pada tanggal
Yome ni Uwaki Saretara
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Note:
(...) ---> ungkapan yang didengar Kaburagi
【...】---> pembicaraan Kurusu di tablet
_______________________________________
Hari terakhir bulan Maret menandai hari pertama kami masuk sekolah.
Hari ini adalah upacara tahunan sekolah di mana guru yang pensiun dan guru baru diperkenalkan.
Yah, upacara ini memakan satu hari berharga di masa liburan musim semi, jadi banyak siswa yang mengkritiknya dan berpikir untuk tidak hadir.
Namun, hari ini juga merupakan hari terakhir untuk menghabiskan waktu bersama teman sekelas saat ini, jadi mereka yang merasa terikat dengan kelasnya akan datang ke sekolah dengan sukarela.
Dari sudut pandangku, yang hampir setiap hari datang ke sekolah selama masa liburan, hari spesial seperti ini tidak ada bedanya dengan hari biasa.
Lalu aku mendengar percakapan yang menyenangkan.
"Kurusu-san, akhir-akhir ini berubah ya?"
"Iya, iya! Sepertinya dia lebih mudah diajak bicara daripada sebelumnya."
"Yah, walaupun begitu, masih banyak hal tentang dia yang misterius."
"Hahaha. Iya juga, iya juga~"
Beberapa siswi tertawa saat membicarakannya.
Dari kejadian ini, sepertinya teman sekelasnya tidak lagi menghindarinya seperti dulu.
Sudah sekitar dua bulan sejak aku mulai berinteraksi dengannya, jadi aku pikir ini adalah hasil dari usahanya yang perlahan-lahan mulai bertindak.
Saat aku melewati kelasnya, aku melihat ke arahnya tanpa ia sadari. Ekspresinya masih datar, tapi dia tidak terlihat memiliki aura negatif lagi.
Beberapa siswa sedang berbicara satu sama lain, dan Kurusu menghampiri mereka.
【Kumpulkan tugas】, sepertinya dia sedang melakukan instruksi dari Sensei.
...Dia memang sangat serius.
Melihat dia berusaha keras seperti itu, aku merasa ada sesuatu yang muncul dalam diriku, tapi aku tidak mencoba bicara dengannya dan hanya melewati kelasnya.
Nanti saja aku kirim pesan lewat ponsel.
Sementara aku memikirkannya, Kirisaki datang dan menepuk punggungku.
"Ritsu, kamu kelihatan agak senang, ya."
"Apa iya?"
"Mungkin kamu nggak sadar, tapi… ekspresimu terlihat santai dan tenang."
"Eh, serius?"
Aku mengusap wajahku dan mencubit pipiku.
Dia bilang aku terlihat senang dan ekspresiku santai, tapi… huh?
Rasanya biasa saja, nggak terasa aneh atau gimana.
Atau mungkin aku cuma nggak sadar? Nggak tahu juga, sih.
"Hei, aku kelihatan aneh, ya?"
"Um, nggak juga."
"…Mn?"
"Setelah kejadian kemarin, kupikir kamu bakal merasa kesepian."
"Kamu sadar juga, ya… duh."
"Maaf, maaf. Soalnya dari reaksimu, kayaknya tebakanku benar."
Dia mengacak rambutku dan tersenyum bahagia padaku.
Aku memalingkan wajah dari Kirisaki, kesal karena perasaanku begitu mudah ditebak.
"Fufu. Ritsu ternyata agak feminin juga, ya."
"…Apa itu buruk?"
"Enggak, sama sekali nggak. Justru aku merasa lega."
"Lega?"
"Yah, soalnya Ritsu yang ini terlihat sangat bijak. Kamu tenang dan dewasa, seolah-olah bukan seumuran denganku. Kamu selalu seperti memancarkan aura “aku nggak akan menunjukkan kelemahan”."
"…"
"Tapi Ritsu juga punya sisi manis. Aku jadi merasa lebih dekat denganmu."
Kirisaki pun tersenyum bahagia padaku, dan aku hanya menjawab, "Diam", dengan kesal.
Aku bersikap seperti anak kecil yang merajuk.
Dan seolah membuktikan bahwa semua yang dia katakan itu benar.
