[LN] Shaberanai Kurusu-san - Vol 1 - Bab 4

Bab 4 - Gadis yang Tidak Berbicara dan Perkembangan Klise

Note:

(...) ---> ungkapan yang didengar Kaburagi

【...】---> pembicaraan Kurusu di tablet

_______________________________________

"Halo, kamu datang lebih awal lagi."

Saat aku menyapa Kurusu di ruang kelas, dia langsung menghampiriku.

Dia menatapku, dan sepertinya matanya bersinar karena bersemangat.

Sepertinya kami makin dekat.

Yah, sekarang setelah dia tahu aku tidak punya pacar, dia tidak perlu khawatir lagi, kan?

Aku meletakkan tasku di atas meja sambil memikirkan itu.

(...Hari ini kita akan ngapain ya? Masak? Atau latihan bicara? Aku akan berusaha sebaik mungkin. Aku benar-benar menantikannya...)

"Yah, sepertinya hari ini kita belajar saja. Kalau kamu sudah belajar, mungkin kamu bisa bantu ngajarin siswa lain sebelum ujian."

【Oke】 (Aku ingin mengajar... Aku, sebagai guru... fufufu)

"T-Tidak apa-apa, kan?"

【Aku akan berusaha】 (...belajar bersama Kaburagi-kun. Ini momen yang menyenangkan bagiku juga. Aku akan senang kalau ini bisa terus berlanjut)

Dia terlihat sangat bahagia dari lubuk hatinya... meskipun ekspresinya tidak berubah.

Aku tersenyum dan memalingkan wajah darinya.

──Liburan musim semi telah tiba, dan aku bertemu Kurusu seperti ini setiap hari.

Hubungan kami masih seperti dulu, seperti guru dan murid.

Satu-satunya perbedaannya adalah sekarang dia tidak terlalu memikirkannya, dan waktu yang dia habiskan untuk menulis di tabletnya jauh berkurang.

Kupikir ini juga bukti bahwa dia memutuskan untuk bergantung padaku tanpa ragu.

Aku senang melihat perubahan ini, tapi...

Suara yang menusuk hatiku terasa makin tajam, dan berbagai peristiwa yang menyakitkan terus terjadi dalam beberapa hari terakhir.

【Aku senang bisa bertemu denganmu, tapi apakah itu tidak apa-apa bagimu?】

(Aku senang bisa bertemu dengannya setiap hari di sekolah. Tapi, apakah itu tidak merepotkannya?)

"Senang, ya... Kok kamu bisa bilang kayak gitu terang-terangan?"

【Fakta】 (Aku memutuskan untuk menyampaikan perasaanku tanpa ragu. Aku akan hati-hati bersikap terus terang, karena akan lebih berbahaya kalau aku menyampaikannya secara tidak langsung)

"Aku senang kamu bisa mempraktikkan apa yang sudah kamu pelajari, tapi..."

Bahkan sekarang, dia selalu duduk di sampingku seperti ini, kadang-kadang begitu dekat sampai bahu kami bersentuhan.

Dia selalu mendekat tiba-tiba dan itu membuatku sedikit gugup...

Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah mungkin dia jatuh cinta padaku?

Kadang-kadang aku memikirkan kemungkinan itu...

(...Belajar. Aku ingin lebih pintar dari Kaburagi-kun. Jadi aku harus lebih dekat dan jangan sampai ketinggalan!)

Yah, aku tidak akan salah paham, karena itulah yang dia rasakan dalam hatinya.

Sebaliknya, hal itu membuatku merasa tidak nyaman.

Jarak di antara kami bisa menjadi masalah kalau aku tidak hati-hati, dan ada begitu banyak celah yang membuatku khawatir.

Aku melirik Kurusu dari samping dan melihat dia sedang bersiap membuka buku pelajarannya.

"Aku perhatikan Kurusu sepertinya suka belajar, ya? Kamu suka?"

【Sekarang suka】

"Ah. Apa kamu suka karena sekarang kamu bisa memahami sesuatu. Misalnya, waktu kita bisa memecahkan teka-teki, rasanya menyenangkan. Mungkin karena merasa lebih pintar?"

【Bukan itu】

"Bukan, ya?"

【Aku senang belajar bersamamu】

(Aku benar-benar ingin menunjukkan padamu bahwa aku bisa menerapkan apa yang sudah kamu ajarkan. Aku ingin Kaburagi-kun memujiku lebih banyak lagi, jadi aku akan selalu berusaha... Tapi aku tidak akan bisa mengatakannya padamu)

"A-Aku mengerti. Kamu punya semangat tinggi..., ya."

Aku mencoba tersenyum sebaik mungkin, tapi perasaan jujurnya begitu terasa hingga aku menggigit bibirku untuk kembali sadar.

...Perasaannya jauh lebih tulus dari yang kubayangkan.

Aku merasa malu pada diriku sendiri karena sempat berpikir yang tidak-tidak...

Maksudku, dia hanya ingin dipuji... ketulusannya terlalu manis.

【Tidak harus setiap hari】

(Aku benar-benar senang bisa berbicara denganmu, tapi... bukankah kamu juga ingin bermain dengan teman-temanmu yang lain?)

"Ya, tidak masalah sama sekali. Rumahku tidak jauh dari sekolah, dan bahkan kalau aku tidak ada urusan dengan Kurusu, aku tetap akan datang ke sekolah."

【Benarkah?】

(Hal-hal yang dilakukan di sekolah. Apa urusanmu?)

"Soalnya aku tidak bisa konsentrasi belajar di rumah. Aku hanya ingin mencoba mendapatkan nilai bagus supaya kesempatan di masa depan terbuka lebih lebar. Jadi, berkonsultasi dengan guru di sekolah akan membantuku."

【Begitu ya】

(Bagus kalau kamu terus berusaha. Aku akan belajar darimu... ya. Semangat~)

"...Ya, begitu."

Tolong jangan tiba-tiba membuat suara batin seimut itu dan jadi semangat sendiri.

Itu nggak baik buat jantungku setiap kali kamu melakukan itu...

Aku menghela napas dan membuka buku pelajaran yang akan kupakai untuk materi hari ini.

"Baiklah, ayo mulai. Aku akan mengajar sebaik mungkin supaya nanti saat kita jadi siswa tahun kedua, orang-orang akan berkata, 'Kurusu-san, kamu pintar banget!'."

Kurusu mengacungkan jempol dengan ekspresi puas di wajahnya, dan dalam hatinya dia berkata, "Ei-o-ei-o" dengan suara yang sangat lucu untuk menyemangati dirinya sendiri.

Setelah itu, interaksi kami pun berlanjut.

Kami tetap seperti ini sampai siang hari.


"Untungnya, aku selalu membawanya."

Aku mengeluarkan payung lipat dari tasku dan menatap ke langit tempat tetesan hujan mulai turun.

Langit seharusnya gelap di malam hari, tapi cahaya yang memantul dari tirai hujan membuat langit tampak sedikit lebih terang.

Aku hanya bisa menghela napas dan merasa sedih karena harus pulang dalam keadaan seperti ini.

Aku ingin segera pulang setelah hujan reda, tapi suara bel sekolah terakhir terdengar seperti memaksaku untuk segera pergi.

"Kurusu nggak apa-apa kena hujan begini?"

Kekhawatiranku terhadap orang yang tadi bersamaku tiba-tiba muncul di benakku.

Kurusu dan aku tidak pernah pulang bersama.

Kami selalu pulang sendiri-sendiri setelah latihan.

Biasanya aku membiarkan Kurusu pulang lebih dulu sementara aku mengembalikan kunci ruang kelas.

Kurusu tidak ingin pulang bersamaku karena dia takut orang-orang salah paham.

Aku sendiri tidak terlalu peduli dengan rumor, tapi Kurusu bersikeras untuk tidak membuat masalah untukku, jadi dia selalu pulang setelah mengucapkan terima kasih.

Yah, aku juga tidak akan memaksanya pulang bersamaku, karena dia naik kereta dan rumahnya cukup jauh dari sini.

Jadi, hari ini pun kami berpisah seperti biasa...

"...Aku merasa nggak enak. Semoga ini cuma perasaanku aja."

Aku bergumam pada diri sendiri, lalu meninggalkan sekolah dan berjalan sendirian di malam hari.

Dalam perjalanan pulang, aku melihat banyak siswa yang baru pulang dari kegiatan klub mereka, dan suara mereka yang berisik terdengar berkali-kali.

Bukan hanya suara percakapan mereka, tapi juga suara hati mereka seperti "Aku benci hujan~" yang bergema di telingaku.

...Semua suara itu membuat kepalaku sakit.

Karena merasa terganggu oleh semua suara itu, aku memutuskan untuk mengambil jalan pulang yang lebih sepi.

Itu adalah jalan pedesaan yang gelap dengan hanya beberapa lampu jalan. Aku menelusuri jalan itu.

"Aku biasanya nggak lewat sini karena jauh... Tapi suasananya beda dari siang hari, entah kenapa jadi terasa seram sekarang. Hahaha..."

Suaraku tenggelam oleh suara hujan, dan angin dingin mengusap wajahku.

Jalanan gelap dan sepi itu mulai membuatku merasa takut.

Padahal biasanya aku nggak takut...

