pada tanggal
Yome ni Uwaki Saretara
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Note:
(...) ---> ungkapan yang didengar Kaburagi
【...】---> pembicaraan Kurusu di tablet
_______________________________________
"Walaupun kita beda kelas, kita tetap teman, kan~!"
"Iya!"
Aku bisa mendengar mereka mengobrol seperti itu saat berjalan menyusuri lorong.
Hari ini adalah upacara pembukaan tahun ajaran keduaku.
Dengan kata lain, hari ini adalah hari para murid mendapatkan kelas baru mereka.
Mungkin itu sebabnya aku melihat banyak orang saling mengucap janji berkali-kali hari ini.
Benar-benar terlihat damai.
Aku mengintip ke dalam kelas Kurusu dari lorong.
Setelah insiden waktu itu, dua orang yang bertengkar tampaknya sekarang sudah akur, berkat Kurusu yang menghentikan pertengkaran mereka.
Meskipun masih ada berbagai macam perasaan dalam hati mereka, dan dendam yang belum benar-benar hilang, setidaknya di permukaan mereka menunjukkan suasana yang ringan dan ceria.
Segalanya berubah menjadi lebih baik──atau setidaknya terlihat begitu.
"Yah, itu bagus juga, kan? Meski hubungan itu palsu, kalau kita anggap nyata, maka akan terasa nyata juga."
Aku bergumam sambil menghela napas.
Bukan hal yang buruk kalau anak-anak di kelas berusaha mempertahankan suasana yang 'menyenangkan', meskipun rapuh dan masih menyisakan perasaan tak tuntas di hati masing-masing.
Meskipun mereka sadar, mereka tetap akan mempertahankannya.
Begitulah kehidupan sosial. Karena kita nggak tahu isi hati orang lain, kita nggak punya pilihan selain percaya begitu saja.
Dan mungkin... mereka bahkan nggak memikirkannya sama sekali.
Yah, kadang lebih baik nggak tahu.
Aku pergi ke UKS sambil memikirkan hal itu.
"Ngomong-ngomong... hal penting apa ya yang ingin dia bicarakan?"
Aku ke UKS karena Kurusu memanggilku.
Waktu dia bilang itu hal 'penting', bukan cuma pertemuan biasa, entah kenapa aku merasa sedikit tegang.
Awalnya aku pikir aku salah baca, tapi pesan di ponselku memang benar-benar bilang begitu.
Saat aku sampai, Kurusu sudah ada di sana, memegang beberapa surat di tangannya.
Aku melirik isi surat itu, sepertinya itu surat dari para gadis, dan Kurusu membacanya dengan saksama.
【Aku senang sekali】(...Nggak nyangka aku dapat begitu banyak surat... Aku ingin bicara dengan mereka lagi...)
Dia menyadari kehadiranku dan bereaksi seperti itu.
Dia tersenyum, meskipun senyumnya masih terlihat agak kaku, tapi jelas kalau latihan senyumnya sudah membuahkan hasil.
Dia terlihat sedikit bangga dengan senyumnya, mungkin karena dia merasa mendapat respons positif dari orang-orang di sekitarnya.
Kurusu, yang ingin tahu pendapatku, memandangku.
"Menurutku udah bagus kok."
【Hasil latihanku】(Aku akan latihan lebih banyak sampai senyumku bisa semanis senyum Kaburagi-kun...)
Kurusu menggembungkan pipinya dan menggumamkan kata "latihan senyum" berulang-ulang dalam pikirannya.
Tapi... saat dia menggumamkan "uisuki daisuki" lagi untuk latihan senyum, tiba-tiba ekspresinya berubah tegang, seolah teringat sesuatu.
"Ada apa, Kurusu? Ada yang terjadi?"
【Ada yang ingin aku katakan ke Kaburagi-kun. Ini penting banget】(...Hal penting yang ingin kusampaikan)
"...Mn? Apa itu?"
【Perasaan penting】(...Kalau aku nggak bilang sekarang, aku pasti akan menyesal. Aku ingin bilang kalau aku sudah lulus dari ajaranmu. Dan bilang kalau sekarang kita setara)
"Eh...?"
Kurusu menatapku langsung.
Dia memasang ekspresi serius, seperti sudah membuat suatu keputusan...
Tatapan itu membuatku terdiam, dan suara aneh keluar dari mulutku.
...Ada apa dengan dia tiba-tiba?
Maksudnya apa hal penting?
Aku nggak mengira dia bakal mengungkapkan perasaannya... Nggak, nggak mungkin!!!
Tatapan seriusnya dan suara hati yang kudengar membuat perasaanku jadi tidak stabil.
...Nggak mungkin, kan?
Apa maksudnya dengan tidak mau dipanggil muridku lagi?
Apa karena dia berpikir bahwa murid dan guru nggak bisa saling jatuh cinta?
Tentu, itu akan menjelaskan kenapa dia ingin menyatakan "kelulusan"...
Tunggu, tunggu, tunggu! Tapi mengungkapkan perasaan biasanya dilakukan di waktu yang tepat, kan? Nggak mendadak kayak gini!?