"Iya, tapi kamu tahu kan, kamu dan Rurina bukan terpisah selamanya, jadi kenapa nggak coba bicara lagi sama dia?"
"Sekarang belum, deh. Tiba-tiba datang dari orang kelas lain pasti bikin suasananya jadi canggung, kan?"
"Ah, benar juga. Bisa jadi pusat perhatian orang."
"Iya, kan? Sekarang ini momen penting buat dia bikin kesan baik, jadi aku nggak mau bikin masalah yang nggak perlu."
"Begitu ya. Tapi kita juga masih bisa makin dekat dengannya, kan?"
Aku mengerti maksudnya.
Hanya saja kalau kami terlalu terlibat, dunia milik Kurusu bisa jadi makin sempit.
Usahanya harus dihargai.
...Eh? Terus gimana hubungan Kirisaki dan Kurusu setelah hari itu?
Aku penasaran, jadi kuputuskan untuk bertanya padanya.
"Hei, Kirisaki belum ngobrol sama Kurusu lagi setelah itu? Kalian kelihatan dekat sebelumnya."
"Udah, kok. Rurina itu ramah dan selalu lari menghampiri kalau lihat aku."
"Haha. Kayak anak anjing kecil, ya."
"Iya, lucu banget dia."
Syukurlah. Ternyata mereka masih saling berkomunikasi.
Kalau sekarang mereka bisa akur dan terus menjalin komunikasi, pasti ke depannya juga akan baik-baik saja.
Oke, oke. Semuanya berjalan lancar. Aku jadi menantikan apa yang akan terjadi nanti.
"Jadi kamu dan Kurusu sudah jadi teman, kan?"
"Umm. Mungkin?"
"Kenapa malah balik nanya… jadi belum, ya?"
Nada bicaranya agak keras, dan aku jadi sedikit memiringkan kepala.
Bukan maksudku menginterogasi, tapi waktu Kirisaki terlihat ragu, dia menunjukkan ekspresi seakan kesulitan mengatakannya. Tapi lalu dia bilang,
"Nggak bisa dibilang begitu, tapi setidaknya kami saling mengenal."
"Ada makna tersembunyi di balik kalimatmu itu..."
"Yah, bukan cuma aku yang bisa bilang kami sudah jadi teman."
"Hmm… jadi banyak hal yang terjadi, ya..."
"Iya, iya. Hati cewek itu lebih dalam dari lautan, tahu nggak."
Aku menatap wajahnya saat dia bicara dengan gaya sok misterius itu.
Aku yakin dia memang nggak mau membahasnya lebih lanjut.
Tatapanku nggak membuatnya merasa tertekan, dan entah kenapa dia malah mengedipkan mata ke arahku dengan gaya nakal.
Tapi setelah melakukannya, dia malah terlihat malu sendiri.
Soalnya wajahnya sedikit memerah, dan dia mencubit pinggangku.
"...Oi, sakit tahu."
Kataku, dan dia pura-pura batuk lalu menatap ke luar jendela.
"Ah, tapi mulai sekarang pasti akan sulit."
"Sulit? Iya juga, sih."
"Ritsu juga pasti mikir begitu. Dia kan imut, pasti cowok-cowok nggak akan tinggal diam. Selama ini mereka menjauh karena rumor buruk, tapi sekarang dia makin kelihatan ramah."
"Yah, itu sih nggak bisa dihindari. Semakin banyak yang terlibat, semakin besar juga masalahnya."
"Iya, betul juga…"
Setelah ngobrol begitu, aku dan Kirisaki kembali ke kelas.
Kalau dia nggak terlibat dengan siapa-siapa, pasti nggak akan ada masalah.
Itu wajar, karena memang nggak ada kemungkinan terjadi apa-apa.
Tapi sebaliknya, semakin banyak teman, semakin besar pula peluang munculnya masalah.
Tapi itu nggak bisa dihindari.
Dan dengan melewati semua itu, kita bisa tumbuh.
Cepat atau lambat sesuatu pasti akan terjadi.
Dan kemudian… itu datang secara tiba-tiba, tanpa tanda-tanda.
"Kamu tahu nggak? Kaburagi-san. Kudengar Kurusu-san dapat masalah, lho."
Kita memang harus lebih berhati-hati justru saat segalanya terlihat berjalan lancar.