Tempat seperti ini memang bukan tempat yang cocok untuk dilewati setelah nonton acara horor semalam...

Yah, aku sih nggak percaya hantu, tapi suasananya memang terasa aneh hari ini.

Kupikir aku nggak bakal takut, tapi begitu mulai kepikiran, yang muncul di kepala malah cerita-cerita horor.

Aku menutup mataku, dan saat membukanya lagi...

"Huh. Apa sih yang aku pikirkan? Kalau emang beneran ada, aku pasti percaya bisa melihatnya. Misalnya, sosok berambut panjang yang kena cahaya lampu jalan. Nah, kalau begitu, baru aku percaya... Eh, apa itu?"

"Omong-omong setan, setannya datang." Biasanya, omongan seperti ini malah jadi kenyataan.

Dan benar saja, aku melihat sosok di bawah pohon willow besar di arah aku berjalan.

Sosok itu tampak samar, tapi rambut panjangnya terkena cahaya lampu, dan terlihat menakutkan seperti yang tadi kubayangkan...

(...Hujannya belum juga reda. Kalau aku naik kereta dalam keadaan basah kuyup, aku bakal kesulitan... Gimana ini ya?)

Rasa takutku langsung hilang begitu mendengar suara yang familiar itu.

Kenapa... kamu ada di sini?

Kamu nggak bawa payung?

Aku buru-buru menghampiri Kurusu dan meneduhkannya di bawah payungku.

Kurusu membelalakkan matanya kaget dan menatapku.

Dia nggak berkata sepatah kata pun, mungkin karena hujan membuatnya kesulitan mengeluarkan tabletnya.

"Nggak aman lho di sini pas hujan gini."

(Nggak apa-apa. Orang-orang cuma lewat aja. Mereka bilang, "Hantu! Hantu!" lalu kabur, jadi...)

Kurusu menggeleng, tapi dia terlihat lelah dan lesu.

"Itu jelas nggak baik. Maksudku, kamu seharusnya bilang kalau lupa bawa payung. Hujannya deras banget dan kelihatannya nggak bakal berhenti dalam waktu dekat."

(...Soalnya aku nggak sabar pengin ketemu kamu, jadi aku lupa bawa payung. Tapi begitu sampai stasiun, aku bisa nunggu sampai bajuku kering.)

"...Ugh, ya sudah deh. Aku antar kamu ke stasiun."

Itu saja yang bisa kukatakan setelah mendengar suara hatinya.

Dia sepertinya nggak keberatan meskipun aku mengatakannya dengan nada agak dingin untuk menyembunyikan rasa maluku. Dia malah berpikir, "Kamu baik banget."

Saat aku menatap Kurusu dengan cemas, mata kami bertemu dan dia menundukkan kepala seolah merasa bersalah.

"Serius deh, kalau kamu kesulitan, telpon aku aja. Untungnya aku lewat sini aja. Lagipula, ini daerah pedesaan, jadi kalau telat sedikit aja, keretanya udah pergi. Jangan nunggu bajumu kering di sana, nanti malah masuk angin."

(...Nggak apa-apa meski aku pulang telat. Nggak ada siapa-siapa juga di rumah. Dan kalau aku masuk angin... tidur aja pasti sembuh)

"...Hmm?"

(Ada yang salah dengan jawabanku?)

Kurusu memiringkan kepalanya saat aku mengernyit.

Tadi dia bilang nggak ada siapa-siapa di rumah?

Apa aku salah dengar?

Aku juga menatap wajahnya dengan ragu.

(...Apa ada sesuatu di wajahku? Aku malu kalau kamu terus menatapku seperti itu... )

Bahkan di saat seperti ini, suara hatinya tetap saja mengguncang perasaanku.

Seperti biasa, ekspresinya tidak berubah, tapi... ada yang terasa aneh.

Yah, bagaimanapun juga, kami tetap harus pergi ke stasiun.

"Di sini dingin, jadi ayo pergi sekarang. Ke stasiun, kan...?"

Tangannya begitu dingin sampai aku refleks menatap wajah Kurusu.

Dia menundukkan pandangan tanpa berkata apa-apa.

Aku bisa tahu tanpa harus mendengar suara hatinya. Saat dia bersikap seperti itu...

Kalau kulihat lebih dekat, wajahnya tampak pucat dan lelah, padahal tadi aku tidak menyadarinya karena suasana yang gelap.

Aku cepat-cepat mengecek waktu di ponselku karena kekhawatiranku mulai terbukti.

"...Jam 21:00, ya? Masih ada kereta yang bisa dinaiki, untungnya."

Tapi mengingat kepribadiannya, aku nggak yakin dia akan naik kereta dalam keadaan basah kuyup begini.

Besar kemungkinan dia akan melakukan hal bodoh seperti nunggu bajunya kering dan akhirnya nginep karena nggak ada kereta lagi.

Aku yakin pikirannya akan langsung ke skenario terburuk, karena dia selalu memikirkan orang lain sebelum dirinya sendiri.

Lagi pula... kalau tadi aku nggak salah dengar soal nggak ada orang di rumahnya, kemungkinan dia akan mengambil keputusan itu makin besar. Aku nggak tega membiarkannya begitu saja.

Aku nggak bisa tinggal diam setelah menyadari semua itu.

Aku masih berharap dugaanku salah. Tapi mungkin akan lebih baik untuk Kurusu kalau aku lebih memperhatikannya.

Aku juga menelepon kakakku dan memberitahunya bahwa aku akan membawa seseorang pulang ke rumah.

"Kurusu. Kamu bisa sakit kalau aku tinggalkan di sini, jadi ikut aku. Aku nggak mau dengar penolakan."

(...Ke stasiun?)

Tanpa menunggu jawaban dari Kurusu, aku terus berjalan sambil menggenggam tangannya.

Dia tampak sangat lelah, sampai-sampai aku bisa merasakan tidak ada tenaga di genggamannya.

Dia hanya memegang tanganku dengan lemah.

Kamu benar-benar bikin aku khawatir terus, sih...

Aku bergumam sendiri sambil berjalan di bawah hujan.

Bahuku yang sebelah kiri, yang tidak tertutup payung, basah kuyup dan rasanya tidak nyaman, tapi aku tetap harus berjalan.

Saat aku mulai berjalan ke arah yang berbeda dari stasiun, Kurusu terlihat sedikit cemas dan berpikir, "Kita mau ke mana? Apa Kaburagi-kun punya rencana lain untukku?"

Tapi sepertinya dia tidak cukup curiga sampai harus panik atau takut.

──Setelah berjalan sekitar 40 menit, akhirnya kami sampai di tempat tujuan.

(...Ini di mana? Rumah Kaburagi-kun? Tapi plangnya bertuliskan 'Mochizuki'...)

Kurusu menatap rumah di depannya dengan ekspresi bingung.

Rumah itu terlihat seperti rumah tradisional yang umum di pedesaan, tapi sebenarnya bangunannya cukup baru karena bagian dalamnya sudah direnovasi.

Namun, bagian luarnya tetap dibiarkan seperti aslinya, dan hujan membuat suasananya terasa makin suram.

Mungkin dia memang tidak terbiasa melihat rumah bergaya lama seperti ini. Kurusu pun memandangi rumah itu dengan seksama.

"Oke, ayo masuk. Aku sudah bilang ke dia."

(Jangan tiba-tiba begitu dong. Aku bisa merepotkanmu. Kalau nggak bisa pulang, aku bisa tunggu di luar karena ini liburan sekolah.)

Kurusu menggelengkan kepala dan menolak untuk masuk ke dalam rumah.

Tapi aku nggak bisa mengabaikannya karena aku tahu apa yang dia pikirkan.

"Nggak masalah. Kalau aku tinggalin kamu begini, kamu pasti bakal duduk di luar. Aku nggak mau kamu sakit... atau mungkin kamu sudah mulai flu sedikit."

(Kamu menyadarinya, ya?)

"Kelihatan dari wajahmu. Aku tahu kamu khawatir masuk ke rumah laki-laki."

Dia menggeleng saat aku mengatakan itu.

Lalu dia menatap ke arah pintu masuk rumah.

(Aku nggak khawatir karena ini rumah Kaburagi-kun. Tapi aku takut... harus menyapa mereka gimana nanti?)

"Nggak mungkin kamu nggak curiga sedikit pun, kan?"

(Aku nggak perlu curiga padamu)

"Eh─... padahal dari tadi kamu terus geleng-geleng kepala."

Aku nggak bisa menahan tawa melihat sikapnya yang benar-benar percaya padaku.

Kepercayaan itu memang sulit... Maksudku, kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku membawa cewek ke rumah.

Begitu aku menyadarinya, aku tiba-tiba merasa malu...

Sambil menahan rasa malu, aku membuka pintu rumah dan mencoba masuk... ──── Aduh!

"Hei, dasar buaya. Kamu ke mana aja, hah... Siap-siap mati, ya? Maksudmu apa nelpon tadi? Sejak kapan kamu jadi anak nakal sih," (Aku bunuh kamu beneran lho... Aku khawatir banget, tahu nggak)

"Uwaa~~... Serem banget~~"

Tiba-tiba sebuah tangan keluar dari dalam rumah, mencengkeram kepalaku, dan berteriak dengan suara keras.