Ah... tapi mungkin itu gaya Kurusu...
Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.
Begitu kuat sampai terasa menyakitkan, dan asam lambungku serasa naik ke tenggorokan.
Aku harus gimana...?
Selama ini aku selalu menghindari pengakuan cinta.
──Aku selalu bilang kalau aku punya pacar kakak kelas.
Itu sudah jadi aturan bagiku, untuk berbohong dan menghindari mereka sebelum mereka mengungkapkan perasaan.
Tapi Kurusu sudah tahu kalau aku nggak punya pacar.
Lagi pula, dia tersentuh dengan kejadian sebelumnya, jadi wajar kalau dia mulai menyukaiku dan ingin mengungkapkan perasaannya...
Kalau begitu... aku harus gimana?
Sebanyak apapun kupikirkan, tetap saja aku nggak menemukan jalan keluar.
"H-hei, Kurusu...?"
Aku menatap Kurusu. Dan matanya terlihat bengkak.
Mata itu... manja dan memohon, mengingatkanku pada seekor anjing Chihuahua...
Tatapan itu terlalu curang...
Aku menghela napas dan menatap wajahnya lagi.
Cara dia memandangku membuatku memutuskan...
(Tolong jadilah temanku... Itu yang ingin kusampaikan. Tapi... ugh, ada debu masuk ke mataku. Rasanya ingin menangis)
"......"
...Hampa.
Dalam sekejap, aku merasa hampa.
Ya.
Aku mengerti. Tepat sekali.
Orang se-serius dia nggak mungkin tiba-tiba memutuskan untuk pacaran denganku...
Jadi, dia ingin kita berteman...
Dia sudah bilang soal kesetaraan...
Rasanya aku ingin mati karena malu.
Aku ini orang yang bisa mendengar suara hati orang lain, tapi tetap saja aku malu mendengar kata-kata itu.
Aku memalingkan wajah darinya dan berkata,
"Kau tahu, Kurusu. Berteman itu nggak ada artinya kalau cuma diucapkan lewat kata-kata."
(Apa maksudnya?)
"Lihat saja teman sekelasmu, kan? Bahkan orang-orang yang kelihatannya akur bisa berakhir seperti itu. Itulah kenapa aku nggak bisa percaya dengan hubungan yang hanya bisa bertahan kalau harus bilang 'Kita kan teman, ya?'."
Orang bilang kita nggak bisa menyampaikan perasaan kalau nggak diucapkan lewat kata-kata.
Manusia ingin kepastian, jadi mereka merasa lega kalau bisa mengatakannya langsung.
Tapi... kata-kata itu murah. Bahkan bisa jadi palsu.
Bagiku, kata-kata itu lemah. Hanya suara hati yang bisa mengungkapkan kebenaran.
Mungkin itu sebabnya aku terlihat dingin.
"Dalam hubungan seperti ini, kamu nggak perlu mengatakan apa-apa untuk bisa saling mengerti. Yah, itu memang idealisme saja sih."
Tanpa perlu berkata-kata.
Hubungan di mana kita bisa saling mengerti. Hampir mustahil bagiku, tapi...
Saat aku memikirkannya, Kurusu menuliskan,
【Aku sangat menyukaimu. Aku ingin berteman denganmu】 dan tersenyum padaku.
Dalam hatinya, dia berkata dengan ekspresi puas,
(Kalau mengucapkannya terdengar murahan, maka aku akan menuliskannya saja.)
"...Hahaha. Ada-ada aja."
Tawaran untuk berteman itu terasa seperti pengakuan cinta.
Apalagi, Kurusu pasti nggak bisa menyangkalnya secara langsung...
Aku tertawa terbahak.
(...jangan tertawa)
Dia pun merasa malu dengan apa yang dia tulis dan menunduk dengan pipi memerah.
"Yup. Ini benar-benar khas Kurusu."
Mendengar jawabanku yang singkat, Kurusu tersenyum bahagia dan bersandar ke dadaku.
"...Kurusu?"
Matanya masih bengkak dan dia menatapku.
Kalau orang lain melihat dari luar... dia pasti terlihat seperti ingin menciummu.
Tapi sebenarnya, dia hanya sedang menyembunyikan wajahnya karena terlalu bahagia memiliki teman sampai ingin menangis.
Mengetahui hal itu, rasa kecewaku pun menghilang, dan aku menepuk punggungnya dengan lembut.
Sampai dia tenang, aku akan memeluknya... sebagai seorang teman.
Itulah yang kupikirkan. Tapi aku memutuskan untuk mengatakan satu hal lagi untuknya.
"Aku bisa disalahpahami kalau begini terus... jadi hati-hati mulai sekarang."
Suaraku menjadi satu-satunya gema di keheningan ruangan itu.
Dan di tengah-tengah ucapanku, aku merasa mendengar Kurusu berkata "suki."
Tapi ‘suki’ yang dia maksud... apakah hanya 'suka' sebagai teman, atau 'cinta'...?
Bahkan aku, yang bisa mendengar suara hati seseorang──tidak bisa memahaminya.
Komentar
Posting Komentar