Itu adalah hukum dunia, dan realita hidup.
Dan sepertinya firasat burukku kali ini benar-benar terbukti.
"Kurusu kena masalah...?"
Saat aku dan Hinamori sedang menyiapkan bunga untuk guru yang pensiun, aku bertanya padanya tentang apa yang baru saja ia katakan.
“Cepat banget,” pikirku. Aku kaget dan khawatir di saat bersamaan.
Dia... baik-baik saja, kan?
Tepat saat aku hendak keluar kelas untuk menemuinya, Hinamori menahanku dan berkata,
"Tenang aja, masalahnya sudah selesai."
"Oh, sudah beres... Jangan bikin kaget, dong."
...Syukurlah.
Aku khawatir Kurusu akan terpukul secara mental kalau dia sampai kena masalah secepat itu.
Meskipun tidak terlihat di wajahnya, Kurusu itu orang yang sangat peduli dengan sekitarnya.
Aku menghela napas dan memegang dadaku lega.
"Huh? Kenapa sih ekspresinya Kaburagi-san kelihatan khawatir banget?" (Wah, mengejutkan! Sepertinya Kaburagi-san dan Kurusu-san punya hubungan spesial! Kalian pacaran ya selama libur musim semi? Duh~! Aku iri~!)
"..."
Aku hanya diam menatap Hinamori.
Seperti biasa, aku cuma bisa menghela napas mendengar isi pikirannya yang berisik itu.
"Yah, kami memang nggak musuhan. Jadi wajar dong kalau aku penasaran."
"Kamu punya hubungan spesial sama dia, ya?"
"Lupakan. Jadi sebenarnya yang terjadi apa, sih?"
Saat aku mengabaikannya, Hinamori mendecak, “Dasar bodoh!” sambil mengembungkan pipinya.
Lalu dia mulai menceritakan apa yang terjadi pagi ini.
"Kurusu-san entah gimana berhasil melerai pertengkaran dua teman sekelas. Padahal mereka itu dekat banget, lho."
"Itu keren dong, bagus banget buat dia."
"Tentu! Kurusu-san langsung nyamperin begitu mereka mulai ribut dan langsung melerai. Kudengar pertengkarannya lumayan kasar, jadi dia berani banget~"
"Iya... memang berani banget."
Dia belum pernah terlibat dalam hal seperti ini sebelumnya, tapi mungkin dia merasa ada sesuatu di antara kedua teman dekat itu. Wajar saja kalau dia peduli dan nggak mau hubungan mereka hancur.
"Apa penyebab pertengkarannya? Kalau sampai separah itu, pasti masalah cinta, ya?"
"Oh! Seperti yang kuduga dari Kaburagi-san. Aku nggak tahu detailnya, tapi katanya mereka ribut gara-gara saling tuduh soal siapa yang godain pacar siapa. Tapi akhirnya, si cowok yang selingkuh jadi kambing hitam dan kena tampar deh. Begitu akhirnya."
"...Begitu ya."
"Cowok yang selingkuh emang harus dihukum keras! Tapi untunglah semuanya selesai dengan baik. Jadi jangan pernah selingkuh ya, Kaburagi-san."
"Nggak akan."
Aku menggaruk kepala dan menghela napas.
Hinamori kayaknya pengen kasih peringatan soal perselingkuhan, ya?
Mungkin itu alasan dia cerita ini.
Yah, seperti biasa, dia memang selalu tahu caranya.
Lagian, Kurusu itu hebat juga... Dia bisa menghentikan pertengkaran padahal bukan urusannya.
Pasti ini akan mengubah pandangan orang-orang terhadap dirinya.
"Eh. Tapi kenapa kamu bilang Kurusu kena masalah? Dari ceritamu, justru semuanya beres, kan?"
Peran Kurusu di sini malah seperti pahlawan yang menghentikan pertengkaran, bukan penyebab masalahnya.
Kalau begitu, Hinamori cuma lebay aja.
"Itu dia masalahnya. Awalnya sih, dua cewek itu kemungkinan bakal adu jotos..."
Kata "kemungkinan" di sini berarti belum sampai terjadi beneran.
