mata Nagi.

"Apakah perjodohan hari ini benar-benar akan membuat Nagi bahagia?"

Mata biru Nagi menatap balik Souichirou-san dengan penuh keteguhan.

Tatapannya sempat berhenti padaku sejenak.

Akhirnya, dia menatapku.

Namun, hanya sebentar. Nagi segera mengalihkan pandangannya kembali ke arah Souichirou-san.

"Ayah. Perjodohan kali ini adalah sesuatu yang benar-benar aku harapkan dari lubuk hatiku. Tak ada keraguan akan itu."

Dia mengatakan itu.

Wajahnya tertunduk, dan kedua tangannya mengepal erat.

"Namun…"

Aku mengangkat wajahku mendengar kata-kata berikutnya.

"Kalau bisa, aku ingin berbicara sekali lagi dengan Souta-kun."

Senyuman yang ia tunjukkan… entah kenapa, terasa menyedihkan.

***

Souichirou-san dan yang lainnya pergi ke ruangan lain. Sekarang, hanya aku dan Nagi yang tersisa di ruangan ini.

"Ada begitu banyak hal yang ingin aku katakan... sangat banyak. Tapi, ada satu hal yang ingin kutanyakan dulu,"

Ucap Nagi dengan tenang, menatapku dengan sungguh-sungguh.

"Kenapa kamu datang?"

"Kenapa, ya?"

Aku mengulangi pertanyaannya, lalu menatap Nagi.

"Karena aku suka kamu dan aku nggak bisa menyerah."

Hanya itu satu-satunya alasan yang bisa aku berikan.

Mendengar jawabanku, mata Nagi melebar... lalu ia menunduk.

"...Aku sudah banyak menyakiti Souta-kun."

"Itu demi keluargamu, kan? Bukan karena kamu punya niat jahat."

"Tapi aku sudah mengkhianati kamu."

"Aku nggak merasa kamu mengkhianati aku… Nagi."

Saat aku memanggil namanya, Nagi mengangkat wajah dan menatapku.

Mata birunya bergetar, terlihat seperti akan menghilang.

"Suatu saat nanti pasti akan ada gadis yang lebih cocok buat Souta-kun. Gadis yang nggak akan mengkhianati kamu..."

"Aku nggak mau orang lain. Aku maunya kamu, Nagi. Bukan orang asing yang bahkan nggak aku kenal."

Ekspresi Nagi perlahan berubah menjadi sedih.

"Tapi... karena... mungkin aku akan mengkhianati kamu lagi."

"Kamu nggak akan. Nggak ada lagi alasan untuk kamu mengkhianati aku. Sekarang kamu punya orang tuamu di sampingmu, bahkan Suzuka-san juga ada. Jadi kamu nggak akan mengkhianati siapa pun lagi, Nagi."

Tanpa sadar, aku tersenyum padanya.

"Dan ada satu alasan lagi. Aku tahu kamu pasti merasa bersalah dan membenci dirimu sendiri... Pasti sakit banget. Tapi justru karena itu, aku yakin kamu nggak akan mengkhianatiku lagi. Itu yang aku percaya."

Nagi adalah gadis yang baik.

Kalau dia nggak peduli, dia nggak akan menangis seperti kemarin... dan nggak akan menunjukkan wajah penuh luka itu.

Nagi menunduk dan berbisik pelan,

"...Aku gadis yang bodoh."

Lalu ia mengangkat wajahnya. Matanya tampak sedikit berkabut.

"Bukan cuma kamu, Souta-kun... Bahkan dibilang aku mengkhianati orang tuaku juga rasanya nggak berlebihan."

“Itu semua cuma kesalahpahaman. Kita bisa memperbaikinya kapan pun dan jadi lebih dekat dari sebelumnya.”

“Aku sudah menolak Souta-kun.”

“Tapi itu bukan keinginan hatimu yang sebenarnya. Kamu hanya merasa harus melakukannya. Kalau kamu benar-benar menolak aku, aku nggak akan ada di sini sekarang. Aku pasti sudah diusir dari tadi.”