Kakakku punya ekspresi menyeramkan dan suara yang keras, tapi dalam hatinya, dia sebenarnya sangat khawatir padaku.

Kurusu, yang berdiri di belakangku, langsung membeku begitu melihat interaksi keluarga kami saat baru masuk rumah. Matanya yang besar berkedip beberapa kali, lalu dia mengucek matanya seolah nggak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.

Reaksinya agak berlebihan untuk seseorang yang hanya melihat interaksi keluarga biasa.

Yah, wajar saja kalau dia kaget...

Karena orang yang menyambutku tadi adalah... Sayaka-sensei.

(Serius... Kaburagi-kun dan Sensei pacaran? ...dan mereka tinggal bareng. Apa aku masuk ke sarang cinta mereka?)

Yah, sepertinya aku bikin kesalahan besar dan malah bikin dia salah paham.

Kayaknya aku harus meluruskan ini nanti.

Orang yang lagi sakit kepala memang sering mikir aneh-aneh.

Lalu Sensei menepuk bahuku dengan senyum kecut dan berkata,

"Oi, Ritsu. Aku sih oke-oke aja... Tapi kamu yakin ini nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa. Kalau aku biarin dia di luar, dia pasti sakit nanti..."

"Hmm. Sepertinya memang keputusan yang tepat. Kamu memang pria sejati."

"Udah deh... Tolong bantu aku urus dia."

Aku menggaruk kepalaku dan menoleh ke arah Kurusu.

"Kalau begitu, kamu bisa pinjam baju dan handuk sepuasnya."

Kurusu yang tampak terkejut langsung buru-buru mengeluarkan tabletnya dan mulai mengetik.

【Selamat atas pernikahannya】 (Kaburagi-kun bilang dia nggak punya pacar, berarti tunangannya adalah... Mochizuki-sensei... Aku harus mengucapkan selamat)

...Yah, dia sudah salah paham banget.

Aku menghela napas dan membawa Kurusu masuk ke rumahku untuk sementara.


Aku mendengar suara air dari kamar mandi.

Aku mencoba mengalihkan perhatian dari suara itu dengan menonton TV.

(...Hangat banget. Enak sekali.)

Tapi suara hati Kurusu yang barusan aku dengar malah bikin aku makin fokus ke dia, dan setiap kali aku mengingatnya, aku terus mencubit pipiku sendiri. Ini reaksi normal dari seorang cowok sehat yang harus menguji kontrol dirinya... di depan kakak perempuannya sendiri.

...Ternyata lebih mendebarkan dari yang aku kira, saat ada gadis cantik yang sedang mandi di rumahku.

Aku menghela napas sambil merasa kesal.

Sepertinya aku gagal menyembunyikan ekspresiku.

Orang di depanku sekarang sedang menatapku dengan wajah yang benar-benar licik.

"Wah~ Cepat sekali kamu bawa dia ke rumah. Aku kagum~"

"Bukan gitu... Kalau lihat orang kesusahan di tengah hujan gitu, ya wajar kalau kita mau bantu, kan... umumnya."

"Hahaha! Iya, iya, aku ngerti! Kamu pasti punya alasan kuat kenapa nggak ninggalin dia, kan? Yah, setidaknya kamu beruntung punya kakak yang pengertian."

"Huh. Jangan ngeledek kalau memang ngerti..."

Kakakku tertawa dengan suara yang sama sekali nggak anggun sambil memegangi perutnya.

...Jangan ketawa sampai keluar air mata dong.

Aku cuma bisa mengeluh dalam hati.

──Sayaka Mochizuki, perawat di sekolahku, adalah kakak kandungku, meskipun kami punya nama belakang yang berbeda karena orang tua kami bercerai.

Jadi, dia paham dan tahu kondisi aku.

Itu mungkin salah satu alasan kenapa aku memilih sekolah tempat dia bekerja.

Dia sudah sangat baik, mau mengurusku dan mengantarku ke sekolah... tapi sebagai gantinya, aku juga bantuin dia dengan urusan sekolah.

"Sepertinya semuanya berjalan baik sejak hari itu."

"Gitu ya?"

"Ah. Kurusu kelihatan lebih ceria dari sebelumnya. Dan cara komunikasinya juga makin lancar."

"Wah, bagus dong. Itu semua berkat usahanya sendiri."

"Jangan terlalu merendah. Kemampuan komunikasi seperti itu nggak bakal berkembang tanpa bantuan orang lain. Apalagi kalau dia awalnya memang kesulitan, pasti ada batas kalau cuma mengandalkan dirinya sendiri."

"Kamu pasti ngerti maksudku," lanjut Sayaka.

"Tapi dia tetap berusaha keras. Karena, meskipun kamu ngomong sama orang yang nggak mau dengerin, tetap aja nggak bakal masuk pesannya."

"Hmm, gitu ya. Tapi rasanya kamu juga kena imbasnya, deh?"

"Diam deh──"

Aku tahu itu.

Tapi dulu aku sudah menyerah untuk jujur pada diri sendiri.

Satu-satunya masa di mana aku polos dan positif terhadap apa pun yang aku lakukan, tanpa sinis, ya waktu aku masih kecil.

...Bukan aku yang memilih.

Aku nggak bisa berbuat apa-apa waktu itu.

Saat aku mulai mengeluh, Sayaka mengacak-acak rambutku dengan kasar.

Rambutku yang habis aku styling langsung berdiri semua.

"Apaan sih..."

"Nggak, ini buat semangat aja kok."

"Udahan deh... Aku pengen kamu pikirin langkah kita selanjutnya."

"Hah?"

"Kelihatannya aku bakal minta tolong kamu buat nganterin Kurusu pulang, dan pasti ada hal-hal yang cuma bisa dibahas sesama cewek, kan?"

"Umm..."

Sayaka juga miringkan kepalanya sambil melirik ke arahku.

Waktu aku pasang ekspresi masam, sudut mulutnya malah terangkat sedikit, seolah sedang mikir hal yang nggak dia ungkapin langsung.

"Apa ada yang berubah di hatimu? Kamu kelihatan sangat peduli sama dia."

"Yah, wajar dong kalau aku peduli."

"Oke, aku senang kamu masih sehat. Tapi kayaknya bahkan cowok sinis kayak kamu pun nggak bisa tahan kalau yang di depanmu cewek secantik itu."

"Kamu cepat banget bikin kesimpulan. Aku nggak tertarik sama kecantikannya atau semacam itu."

"Ehh... Kamu anak SMA, tapi udah kayak orang tua... Kenapa nggak lepasin aja keinginanmu yang terpendam itu?"

"Sensei, tolong jangan ngomong kayak gitu..."

Waktu aku ngomong begitu, Sayaka menjawab, "Tentu saja!" sambil tersenyum senang.

Dia dari tadi kelihatan senang banget, bisa dilihat dari gerakan tubuhnya yang antusias sambil memeluk bantal.

Aku nggak tahu apa yang bikin dia segembira itu.

Di pikirannya aku cuma bisa dengar, "Anak muda itu menyenangkan," dan "Enaknya masih muda."

Apa hubungannya usia muda dengan semua ini?

Buatku, semuanya biasa aja.

Aku bergerak karena aku peduli. Itu saja.

Aku cuma melakukannya sedikit lebih dari biasanya. Aku cuma nggak bisa tinggal diam sedikit lebih dari biasanya.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi...

"...Mungkin benar juga... ada yang berubah di hatiku..."

"Fufufu..."

"Apa-apaan sih? Ketawanya aneh banget."

"Nggak juga~ Kalau kamu penasaran, coba aja baca pikiranku. Siapa tahu kamu bisa dengar aku ngomong hal-hal manis ke kamu~"

"Ya, ya. Karena Kurusu di sini, aku masak duluan aja."

Aku berdiri dan pergi ke dapur.

Dari kamar mandi terdengar suara, "Ah, handuknya," jadi ini waktu yang pas.

Aku harus pergi dari sini sekarang... soalnya aku nggak mau tanpa sengaja ketemu dia atau apa pun.

"Yup, itu adikku. Jago banget."

"Yah, aku yang urus makanan, jadi nggak beda juga meskipun ada satu orang tambahan."

"Fufufu! Begitu ya~"

"Sebagai gantinya, tolong luruskan kesalahpahaman itu. Dia sering banget salah paham... dan tolong kasih dia handuk sekarang juga."

"Eh? Oke, serahkan padaku..."

"Serius, aku minta tolong banget, lho."

Aku berbalik dan melambaikan tangan.

(Senang deh kalian akur. Aku lega bisa jadi kakakmu.)

Aku mendengar suara itu dari belakang, tapi aku pura-pura nggak dengar dan langsung menuju dapur.


(Aku tahu aku merepotkan... Terima kasih sebelumnya atas bantuanmu.)

Aku melihat teman sekelasku duduk bersimpuh dan menundukkan kepala di depanku.

──Bagaimana bisa jadi begini?

Kurusu, yang seharusnya diurus oleh kakakku, entah kenapa sekarang malah ada di kamarku.

Dan entah kenapa... dia pakai piyama yang imut...

Sepertinya itu piyama milik kakakku... tapi kenapa dia yang pakai sekarang?