"Dan Kurusu memang kena semprotan kata-kata kasar dari yang bertengkar itu. Tapi ekspresinya yang dingin itu yang akhirnya bikin mereka berhenti."
"..."
"Ekspresinya dingin banget. Tapi tindakan Kurusu-san dipuji semua orang. Bahkan saat teman sekelas yang khawatir menanyainya, dia cuma jawab dengan tenang, ‘Nggak apa-apa. Aku baik-baik saja’. Dia bener-bener kuat mentalnya."
Sambil bertepuk tangan memuji, Hinamori berkata dengan kagum.
Pasti orang-orang yang melihat kejadian itu juga berpikir hal yang sama.
Beda denganku yang bisa melihat lebih dalam, mereka cuma menilai dari luarnya saja.
"‘Nggak apa-apa’, ya. Iya sih... dari luar pasti kelihatannya begitu."
"Uhm, ada yang salah?"
"Nggak, nggak apa-apa... Yuk, kita selesaikan ini."
"Kaburagi-san! Jangan buru-buru dong."
Aku pun memutuskan untuk segera menyelesaikan tugas membantu OSIS.
◆ Aku Ingin Belajar Bersabar ◆
"JANGAN IKUT CAMPUR, KAMU NGGAK TAHU APA-APA! Biasanya kamu pendiam banget sampai-sampai aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan! Kamu benar-benar seperti boneka tanpa perasaan!"
Aku masih ingat jelas kata-kata yang dia ucapkan padaku tadi, dan genggamanku pada gagang sapu jadi makin kuat.
Hari ini adalah hari terakhir kami di kelas ini, tapi kami bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal...
Tapi setidaknya, kami sudah bisa bicara lebih banyak dari sebelumnya.
Kalau dibandingkan dengan awalnya, bisa dibilang kami akhirnya bisa berinteraksi secara normal.
Aku senang akan hal itu, tapi... tetap saja semuanya berakhir dengan buruk.
Dan aku tidak menyalahkan dia atas hal itu.
Aku benar-benar tidak bisa apa-apa, aku buruk dalam banyak hal, dan aku juga tidak pandai mengekspresikan diri.
Butuh keberanian untuk menghentikan pertengkaran. Tapi saat aku memikirkan Kaburagi-kun, yang telah banyak mengajariku... entah kenapa, tubuhku bergerak dengan sendirinya.
Memang aku tidak bisa banyak membantu, tapi aku mencoba mencari cara untuk sedikit membantu.
Walaupun mereka belum pernah berbicara denganku... tapi mereka teman... mereka tidak seharusnya bertengkar seperti itu.
Aku menatap langit dan menyipitkan mata.
Langit terasa lebih cerah dari biasanya, dan aku merasakan sesuatu naik dari dalam tubuhku ke wajah.
Tidak... jangan sampai.
Aku tidak boleh bersedih hanya karena hal itu... Aku harus kuat...
Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri.
Kalau aku mudah terpuruk hanya karena hal seperti ini, aku tidak akan pernah menjadi pribadi yang kuat.
Aku tidak akan pernah bisa menyaingi Kaburagi-kun.
Jadi... jangan menangis.
Berusahalah lebih keras... karena aku harus menyampaikan ini padanya.
Tapi mungkin dia tidak akan datang. Dia tidak akan datang sejauh ini hanya untuk menemuiku.
Jadi sekarang... bersabarlah. Aku harus belajar bersabar.
Aku harus jadi lebih dewasa...
"...Kurusu. Hari ini kamu serius banget dan keren."
Tiba-tiba aku mendengar suara itu... dan hatiku, yang tadinya berusaha kutenangkan, langsung kacau lagi.
Setelah jam pelajaran usai, aku meninggalkan kelas lebih awal dari biasanya dan segera bergegas ke kelas Kurusu.
Bahkan dari luar, aku bisa merasakan suasana tegang di kelas itu, meskipun aku berasal dari kelas yang berbeda.
Namun, tampaknya semuanya sudah baik-baik saja.
Anak laki-laki di sisi kiri kelas meminta maaf dengan wajah memerah, dan para siswi berpaling.
Sepertinya pihak-pihak yang terlibat akan menyelesaikannya sendiri.
Tapi Kurusu tidak terlihat di mana pun, jadi aku berjalan mengelilingi sekolah untuk mencarinya.