“…Aku ini biasa saja, nggak istimewa. Mungkin aku akan menyakiti Souta-kun lagi.”

“Kalau itu terjadi, kita perbaiki bareng-bareng. Berapa kali pun kamu menyakiti aku, Nagi, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku janji.”

“…Aku nggak mau nyakitin Souta-kun lagi.”

“Aku tahu. Karena itu kamu bisa berubah. Kamu itu gadis yang bisa tumbuh jadi lebih kuat, Nagi. Bahkan bahasa Inggris yang dulu kamu benci pun, kamu bisa hadapi. Kalau kita bersama, kalau ada teman-teman juga, kita pasti bisa.”

Bibirnya sedikit bergetar, matanya tampak bergetar.

“Aku…”

Pipinya mulai berkerut.

“Aku yang seperti ini… boleh bahagia?”

“Tentu saja boleh.”

Aku menatapnya langsung, tanpa berniat mundur sedikit pun.

“Aku akan buat kamu bahagia. Bukan orang lain, aku yang ingin membuat kamu bahagia. Itu alasan kenapa aku datang ke sini.”

Aku melangkah mendekati Nagi. Dia menatapku dengan mata yang penuh air mata.

“Nagi.”

“…Iya.”

“Aku suka kamu, Nagi. Aku benar-benar mencintaimu.”

Air matanya terus mengalir, tapi Nagi tidak pernah mengalihkan pandangan. Aku menatap matanya dalam-dalam dan mengulurkan tangan.

“Sepuluh tahun dari sekarang, aku ingin ada di sampingmu, Nagi. Tertawa bersamamu, dan kamu juga tertawa bersamaku.”

Lalu…

“Ayo pacaran dengan tujuan untuk menikah.”

Tangan Nagi bergetar dan perlahan terangkat.

“Iya.”

Dia berkata begitu dan menggenggam tanganku.

Aku menggenggam tangan Nagi dan menariknya ke dalam pelukanku.

“…Maaf, maaf ya, Souta-kun. Aku sudah sangat menyakitimu, sangat…”

“Nggak apa-apa. Sekarang aku benar-benar bahagia.”

Saat itu juga, aku merasakan hangatnya tubuh Nagi.

Keheningan itu terisi oleh kehangatannya, menjalar ke seluruh tubuhku.

Kupikir aku sudah nggak bisa lagi… memeluknya.

Tapi sekarang, dengan niat untuk tidak pernah melepaskannya lagi, aku memeluknya erat.

Dan pelukannya juga semakin kuat.

“Terima kasih karena masih mencintaiku.”

Nagi menangis, tapi dia tersenyum.

“Sama-sama.”

Kata-kata yang dulu pernah menyatukan kami, dan juga kata-kata yang dulu kupakai untuk menjauh darinya.

Sekarang, kata-kata itu kembali menyatukan aku dan Nagi.

Tangan kecil Nagi menggenggam erat punggungku.

“Aku sangat mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu, Souta-kun. Aku mencintaimu lebih dari siapa pun.”

“Aku juga mencintaimu. Aku cinta kamu, Nagi.”

Nagi menolehkan wajahnya dari dadaku dan menatapku.

Aku mendekatkan wajahku ke wajah Nagi, dan bibir kami bertemu.

“…”

“…”

Setelah bibir kami terpisah, kami hanya saling menatap tanpa kata.

Wajah indahnya ada tepat di depan mataku.

Perlahan, kali ini Nagi yang mendekatkan wajahnya.

“…Souta-kun.”

“Ya?”

Matanya yang hangat, seperti cahaya matahari di atas laut, menatapku dengan lembut.

“Aku akan membuatmu bahagia. Pasti, pasti akan kulakukan.”

“…Iya.”

Aku mengangguk mendengar kata-katanya, lalu kami kembali berciuman.

“Mari bahagia bersama.”