Piyama yang dia kenakan berbentuk hiu.

Untungnya, karena ukurannya kebesaran, dia sama sekali nggak terlihat menggoda...

(...Kaburagi-kun. Aku bingung... gimana ini?)

Wajahnya muncul dari mulut si hiu dan dia menatapku.

Aku terkejut melihat dia bertingkah polos seperti itu...

Dan karena aku bisa dengar isi hatinya, aku jadi tersentuh oleh kepolosannya.

"Ada apa ini? Terus, kakakku ke mana?"

(Gimana ya jelasinnya... Mungkin lebih gampang kalau kamu lihat sendiri...)

Kurusu menggenggam tanganku dan membawaku ke ruang tamu.

Dan di sanalah kakakku, dengan wajah acak-acakan yang nggak cocok sama statusnya sebagai guru di sekolah.

"...Astaga, dia tidur kayak bayi."

(Dia tidur nyenyak banget... Aku nggak tega bangunin.)

Aku menyelimuti kakakku yang tidur di sofa.

Yah, dia pasti capek banget sampai ketiduran...

Karena udah nggak bisa berharap bantuannya, aku mematikan lampu ruang tamu.

Lalu aku pergi ke dapur bersama Kurusu untuk mencari sesuatu buat dimakan.

(...Hmm. Wanginya enak banget.)

Kurusu mencium aroma makanan sambil menggerakkan hidungnya, dia terlihat penasaran dan badannya ikut bergerak. Aku tersenyum melihatnya, lalu menutupi mulutku biar nggak ketahuan kalau aku ketawa.

(Aroma enak apa ini?)

"Ah. Karena kamu kayaknya lagi masuk angin, aku buatkan bubur. Kayaknya makanan yang gampang dicerna cocok buat kamu."

【Jadi ini buat aku? Boleh ya?】

"Lah, buat siapa lagi? Iya, tapi aku juga bakal makan kok."

【Aku mau makan bareng kamu】

"Oke. Yuk, makan bareng."

Aku menjawab singkat.

Soalnya... kalau aku terlalu merespons, aku bakal malu sendiri denger suara hatinya yang bahagia itu.

(Makan... makan... Hehehe~)

Suara manisnya bikin pikiranku bergetar.

Buat nutupin rasa maluku, aku pun mulai ngobrol lagi sama Kurusu.

"Oh iya, mungkin agak telat nanyanya, tapi kamu masih lapar nggak sih?"

【Aku bisa makan banyak sekarang】

"Haha, baguslah... Tapi kamu udah keringin rambut belum?"

Rambutnya yang kelihatan dari balik piyama tampak masih basah, jadi aku nanya.

Kurusu awalnya kelihatan ragu mau jawab, tapi kemudian dia menggeleng pelan dan terlihat murung.

Sepertinya dia merasa bersalah padaku.

Ya, pasti begitu. Aku juga bakal merasa bersalah kalau pakai barang orang lain tanpa izin.

Aku menghela napas lalu melepas tudung dari kepalanya.

(Aku merepotkan lagi ya...)

"Kamu nggak merepotkan. Kalau rambutmu nggak dikeringin, pasti malah bikin nggak nyaman..."

(Aku tahu... tapi tetap saja...)

"Udah, jangan murung terus. Aku ambilin handuk lagi, ya. Biar kamu bisa langsung keringin rambut. Hair dryer-nya ada di sana tuh."

Aku tunjukkan di mana pengering rambutnya, lalu kasih handuk ke dia.

Kurusu mengambil handuk itu, lalu menarik sedikit resleting piyamanya buat mengeringkan bagian tubuhnya, dan menyelipkan handuk ke dalam. Gerakannya benar-benar polos, dan saat aku melihat sedikit kulitnya yang terbuka dari balik resleting, aku langsung membuang muka.

"Kurusu, aku mau minta tolong..."

(Eh? Mukanya merah... Ada apa ya?)

"Ah, nggak kok. Maksudku... aku nggak sengaja ngelihat, bukan karena mau."

Wajahku panas, aku yakin tanpa perlu lihat cermin pun wajahku pasti merah banget.

Kupikir aku udah kebal sama yang begini karena sering bareng kakakku, tapi... ternyata rasanya beda jauh kalau itu dari orang lain. Terutama kalau orang itu secantik Kurusu, aku cuma bisa terpana.

(...Ah.)

Begitu suara hatinya terdengar, Kurusu buru-buru menarik resleting piyamanya lagi.

Meski dia punya kepribadian unik, ternyata dia masih punya rasa malu juga.

Pipi wajahnya yang biasanya datar sekarang memerah.

Aku cuma bisa menghela napas melihat kelalaiannya, meskipun aku tahu dari awal dia memang agak aneh.

"Kurusu, kamu harus lebih hati-hati kalau lagi di ruangan sama laki-laki. Meski sekarang situasinya darurat dan kamu nggak punya pilihan lain..."

【Maaf udah memperlihatkan hal yang nggak pantas】

(Ini pelanggaran besar. Aku minta maaf...)

"Bukan... Bukan berarti nggak pantas dilihat juga sih... Kamu harus lebih percaya diri, gitu."

Aku nggak bisa bilang langsung bahwa itu pemandangan yang sangat indah.

Tentu aja, aku juga nggak bisa bilang bahwa kulitnya yang putih dan lembut masih membekas di pikiranku.

Jadi, aku hanya bersikap seolah-olah biasa saja.

"Yah... intinya hati-hati aja lain kali."

【Aku bakal lebih hati-hati】

(Kali ini aku benar-benar harus tunduk padanya...)

"Serius deh, kamu memang harus lebih waspada... Aku jadi khawatir..."

【Khawatir?】

"Ya jelas aku khawatir."

Kalau kamu udah mulai kenal sama seseorang, mulai ngobrol dan tahu bahwa dia punya sifat unik yang kadang bikin resah, secara otomatis kamu bakal terus memperhatikannya—meskipun kamu nggak bermaksud begitu.

Itu reaksi alami.


Kurusu juga menatapku dengan ekspresi tidak nyaman.

【Senang rasanya tahu ada yang mengkhawatirkanku】

"Bukan begitu, tolong jadikan prioritas supaya aku nggak perlu khawatir sejak awal."

【Nggak bisa, soalnya aku ini orang yang bodoh】 (Aku yakin nanti juga bakal bikin kesalahan lagi)

"Jangan menyerah semudah itu, dong!"

Kurusu menatapku dengan pasrah, seakan-akan dia yakin bahwa itu memang hal yang nggak bisa dihindari.

Aku menghela napas panjang, menandakan kalau aku mulai pasrah juga, lalu menyerahkan termometer yang tadi kubawa.

"Untuk jaga-jaga, coba cek suhu tubuhmu. Sementara itu, aku bakal siapin buburnya."

【Oke】 (Kalau ternyata aku demam... bakal aku sembunyiin aja)

"Oh ya, kalau kamu memang demam, jangan disembunyiin, ya. Kamu juga tahu kan, aku cukup peka soal hal-hal yang kamu coba tutup-tutupi."

(...Dia baca pikiranku. Maaf...)

"Dan pas kamu ukur suhu tubuh... jangan sampai ngulang kesalahan yang sama, ya?"

【Nggak bakal】 (Aku malu banget kalo inget kejadian sebelumnya... uuu)

Sepertinya dia mengingat kejadian memalukan sebelumnya, dan langsung memalingkan badan.

Dia mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah, tapi telinganya yang terbuka jelas menunjukkan kalau dia sedang malu.

Lucu banget, sih?

Aku melanjutkan menyiapkan bubur sambil berusaha untuk nggak melirik ke arahnya. Sampai akhirnya terdengar suara elektronik dari termometer.

Lalu aku mengipasi bubur yang ada di mangkuk dengan kipas.

Buburnya masih cukup panas, uapnya mengepul dari mangkuk.

【Nggak usah didinginin dulu juga nggak apa-apa】 (Nggak sopan ke orang yang masakin kalau makannya nggak pas masih hangat...)

"Mn? Kurusu kan bukan punya lidah kucing. Meskipun memang mirip kucing."

【Aku ingin membantah pernyataan itu】 (Dia juga tahu kalau aku punya lidah kucing...)

"Iya, iya."

Sebenarnya bukan karena dia mirip kucing secara tampilan.

Tapi aku ingat banget, dia nggak pernah langsung masukin makanan panas ke mulut. Dia selalu tiup duluan.

Tapi aku nggak mau bikin dia mikir kalau aku terlalu memperhatikannya, jadi aku cuma ngomong asal untuk ngelencengin pikirannya.

"Oke, sekarang udah nggak terlalu panas. Bubur yang aku buat ini bubur telur."

(Kelihatannya enak banget... Aku harus hati-hati biar perutku nggak sakit)

Kurusu menyendok bubur yang ada di depannya dan memperhatikannya.

Lalu dia menatapku, seolah ingin mengatakan sesuatu.

"Mn? Kenapa tatapanmu kayak orang kelaparan gitu? Mulutmu sampai terbuka..."

【Rasanya kayak adegan di novel】 (Dan aku beneran boleh makan di sini?)

"Ya ampun. Apa-apaan sih itu? Udah deh, nggak usah mikir aneh-aneh, langsung makan aja..."