Dan akhirnya aku menemukannya di belakang sekolah, dekat tempat kami dulu kerja bakti bersama.
(...sabar. Aku harus sabar)
Aku mendengar suara hatinya.
"...Kurusu. Hari ini kamu serius banget dan keren."
Kurusu melihatku datang, menunjukkan sapu bambunya, dan berpikir, "Aku sedang bersih-bersih. Bagus, kan?".
Aku menggigit bibir saat melihat ekspresi di wajahnya. Bukan lagi ekspresi kosong seperti biasanya, tapi ekspresi yang sudah dia latih bersamaku.
"Aku juga mau bantu bersih-bersih. Boleh ikut?"
【Aku bisa sendiri. Nggak apa-apa】(Tidak... Kalau aku tunjukkan ini ke Kaburagi-kun sekarang, aku cuma akan merepotkan...)
"..."
(Aku ingin menangis, rasanya berat sekali dan aku nggak bisa mengendalikan emosiku)
Aku terus mendengar suara hatinya yang berusaha mati-matian untuk tidak menangis.
Dia memang seorang pekerja keras. Dia berusaha dengan segenap hati.
Dia bodoh, polos banget, dan selalu serius.
Tapi semua itu karena dia punya tekad yang kuat... bukan semata karena hatinya kuat. Nggak ada orang yang nggak terluka hanya karena mereka nggak menunjukkan perasaannya.
Karena aku bisa mendengarnya, aku jadi ingin berbicara dengannya.
"Kamu tahu, Kurusu? Di budaya Jepang ada yang bilang kalau sabar itu kebajikan, tapi sebenarnya itu bohong."
(Bohong...?)
"Kalau kamu merasa sakit, nggak apa-apa menangis atau berteriak."
Setelah mendengar perkataanku, Kurusu menghentikan gerakan tangannya dan menunduk. Aku meletakkan tanganku di kepalanya dan membelainya dengan lembut.
Aku tahu dia sulit mengekspresikan perasaannya... jadi satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah──
"Mungkin sekarang saatnya kamu istirahat."
(...Istirahat?)
"Kamu mungkin belum sadar. Lihat, kamu sudah banyak bekerja, seperti bersih-bersih, dan kamu juga pasti lelah karena belajar terus sebelumnya. Jadi, istirahatlah. Kamu capek, jadi kamu bisa meregangkan tubuh, kamu bisa menangis... ya, semacam itu."
Aku tersenyum sambil menawarkan itu padanya.
Agar dia tidak merasa kalau dia sedang menangis karena kelemahan. Tapi lebih ke arah sedang beristirahat, membiarkan emosi negatif pergi sebagai proses... aku ingin dia bisa memikirkannya seperti itu.
Kurusu tetap diam, tapi kurasa dia akhirnya mengerti maksudku.
Kedua tangannya mengepal.
(Apa nggak apa-apa...?)
"Oh iya, aku ini cukup tinggi, jadi aku bisa melindungimu dari pandangan orang, dan aku juga bisa mengawasi sekitar biar nggak ada yang datang. Jadi, anggap aja aku nggak tahu apa-apa, dan orang lain juga nggak akan tahu."
(...Baiklah, cuma sebentar)
Kurusu terdiam dan membenamkan wajahnya ke dadaku.
Dia tidak menunjukkan ekspresi apa-apa dan aku tidak mendengar dia menangis.
Tapi hatinya penuh dengan emosi dan air mata mengalir dari matanya.
Dia masih belum berbicara. Dia hanya menangis pelan dan air matanya terus mengalir.
Dan akhirnya, aku mendengar isak tangisnya.
"Kamu hebat, Kurusu. Kamu benar-benar baik dan keren. Aku bangga padamu. Tapi di saat yang sama, jangan lupa kalau ada orang yang bisa kamu datangi dan tunjukkan kelemahanmu. Aku nggak masalah kok."
Aku mengelus kepalanya.
Kata-kata itu pasti telah mampu melepaskan semua yang dia pendam selama bertahun-tahun.
(Terima kasih. Kaburagi-kun)
Bahu Kurusu bergetar dan dia terus menangis, jadi aku memeluknya dengan lembut.
Komentar
Posting Komentar