“…Padahal aku sudah bahagia banget sekarang.”

“Kalau begitu, kita akan jadi lebih bahagia lagi.”

Setelah memeluknya sekali lagi dan melepaskannya sedikit…

Tiba-tiba rasa kantuk menyerangku, dan aku pun kehilangan kesadaran.

***

Sudut Pandang Nagi

"Tapi tetap saja, aku terkejut. Kurasa dia mengalami penyakit yang cukup serius."

"Kata dokter sih itu karena kelelahan dan kurang tidur yang menumpuk, semuanya keluar begitu ketegangannya hilang. Syukurlah, nggak ada yang serius."

Mendengar percakapan ayah dan ibu, aku mendongak.

"Um, Ayah, Ibu..."

Mereka menatapku… dan tersenyum lembut.

"Aku sudah bikin kalian khawatir. Maaf..."

Selama ini aku tak menyadari perasaan mereka. Aku hanya terus berlari ke sana ke mari, tanpa arah.

"Seandainya aku lebih jujur soal perasaanku… Kalau saja kita lebih sering bicara..."

Ucapan itu terputus saat tangan ayah terulur dan mengusap kepalaku.

"Nggak apa-apa, Nagi. Harusnya kami yang lebih dulu mendekat. Terutama ayah… ayah yang paling bersalah."

"Iya, betul. Ayah memang salah. Dan ibu juga, seharusnya lebih sering bersama kalian," 

Tambah ibu dengan nada suara yang jarang kudengar darinya. Ayah hanya tersenyum pahit. Tapi dari ekspresi mereka, aku tahu… mereka merasa bersalah.

Sudah bertahun-tahun lamanya… tapi rasanya seperti baru kemarin ayah mengelus kepalaku seperti ini.

"Um, Ayah, Ibu… Aku tahu mungkin ini permintaan yang agak aneh, tapi… aku punya satu permintaan."

"Apa itu? Kami akan dengarkan apa pun, Nagi. Kamu boleh kok jadi lebih manja."

Kata-kata mereka membuatku tersenyum.

Dengan mata yang mulai buram dan tangan yang kugenggam erat di pangkuanku, aku menatap mereka berdua.

"...Boleh nggak… kalau di rumah, aku memanggil kalian 'Mama' dan 'Papa'?"

Begitulah yang aku katakan.

Sejak kecil, aku selalu ingin memanggil mereka begitu. Tapi, sejak mulai terbiasa dengan panggilan

"Ayah" dan "Ibu", aku tidak pernah bisa mengatakannya.

Mereka terlihat terkejut… lalu tersenyum dan mengangguk.

"Iya, tentu saja, Nagi."

"Panggil kami begitu ya. Kami… Mama dan Papa juga pasti senang sekali."

Cahaya matahari yang masuk terasa menghangatkan hatiku, membuat semuanya terasa nyaman.

"Iya! Papa, Mama!"

Aku begitu bersemangat sampai tak sadar senyum lebar muncul di wajahku… dan mereka berdua tampak terkejut melihatku seperti ini.

Ah… ya. Ini pertama kalinya—atau mungkin sudah lama sekali—aku menunjukkan ekspresi seperti ini pada mereka.

"Ini semua berkat Minori-kun, ya? Kita harus benar-benar berterima kasih padanya."

"Iya," aku mengangguk pelan.

Lalu, Ayah menurunkan tangannya dari kepalaku.

"Nagi, tolong jaga dia baik-baik. Urusan satu lagi, biar Ayah yang selesaikan."

"Ah..."

Benar. Masih ada urusan pertunangan...

"Aku juga akan minta maaf..."

"Nagi," kata Ayah, menatapku langsung. Matanya dalam, tapi tampak tenang dan jernih.

"Ayah menerima perasaanmu dengan penuh rasa terima kasih. Tapi, sejujurnya… lebih mudah bagi Ayah untuk menyelesaikannya sendiri."

Di sampingku, Ibu juga mengangguk pelan.