Setelah aku bilang begitu, Kurusu menyatukan tangannya dan menundukkan kepala padaku.

Aku sampai melongo ngelihat dia makan bubur itu dengan bahagia.


Sudah lewat tengah malam ketika kami selesai makan dan beres-beres.

Awalnya, aku ingin menyerahkan Kurusu ke Sayaka, tapi malah dia yang tertidur dengan wajah puas, seolah tugasnya sudah selesai.

…Yah, jadi guru di sekolah itu memang pekerjaan berat, jadi rasanya nggak sopan kalau aku bangunin dia.

Lagipula…

"Dia nggak akan bisa nyetir dalam kondisi kayak gini. Mabuk soalnya..."

Aku menghela napas sambil merapikan meja.

Dia jarang minum alkohol, jadi aneh aja tiba-tiba hari ini minum.

Di meja ada tiga kaleng minuman beralkohol tinggi.

"Syukurlah, besok libur. Dia pasti mabuk berat deh... Yaudah, nanti aku bikinin makanan ringan buat dia."

(...Aku juga pengen bantu. Tapi apa salah kalau aku ikut campur?)

Saat aku mengelap meja sambil menggerutu, Kurusu mengintip dari balik pintu kamar tidur dan menatapku.

Dia kelihatan berusaha ngintip diam-diam, tapi suara hatinya yang aku dengar bilang kalau dia memang sengaja melihatku.

Lalu aku tanya, “Boleh ngobrol sebentar?” dan bahunya langsung tersentak. Dia keluar dengan kikuk, kayak anak kecil yang ketahuan habis ngelakuin kesalahan.

Gerakan tangan dan kakinya pun kayak serempak.

Baiklah, mari kita selesaikan masalah ini.

"Hmm, Kurusu. Maaf, tapi malam ini kamu nginep sini aja ya? Ini gara-gara kakakku yang aneh ini. Kamu bisa tidur di kamarnya Sayaka."

【Beneran nggak apa-apa?】

"Maaf ya, awalnya aku pikir semua bakal beres kalau ada kakakku, tapi malah jadi begini..."

【Aku senang kok kalau suasananya rame kayak gini】 (...Aku senang, soalnya nginep di rumah teman tuh salah satu mimpiku)

"Senang, ya... Tapi Kurusu beneran nggak pengen pulang sekarang?"

【Nggak apa-apa, beneran】 (...Lebih seru bisa ngobrol begini)

"Gitu ya. Oke deh."

Dari jawabannya, kayaknya nggak masalah kalau dia nggak pulang sekarang.

"Yah, kalau nanti ada apa-apa, aku bakal minta maaf ke orang tuanya..." pikirku, sambil mengantar Kurusu ke kamar.

"Ini kamar Sayaka, silakan dipakai sesukamu."

Kurusu membungkuk pelan.

Lalu dia melihat sekeliling dan bertanya,

【Kalian tinggal berdua aja ya?】 (Kayaknya cuma Kaburagi-kun dan Sensei yang tinggal di sini)

"Iya, begitulah. Pas aku mutusin buat sekolah di sini, kakakku kebetulan juga kerja di sini. Jadi orang tua nyerahin aku ke dia."

【Sama kayak aku ya?】

"Ya, bisa dibilang gitu juga."

(Sama, ya... Fufufu)

Sepertinya dia senang waktu tahu nasibnya sama denganku.

Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi—berubah jadi senyum manis.

Kelihatannya dia nggak sadar, dan senyum itu muncul tanpa sengaja...

Bahkan aku sendiri sampai terpana ngelihatnya.

Nggak bisa dipungkiri. Ekspresi itu beda banget dari yang biasa aku lihat saat kami latihan bareng.

Senyumnya begitu alami dan memikat sampai bikin aku tertegun.

…Jujur aja, ini bahaya.

Wajahnya yang biasanya datar dan susah didekati, berubah total.

Dan itu bikin daya tariknya jadi luar biasa, pikirku.

【Kamu nggak apa-apa?】 (Kenapa wajahnya... jadi merah gitu?)

"...Aku nggak apa-apa."

Kurusu menatapku bingung, sementara aku berusaha mempertahankan wibawa.

Aku malu sendiri karena sikapku yang nggak biasa ini.

"Pokoknya, kalau kamu demam, langsung tidur ya. Semangat itu penting, tapi istirahat di waktu yang tepat juga penting."

Aku bilang begitu lalu balik ke kamarku.

Aku pengen buru-buru masuk kamar.

Tapi tiba-tiba Kurusu menarik lenganku.

【Kamu nggak mau tidur?】

"Serius deh, nggak usah khawatirin aku."

【Nggak mau】

"Aku mau belajar."

【Aku juga】

"Nggak, kamu harus tidur. Kamu demam."

【Nggak mau!】

"Jangan kekanak-kanakan begitu dong!"

Dia menggambar emotikon di tabletnya sambil ngambek, pipinya menggembung, dan terus ngotot.

Dia terus nempel padaku walau aku coba melepaskan lengannya dari milikku.

Aduh! Jarak kita jadi terlalu dekat…

Maksudku, jangan nempel gitu dong!

Aku tahu dia keras kepala dan nggak akan berhenti kalau sudah bilang sesuatu—aku tahu itu sejak awal kami sering ngobrol, tapi…

Ini bahaya dari segala sisi… dan yang lebih bahaya lagi, logika dan akalku mulai goyah…

Aku dilema antara menjaga kewarasan dan memenuhi permintaannya…

Akhirnya aku harus kelihatan konyol biar bisa nyelesaikan ini.

【Aku nggak mau tidur】

"Tapi kamu capek, kan?"

【Kalau Kaburagi-kun tidur, aku juga tidur】

"Baiklah. Aku akan tidur. Biar aku masuk kamar."

Aku putuskan untuk tidur dan mematikan lampu.

Aku kasih tahu dia kalau aku mau tidur, tapi dia menatapku penuh curiga.

【Nggak percaya】 (Kaburagi-kun pasti bakal nyelinap. Dia pasti mau bikin aku tidur duluan terus begadang)

"...Nggak mungkin begitu."

【Aku bakal tidur kalau Kaburagi-kun tidur beneran】

"Nggak, kamu duluan yang tidur."

【Aku bilang nggak mau】

Aku masuk ke kamar, dan dia pun mengikutiku. 


(Aku nggak mau pergi)

Itu suara hatinya, dan aku menghela napas karena keras kepalanya.

【Nih, cokelat biar tenang】

"Huh... ini salah siapa aku jadi kayak gini?"

Aku tertawa melihat Kurusu yang tampak bingung.

Lalu aku mengambil cokelat yang dia tawarkan dan langsung memasukkannya ke mulut.

Yah, rasanya manis seperti biasa.

Makan yang manis-manis memang bisa bikin tenang, ya kan?

Setelah larut dalam rasa manis dari cokelat itu, aku memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang selama ini mengganjal di pikiranku.

"Kurusu, aku penasaran deh, kenapa kamu selalu ngasih aku cokelat?"

【Rahasia】

"Rahasia? Kamu mancing aku ya?"

Kurusu menggeleng, dan kelihatannya dia memang nggak mau bilang.

Kalau dia ngelakuinnya pas 14 Februari, itu bisa dibilang hal biasa soal Valentine, tapi Kurusu ngelakuin ini hampir setiap saat.

Jadi rasanya... aku nggak ngerti. Nggak tahu juga alasannya apa.

Aku menatap dia dengan curiga.

Tapi kelihatannya dia benar-benar nggak mau ngasih tahu, dan dia membentuk tanda silang di depan mulutnya dengan jarinya.

"Kamu beneran nggak mau bilang, ya?"

【Sebagai bentuk terima kasih】 (Aku memang nggak mau bilang alasannya)

"Gitu ya. Cuma itu alasannya?"

【Iya】 (...Cokelat enak dimakan saat lagi capek. Kaburagi-kun juga kelihatan susah buat santai, sama kayak aku. Dan kalau aku bilang alasannya, dia pasti bakal ngelak dan nggak mau nerima)

Dia menjawab pertanyaanku dalam hati.

Ah, jadi begitu. Dia khawatir soal aku.

Yah, memang begitulah Kurusu.

Aku senang tahu alasan kenapa dia terus ngasih aku cokelat, tapi di saat yang sama juga malu karena aku selalu kelihatan sok kuat di depannya.

"Aku kelihatan capek ya? Padahal badanku sehat-sehat aja."

Aku bertanya, sambil menutupi perasaanku yang sebenarnya.

Kurusu terkejut dalam hatinya karena merasa pikirannya lagi-lagi terbaca, lalu dia menunjukkan tabletnya.

【Iya, menurutku kamu kelihatan kayak gitu】 (Sama kayak waktu di UKS. Dia kelihatan pura-pura kuat... supaya orang lain nggak khawatir)

"Sama kayak waktu di UKS... Oh iya, kamu juga ngasih cokelat waktu itu. Jadi itu alasannya, ya."

【Boomerang】 (Penting juga buat istirahat dan nggak terlalu maksain diri. Seperti yang Kaburagi-kun bilang tadi)

"Haha... Ternyata aku juga nggak bisa ngomongin orang lain, ya."