"Iya, kurasa itu yang terbaik… Tapi sepertinya kamu tetap harus mengirim surat permintaan maaf. Bisa ya, Nagi?"

"Aku mengerti,"

Kalau mereka bilang begitu, mungkin memang itulah yang terbaik.

Setelah aku mengangguk, Ayah meletakkan tangan di kepalaku sekali lagi, seolah mengucapkan salam perpisahan.

"Nggak apa-apa, semua akan Ayah siapkan. Sampaikan salam Ayah untuk Minori-kun, ya."

"Iya, sampai jumpa, Papa."

Setelah berpisah dengan Papa dan Mama… aku berjalan menuju kamar tempat Souta-kun tidur.

Di depan pintunya, Suzuka-san sudah menunggu.

"Suzuka-san."

"Oujo-sama... itu...," Suzuka-san tampak sedikit merasa bersalah. Mungkin karena hal itu.

"Kau menemui Souta-kun diam-diam tanpa sepengetahuanku, ya?"

"Saya minta maaf..."

Sepertinya Souta-kun tahu tentang Suzuka-san. Melihat wajah Suzuka-san yang merasa bersalah, aku tertawa kecil.

"Heh, nggak apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf. Aku sudah merepotkanmu, maaf ya."

Aku membungkuk sedikit dan menatapnya kembali.

"Dan… terima kasih. Karena sudah membawanya ke rumah. Kalau bukan karena kamu, mungkin dia sudah diusir sejak di pintu."

"Tidak, aku tidak melakukan banyak..."

"Suzuka-san."

Aku memanggil Suzuka-san yang tampak merendah.

"Di saat-saat seperti ini, cukup bilang saja ‘sama-sama’."

"...Sama-sama."

"Ya, terima kasih! Mohon terus dukung kami ya!"

"Tentu saja… Saya senang sekali melihat Oujo-sama bisa tersenyum seperti ini."

Suzuka-san mengusap sudut matanya dengan sapu tangan. Mendengar ucapannya, hatiku pun kembali hangat dan bahagia.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, aku pun masuk ke dalam kamar.

Souta-kun masih tertidur di ranjang.

Aku duduk di sisi ranjang, menatap wajahnya yang terlelap.

"Souta-kun."

Menyebut namanya, aku melihat betapa lucunya wajah tidur Souta-kun. Sangat manis dan menenangkan.

Meskipun aku tahu dia tak bisa mendengarnya, aku tetap berbicara.

"Aku sangat mencintaimu, Souta-kun."

Aku menyelipkan tanganku ke balik selimut, menggenggam tangannya yang hangat. Kehangatan tubuhnya seakan mengalir masuk ke dalam tubuhku, menyebar dan menenangkan.

"Aku akan membuatmu bahagia, aku janji."

Menatap wajahnya, perasaanku dipenuhi kebahagiaan… dan juga sedikit nyeri di dada.

"Meski aku seperti ini… Souta-kun tetap memilihku. Dengan begitu yakin. Karena itu, aku pasti akan membuatmu lebih bahagia dari siapa pun."

Dengan tangan satunya lagi, aku menggenggam tangannya erat-erat. Seolah ingin menyelimuti seluruh dirinya dengan rasa sayang.

"Nanti, saat aku sudah kelas dua, kelas tiga SMA, bahkan ketika aku dewasa dan mulai bekerja, aku akan terus mendukungmu, Souta-kun."

Aku mengangkat tangannya dan meletakkannya lembut di atas kepalanya.

"...Ketika kita punya anak, melihat mereka tumbuh dewasa, hingga jadi kakek-nenek. Aku akan terus membuatmu bahagia. Dan saat waktu itu tiba, aku ingin Souta-kun mengatakan ini."

Sambil membelai rambutnya dan menatap wajahnya yang tenang, aku berkata:

"'Aku adalah orang paling bahagia di dunia.'...Dan setelah itu, aku akan merawatmu sampai akhir hayatmu. Dan saat itu terjadi, aku akan segera menyusulmu. Bahkan di kehidupan setelah ini pun, aku akan terus membuatmu bahagia."