Kurusu kelihatan bangga dan membusungkan dadanya waktu aku mengakui itu.

Ekspresi bangganya lucu banget sampai aku nggak bisa menahan tawa.

Setelah sekitar 30 menit ngobrol dengan Kurusu, dia mulai bersandar ke belakang.

"Kamu ngantuk, ya?"

Dia menggeleng, meskipun matanya udah kelihatan ngantuk, dan kelopak matanya mulai menutup.

Lalu tiba-tiba dia duduk tegak dan melebarkan matanya.

Kayaknya dia lagi berusaha keras biar tetap melek.

Dia ngulangin gerakan itu beberapa kali, tapi akhirnya dia mencapai batasnya, dan kepalanya bersandar ke pundakku.

(...Istirahat sebentar)

"Oke, aku pinjamin pundakku sebentar..."

Aku menatap langit-langit.

Saat mencoba memalingkan wajah dari Kurusu, aroma harum menyentuh hidungku.

Kami berdua diam, jadi satu-satunya suara yang terdengar cuma dengungan AC.

Aku bisa merasakan hangat tubuhnya bersandar padaku, dan hanya memikirkannya saja sudah bikin jantungku berdebar.

Malu banget... kenapa aku malah begini?

Pas aku lagi ngerasa malu dan nyesel karena sikapku tadi, aku mendengar napasnya di sebelahku. Tanpa aku sadari, dia sudah tertidur.

"Tuh kan... Kamu pasti capek. Dasar anak keras kepala."

Aku menatap dia dari samping.

Wajahnya yang tertidur kelihatan begitu polos dan tak berdaya sampai-sampai aku nggak bisa berhenti melihatnya.

Melihat dia seperti itu, aku tersenyum tanpa sadar.

"Mungkin kita lebih mirip daripada yang aku kira..."

Gumamanku langsung berubah jadi keheningan.

Dan keheningan itu malah bikin aku makin gugup.

...Tolonglah, lenyaplah semua hawa nafsuku ini.

Aku berusaha untuk tidak memikirkan semua sensasi yang dia berikan.

Dan begitulah sampai akhirnya aku tertidur juga.


Aku merasakan cahaya mengenai wajahku dan perlahan membuka mata.

Ternyata aku masih bersandar di dinding, dan karena terlalu lama dalam posisi itu... seluruh persendianku terasa ngilu.

Aku pun meregangkan tubuh untuk mengurangi pegalnya.

Aku berhasil menahan diri semalaman.

Menghabiskan malam bersama seorang gadis cantik benar-benar jadi ujian berat bagi harga diri seorang lelaki.

Tapi akhirnya aku merasa lega karena bisa melewatinya dengan selamat.

Sayangnya, rasa lega itu hanya sebentar.

Bukannya merasa ada beban di pundakku, yang aku rasakan justru hangat dan berat di atas kedua kakiku.

    "Ya ampun, seriusan..."

Aku perlahan menarik selimut dan mengintip apa yang ada di bawahnya.

    "────?!"

Aku terpaku.

Tidak heran. Yang kulihat adalah Kurusu yang sedang tertidur, memakai pahaku sebagai bantal.

Piyamanya agak terbuka, sampai-sampai memperlihatkan perutnya.

Dan bukan cuma itu... yah, pemandangan seperti ini jelas terlalu "berbahaya" untuk ditanggung seorang cowok SMA.

Sulit banget untuk tidak bereaksi.

...Gimana bisa ini terjadi?

Aku menarik ujung piyamanya pelan-pelan dan membenarkannya supaya tidak terbuka lagi.

Kalau aku membangunkannya sekarang, pasti akan terjadi salah paham.

Untungnya dia tidur sangat nyenyak dan sepertinya tidak akan mudah terbangun.

"Ceroboh banget sih... bener-bener deh..."

Aku menggerutu pelan. Menghela napas dalam-dalam, lalu mencubit pipiku sendiri.

Aku mencoba menenangkan diri dengan cara itu──tapi suara pelan "mmm" darinya langsung menghancurkan usahaku.

"Aku bukan bantal, tahu... Astaga, tidurnya pulas banget sih kamu..."

Dia tidak menunjukkan tanda-tanda waspada meski sedang sendirian dengan seorang pria.
Dia tidur nyenyak dengan ekspresi damai di wajahnya.

Aku merasa senang karena tahu dia begitu mempercayaiku, tapi di sisi lain aku juga khawatir melihat betapa mudahnya dia percaya padaku, padahal kami belum saling kenal lebih dari setahun.

Aku berharap dia bisa belajar untuk sedikit lebih waspada dan berhati-hati.

Saat aku sedang memikirkan hal itu, Kurusu berguling dan menyembunyikan wajahnya di perutku, seolah-olah dia menyadari ada orang di dekatnya.

Apakah ini semacam kebiasaan hewan yang berpindah tempat demi mencari kehangatan?

Atau mungkin──karena dia merasa kesepian?

“Serius deh, aku benar-benar bingung sekarang.”

Berbeda dari wajah datarnya seperti biasa, kali ini dia terlihat sangat nyaman.

Perbedaan ekspresi itu membuatku merasa malu dan sedikit frustrasi…

Perasaan campur aduk ini semakin membuatku kehilangan akal sehat.

Aku mencubit pipiku berulang kali, tapi tidak ada pengaruhnya.

Tapi aku tidak mau berhenti hanya karena sepertinya tidak berhasil.

Karena setiap kali aku berhenti mencubit pipi, perhatianku secara otomatis tertuju pada Kurusu lagi, dan aku jadi sangat peka terhadap gerakan atau sentuhan sekecil apa pun darinya.

Saat dia memakai seragam sekolah, aku tidak terlalu menyadarinya, tapi sekarang aku bisa merasakan berat tubuh bagian atasnya yang ternyata lebih ringan dari kelihatannya, dan juga kelembutan khas perempuan yang semakin terasa karena posisinya sedang membalut kakiku.

Kalau aku coba bergerak untuk lepas, aku tidak bisa, karena genggamannya terlalu kuat.

Aku memang bisa saja memaksakan diri, tapi karena tahu dia kelelahan, aku enggan melakukannya.

──Jadi tolonglah, cepat bangun.

Aku terus berharap, tapi tidak ada tanda-tanda dia akan bangun dalam waktu dekat.

Setiap kali aku mencoba menghitung bilangan prima dalam kepala, membaca doa Buddha, dan mencari cara lain untuk mengalihkan perhatian, pikiranku tetap kembali padanya.

Kalau begini terus, apa aku lebih baik ikut tidur juga?

Tapi aku segera menghapus pikiran itu, karena kami tidak punya hubungan yang memungkinkan hal seperti itu.

Kurusu mungkin malah akan bilang dengan wajah serius, “Kalau sama Kaburagi-kun nggak apa-apa,” atau sesuatu semacam itu, jadi lebih baik jangan. Bisa jadi dia akan menganggap hal itu bagian dari latihan dan merasa wajib melakukannya kalau perlu.

Kalau mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan itu, aku benar-benar nggak boleh bertindak gegabah.

...Semoga sisi polosnya tetap polos seperti ini.

Aku menatap wajah tidur Kurusu dan tersenyum.

Kulitnya yang halus dan rambutnya yang lembut—melihatnya saja sudah cukup.

Sedikit menyentuhnya mungkin tidak akan apa-apa dalam situasi seperti ini.

Tapi aku tidak ingin mengkhianati kepercayaannya, walaupun akal sehatku sedang terombang-ambing.

Mungkin... alasan dia bisa setenang ini adalah karena dia tidak melihatku sebagai seorang pria...

Tapi bagaimanapun, aku tidak boleh bertindak hanya karena ragu-ragu.

“Pokoknya, aku nggak akan menyentuh dia sampai dia bangun…”

Aku menyilangkan tangan di belakang kepala dan menguap keras.

Tolong jangan biarkan akal sehatku runtuh.

Tapi untuk sekarang──

“Begitu dia bangun... aku harus bicara sedikit dengannya.”

──Tak lama kemudian.

Kehangatannya membuatku nyaris tertidur kembali.

“…Ngantuk banget. Haaam…”

Aku mencubit pipi, mencoba tetap sadar. Tapi aku tetap kesulitan, kelopak mataku terasa berat.

“Mn…”

Tiba-tiba, aku mendengar suara dari dekat… dan langsung tersadar.

“Mn─… tanganku masih sakit…”

Aku meluruskan tanganku yang mati rasa.

Sepertinya karena terlalu lama menyilangkan tangan.

Sirkulasi darah mulai kembali, dan muncul rasa gatal yang sedikit mengganggu.

Dan aku kaget saat menggenggamnya.

Saat aku masih bingung dengan semua ini,

(...Di mana ini… Eh?)

Aku mendengar suara Kurusu, terdengar seperti orang yang baru bangun dalam keadaan linglung.

"Selamat pagi. Apa kabar? Kamu merasa lebih baik?"

Kurusu mengusap matanya, meletakkan tangan di kening, dan tampak bingung.

Lalu, dia mengangguk pelan dengan ekspresi ragu di wajahnya.

(Sepertinya sudah lebih baik... mungkin? Tapi aku masih ngantuk. Setidaknya tubuhku nggak lemas lagi.)