Perasaan hangat itu meluap… dan berubah menjadi air mata yang menetes di pipiku.\

"...Kalau bisa, di kehidupan selanjutnya dan selanjutnya lagi, aku ingin bertemu dengan Souta-kun dan menghabiskan seluruh hidup bersama."

Tidak. Aku pasti akan menemukannya.

Aku pasti akan menemukan Souta-kun di dunia yang luas ini.

Saat itulah, aku menyadari… telinga Souta-kun memerah.

"Aku mencintaimu, Souta-kun. Lebih dari siapa pun di dunia ini."

"...Aku juga."

Souta-kun menjawab dengan suara pelan. Mendengar ucapannya membuatku bahagia, dan tanpa kusadari...

Aku mengusap mataku dan naik ke tempat tidur.

"Tunggu! Nagi!?"

"Selamat pagi, Souta-kun. Kamu baru bangun, dan langsung kupeluk."

Aku memeluk Souta-kun erat, sampai seolah terdengar suara dari pelukanku.

"...Aku tidak akan menahan diri lagi."

Aku berbisik di telinga Souta-kun.

"Aku akan terus bilang 'aku sangat mencintaimu'. Berkali-kali. Bahkan kalau kamu bosan, aku tetap akan mengatakannya."

"...Tidak mungkin aku bosan."

Souta-kun bergerak dan menatapku.

"Aku sangat mencintaimu, Nagi."

Ia membalas pelukanku. Hangat, menenangkan... Tapi juga membawa perasaan yang membuat jantungku berdegup lebih cepat.

Ah, aku...

"Aku sangat bahagia."

"Aku juga, Nagi."

Mengetahui bahwa Souta-kun merasakan hal yang sama, membuatku merasa sangat bahagia hingga hatiku penuh dengan kegembiraan.

Air mata itu pun kembali tumpah.

"...Sebenarnya. Ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku."

Aku menyembunyikan wajahku di dada Souta-kun, benar-benar merasakan kebahagiaan itu dalam-dalam. Tangan Souta-kun yang memelukku terasa hangat dan kuat.

Ketika aku menatap wajahnya dan bertemu pandang dengannya, dan saat bibir kami bertemu, kebahagiaan itu semakin terasa dalam.

"Berapa kali pun, banyak, puluhan, ratusan kali pun, aku akan terus mengatakannya. Souta-kun. Aku benar-benar mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Souta-kun. Lebih dari siapa pun."

"Ah. Aku juga sangat mencintaimu."

Di masa depan, akan ada banyak hal yang harus dihadapi, seperti pekerjaan Ayah dan pertunangan yang telah direncanakan.

"Tapi entah kenapa, aku tidak takut. Karena aku percaya, selama aku bersama Souta-kun, semuanya akan baik-baik saja... dan karena kita sudah memutuskan untuk bahagia bersama."

Aku memikirkan masa depan yang belum datang.

"Untuk masa depan nanti juga, aku mohon bantuannya ya, Souta-kun."

"Ah, aku juga mohon bantuannya."

Kami mendekatkan tubuh, menyentuhkan dahi satu sama lain.

"Kebahagiaan ini, tidak akan pernah kulepaskan."

Sambil menatap matanya dalam-dalam, aku mengucapkan janji itu.

Souta-kun adalah temanku. Teman-temanku yang lain juga tetaplah teman. Tapi perasaan yang aku berikan pada mereka, dan perasaan yang aku berikan padanya, sangat berbeda.

Namun tetap saja, aku ingin menggunakan kata-kata ini untuknya.

Bagiku, kata-kata ini sangat istimewa… karena dialah orang pertama yang membuatku merasakan hal itu.

"Bagi aku, Souta-kun adalah sahabat terbaikku."


<Prev [ToC] Next>

Komentar