"...Oh, begitu. Syukurlah."

Kelihatannya dia sudah baikan...

Melihat kondisinya membaik, aku menghela napas lega.

Tapi begitu satu masalah selesai, muncul masalah lain.

"...Kurusu. Pelan-pelan ya..."

(...Pelan-pelan?)

Kurusu memiringkan kepala dengan ekspresi ngantuk di wajahnya.

Kurusu tampaknya belum terlalu sadar dengan situasi ini karena baru saja bangun, tapi karena aku sudah bangun cukup lama, aku ingin segera mengurus keadaan ini.

Aku ini juga masih anak SMA.

Meskipun aku cukup santai dalam bergaul dengan para cewek di sekitarku, aku tetap belum terbiasa dengan kontak fisik semacam ini.

Kepalaku terasa panas, dan aku nggak tahan lagi berada dalam situasi seperti ini.

"Kamu itu lagi di depan cowok, jadi tolong rapikan bajumu sedikit. Aku senang kamu percaya padaku, tapi setiap kali kamu bergerak... rasanya bahaya... soalnya semuanya... ada tepat di depan mataku."

(Wajahnya jadi merah... Kaburagi-kun, kamu malu ya? Kalau dipikir-pikir, waktu aku tidur tadi...)

Kurusu akhirnya sadar akan situasi genting ini dan langsung masuk ke dalam selimut.

Seketika itu juga, wajahnya jadi memerah.

Dari dalam selimut,

(Aku sudah melakukan itu... Ini pelanggaran serius. Kalau aku nggak bertanggung jawab, aku nggak akan bisa lihat wajah Kaburagi-kun lagi. Aku nggak ngelakuin apa-apa ke Kaburagi, kan? Aku harus gimana? Aku nggak berani nanya langsung... Gimana kalau aku ngiler atau semacamnya?)

Aku bisa mendengar suaranya yang penuh penyesalan.

...Biasanya, cowoklah yang harusnya mikir, “Aku ngelakuin sesuatu atau nggak, ya?”

Maksudku, kamu nggak perlu khawatir soal itu.

Dari awal, kamu seharusnya lebih khawatir tentang kenyataan bahwa kamu tidur di sebelah seorang cowok.

Tapi ya, setidaknya ini bikin aku sedikit lebih tenang.

Selimut tempat Kurusu bersembunyi bergerak-gerak.

Sepertinya dia sedang menggeliat di dalamnya.

Meski kepalanya tertutup selimut, kakinya masih terlihat, dan dia menggerak-gerakkan kakinya.

Aku cuma bisa tertawa kecil dan menghela napas.

"Udah nggak apa-apa, keluar aja. Kurusu cuma tidur dengan tenang, dan kita cuma bersandar satu sama lain, jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan."

Aku mencoba menenangkannya sambil menyisipkan bahwa aku juga nggak melakukan hal yang aneh.

Tapi meskipun aku terus memanggilnya, dia tetap nggak mau keluar.

Akhirnya, aku terpaksa membiarkannya, meringkuk dan gemetar seperti hewan kecil.

Aku nggak mau maksa menariknya keluar, dan bajunya malah makin berantakan…

Sepertinya aku cuma bisa menunggu.

Pada akhirnya, rasa malunya mulai reda saat kakak perempuanku, yang sudah sadar dari mabuknya, datang ke kamarku untuk menjenguknya.


"Maaf, Ritsu... Aku benar-benar mabuk... ugh."

Aku pergi membeli obat untuk kakakku, yang kelihatannya sudah sadar di depanku.

Lalu aku ingin cepat-cepat pulang karena memang nggak ada lagi yang perlu kulakukan...

"...Kenapa aku harus nunggu di sini?"

Tapi dalam perjalanan pulang, aku mendapat telepon dari kakakku yang memintaku untuk mengantar Kurusu ke stasiun, jadi aku menunggu di taman dekat rumah.

Awalnya aku ingin balik dulu untuk nganterin obat, tapi kakakku menolak dengan sekuat tenaga.

Dia masih terdengar mabuk dan kurang sehat, tapi suaranya yang ceria secara mencurigakan bikin aku sedikit khawatir...

Dengan perasaan nggak tenang, aku duduk di bangku taman, menatap langit kosong, sambil menunggu Kurusu datang.

Sudah dua puluh menit sejak aku mulai menunggu.

Ponselku bergetar, dan ketika aku melihat layarnya, ada pesan masuk: “Aku sudah sampai.”

Aku menoleh ke sekeliling, tapi Kurusu nggak kelihatan di mana pun.

"Eh? Mana dia? Apa dia salah taman? Tapi taman ini kan dekat banget dari rumahku..."

Tapi bisa jadi itu memang terjadi, karena ini Kurusu.

Itu yang terlintas di pikiranku.

Dia memang seperti itu... atau mungkin lebih tepatnya, dia terlalu unik.

Jadi bisa saja dia sekarang ada di tempat yang sama sekali nggak terpikir olehku.

Itu mungkin saja, dan kalau begitu, gawat juga... aku harus segera mencarinya.

Aku bangkit dari bangku dan berlari ke arah pintu masuk taman.

Lalu, saat aku berbelok di tikungan,

(Ini jelas-jelas... nggak cocok buatku. Tapi aku nggak bisa nolak waktu Sensei minjemin baju ini...)

Aku mendengar suara mengeluh yang familiar, dan saat melihat sekeliling, aku menemukan Kurusu sedang jongkok di bawah pohon besar dekat pintu masuk.

Aku menepuk dadaku, lega karena firasat burukku ternyata salah.

Dan saat aku mencoba mendekat, Kurusu menyadari kehadiranku dan langsung bersembunyi di balik pohon agar aku nggak bisa melihatnya.

Dia mengintip sedikit dari balik pohon. Kelihatannya seperti hewan kecil.

"Kamu ngapain sih?" tanyaku.

Dan dia mengeluarkan tabletnya dan menunjukkannya padaku.

"Umm... 'Jangan diketawain ya, soalnya baju ini nggak cocok sama aku.' Ah, begitu."

(...Baju ini nggak cocok buatku. Aku terlalu kecil untuk pakai beginian.)

Sesuai dengan suara hatinya, dia memang kelihatan nggak percaya diri.

Seragamnya pasti basah, dan kakakku pasti meminjamkan baju.

Pantas saja dia terdengar aneh tapi ceria waktu nelepon tadi.

Dari sudut pandang Sayaka, ini pasti seperti main boneka.

Dan Kurusu pasti nggak bisa menolak. Aku yakin dia cuma pasrah dan nurut saja...

Aku benar-benar merasa kasihan padanya.

Dan kalau dia minjem dari Sayaka, besar kemungkinan bajunya memang nggak sesuai umur.

Kalau begitu ya, mau gimana lagi...

"Kurusu, gimana kalau kamu keluar sekarang? Aku nggak bakal ketawa, dan menurutku kamu pasti cocok pakai baju apa pun."

Aku cuma mencoba menenangkannya supaya nggak terlalu khawatir.

Kurusu kelihatannya memutuskan untuk percaya padaku, dan akhirnya muncul di depanku.

"......"

──Bajunya cocok banget sama dia.

Hee~ Pemandangan yang menyenangkan.

Itu satu-satunya hal yang terlintas di pikiranku, tapi waktu melihatnya, aku malah terpaku seperti waktu berhenti.

Dia cuma pakai kemeja simpel dengan banyak renda dan celana kargo, tapi aura manis di wajahnya bikin dia kelihatan jauh lebih dewasa dan berbahaya buat jantungku.

Penampilannya bagus banget sampai-sampai aku hanya bisa menghela napas pelan.

"...Wow..."

Aku langsung berdeham untuk menutupi suara itu yang tanpa sengaja keluar dari mulutku.

Aku malu sendiri karena sampai segitunya, jadi aku melihat ke langit walaupun nggak ada apa-apa di sana.

(...Aku tahu baju ini pasti nggak cocok. Aku bisa mati malu kalau dia terus diam aja...)

Aku mendengar suara hatinya dan mencubit pinggangku sendiri supaya sadar.

"Maaf... Aku cuma kaget banget sampai nggak tahu harus ngomong apa."

【Dari tadi kamu nggak mau lihat aku. Pasti emang nggak cocok.】 (Aku tahu, tapi... rasanya sedih juga.)

"Bukan gitu, justru sebaliknya..."

【Maksudnya apa?】

──Aku mengalihkan pandangan karena dia terlalu cantik. Itu sebabnya.

Aku sebenarnya bisa saja langsung ngasih banyak pujian, tapi jujur itu sulit banget.

Waktu aku serius, kata-katanya nggak mau keluar dari mulut. Aku bakal malu kalau orang tahu aku bisa segugup itu, jadi biasanya aku cuma ngomong dengan nada bercanda.

Tapi sekarang aku merasa cara itu nggak baik.

...Dia orang yang serius, jadi bercandaan yang salah malah bisa bikin dia sakit hati.

Aku paham perasaannya,

"Sejujurnya, baju itu cocok banget sama kamu sampai aku kehabisan kata-kata."

Jadi aku ngomong saja apa adanya, tanpa menutupi apa pun.

Seketika, pipi Kurusu memerah dan seolah-olah ada uap keluar dari kepalanya.

Setelah beberapa detik diam, dia kembali sembunyi di balik pohon.

Dan aku nggak bisa melihatnya lagi, tapi kemudian dia menunjukkan tablet bertuliskan 【Makasih. Emang dasar playboy】.

(...Jadi baju ini cocok ya. Syukurlah. Hehehe... Tapi aku jadi malu banget kalau ekspresiku kelihatan begini. Aku harus sembunyi biar dia nggak lihat wajahku yang seneng banget...)

───Ya, tapi suaramu tetap kedengeran kok.

Suara hatinya yang lucu itu...

Mungkin kayak pepatah lama: "Bisa sembunyiin kepala, tapi nggak bisa sembunyiin suara."

Aku cuma bisa tertawa kecil mendengarnya.


(...Nggak ada siapa-siapa di sini. Mungkin Kaburagi-kun tahu aku nggak suka keramaian, jadi dia pilih jalan ini? Kaburagi-kun baik banget. Dia bisa melakukan apa aja...)

Kurusu berpikir seperti itu sambil menoleh ke sekeliling dalam perjalanan menuju stasiun.

Sebenarnya, aku memilih jalan ini karena memang sepi dan nggak berisik.

Tapi Kurusu malah mengira aku melakukannya demi dirinya.

Aku jadi merasa sedikit bersalah karena dipuji atas sesuatu yang sebenarnya nggak aku niatkan.

Lalu aku menoleh ke samping untuk melihat wajah Kurusu.

Hmm. Kelihatannya dia sudah baik-baik saja, kan?

Memang butuh waktu baginya buat pulih dari rasa malu tadi, tapi akhirnya dia bisa kembali dengan ekspresi biasanya.

(...Aku belum pernah dapat pujian langsung seperti itu... Wajahku masih terasa panas. Nanti ekspresiku jadi aneh waktu lihat Kaburagi-kun...)

Meski Kurusu berpikir begitu dalam hatinya, dia tetap memasang wajah datar seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tapi dalam hati, dia masih merasa malu dan tidak berani menatapku.

Biasanya, orang yang melihat wajahnya sekarang pasti bakal mengira dia membencinya, tapi aku tahu itu tidak benar.

Justru aku merasa lucu melihat dia berusaha keras menyembunyikan perasaannya, dan hatiku kena serangan lagi, kali ini dari arah yang berbeda.

Perbedaan antara wajah datarnya dan isi hatinya terlalu besar.

Apa ini... efek sinergi macam apa ini...

Karena situasinya seperti ini, akhirnya percakapan kami pun jadi agak canggung.

"Kurusu, kita muter sedikit ya. Aku nggak suka tempat yang ramai."

【Oke】 (Aku suka jalan ini karena terasa seperti jalan di tengah hutan)

"Bagus."

Percakapan ini tetap terasa lancar meskipun dia tidak mengeluarkan suara.

Tentu saja, sebagian karena kemampuanku juga, tapi itu juga pertanda bahwa Kurusu mulai terbiasa.

Orang yang melihat kami dalam situasi ini pasti akan mengira kami pasangan kekasih.

Seperti sepasang kekasih yang berjalan-jalan di jalanan desa dan tampak akrab.

Untungnya, hari ini bukan hari sekolah, dan nggak ada siswa yang lewat untuk kegiatan klub, jadi kami nggak akan terlihat siapa pun.

Nggak ada alasan bagi siapa pun untuk lewat sini, karena arah ini berlawanan dengan sekolah dan tidak ada fasilitas umum apa pun di sekitar sini.

Kalau pun ada yang lewat, mungkin karena mereka memang suka jalan ini, atau seperti aku, tidak suka keramaian dan lebih memilih tempat yang tenang.

Yah, mungkin ada juga pasangan yang lagi pacaran... tapi dalam kasus itu, mereka mungkin akan pura-pura tidak melihat kami.

Saling tidak mengganggu, saling tidak peduli. Kami berusaha menghormati waktu masing-masing.

Jadi kalau ketemu mereka, seharusnya aman──

"Hei, Ritsu? Lagi ngapain?"

Suara yang familiar itu membuatku terkejut.

Rasanya seperti disambar petir tiba-tiba.

Pertemuan tak terduga ini... Kurusu tidak mengerti apa yang sedang terjadi, jadi dia melihat ke arahku dengan ekspresi bingung, seolah baru saja dikerjai oleh rubah.

Kirisaki melepaskan headphone dari telinganya saat mendekat.

"Kirisaki, kenapa kamu ada di sini..."

"Hah... 'kenapa aku di sini', ya karena aku baru pulang dari sekolah. Aku nggak bisa fokus belajar di rumah, jadi aku cari suasana baru."

"Oh, pantesan kamu masih pakai seragam."

"Iya, itu maksudku."

Kirisaki menatap Kurusu yang bersembunyi di belakangku.

Dia tersenyum menyebalkan sambil melirikku.

"Aku pikir aneh juga kamu nggak di sekolah. Hmm. Jadi begitu rupanya."

"Jangan lihat aku dengan tatapan 'aku-tahu-semua'. Kamu salah paham."

"Tapi sepertinya aku nggak salah, ya? Dan aku merasa kenal dia, jadi biar kuucapkan selamat datang."

(...Dia kelihatan keren. Sepertinya dia teman Kaburagi-kun. Hehe, mereka kelihatan cocok...)

Kurusu, tolong lebih perhatian sama situasi.

Boleh saja kamu berpikir santai, tapi tatapan Kirisaki agak menakutkan, lho?

Ekspresinya memang biasa saja, tapi dia udah mencubit pinggangku dari tadi, dan main-main dengan ponselnya seperti sedang bad mood.

(Kirisaki): Cuma nanya aja... kamu selingkuh dari pacarmu ya!?

Dan benar saja, aku langsung dapat pesan seperti itu dari Kirisaki di ponselku.

(Ritsu): Demi Tuhan, aku nggak selingkuh. Lagipula, kamu juga tahu sendiri dari kejadian belakangan ini, kan?

Setelah kubalas begitu, akhirnya dia melepaskan cubitannya dari pinggangku.

"Jangan kurang ajar, ya."

Kirisaki mendengus setelah mendengar jawabanku.

Lalu dia menatap Kurusu yang berdiri di belakangku.

Matanya yang menyipit bergerak naik-turun seolah sedang menilai Kurusu, lalu dia mengangguk kecil.

"Ini pertama kalinya kita bertemu langsung. Mungkin kita pernah berpapasan beberapa kali, tapi aku nggak pernah benar-benar memperhatikan kamu, dan... yah... kamu imut banget."

【Terima kasih】 (Syukurlah... dia mau ngobrol sama aku. Namanya siapa ya? Aku sering lihat dia ngobrol sama Kaburagi-kun, tapi aku nggak tahu namanya... Kalau aku nanya sekarang, kesannya nggak sopan... Gimana dong?)

Kurusu mengucapkan terima kasih atas pujian Kirisaki.

Aku ingin melanjutkan pembicaraan mereka dari situ, tapi... sepertinya bakal sulit.

Sepertinya lebih aman kalau aku yang jadi jembatan antara mereka berdua.

"Eh, Kirisaki. Kenapa nggak perkenalkan diri aja? Kamu belum pernah ngobrol sama Kurusu, kan?"

"Oh iya. Hmm... rasanya malu juga harus ngulang nama sendiri... Tapi ya, aku Suzune Kirisaki. Aku dan Ritsu sekelas, untuk sekarang."

Oi, maksudmu apa 'untuk sekarang'?

Aku menahan protes yang hampir keluar dari mulutku.

Karena kalau aku mulai bercanda seperti biasa, Kurusu pasti merasa tersisih.

Jadi, mari kita abaikan dulu kata-kata itu.

Aku menghela napas dan menepuk punggung Kurusu sebagai isyarat agar dia melanjutkan percakapan.

Kurusu paham maksudku dan langsung menulis di tabletnya.

【Kirisaki-san, aku Rurina Kurusu】(...Aku akan memperkenalkan diri dengan cepat dan simpel)

"Panggil aku Suzune aja. Dan juga, aku agak malu kalau dipanggil pakai '-san'."

【Beneran boleh?】

"Panggil aja sesukamu. Aku juga akan panggil kamu Rurina."

(Dia mau manggil aku pakai nama depan... senangnya)

"Hah? Rurina, kenapa kamu jadi kaku begitu...?"

"Tenang aja. Dia cuma terharu karena dipanggil pakai nama depan."

"Serius? Sepertinya Ritsu tahu persis apa yang dia pikirkan. Kamu peka banget ya soal hal begitu."

"Masa sih?"

"Wajah sombongmu itu nyebelin banget, tahu nggak."

Kirisaki menatapku dengan ekspresi kesal.

Wajahnya sih masih biasa aja, tapi dalam hatinya dia berpikir, "Iri banget sama kamu. Meski nggak diucapin, kamu tetap bisa ngerti.”

...Jangan arahkan perasaan itu ke aku. Aku juga nggak biasa digituin, tapi ya gimana, bikin deg-degan juga.

Meski begitu, aku juga berusaha jaga ekspresi tetap netral.

"Oh iya. Mumpung kita ketemu gini, kalau kalian nggak sibuk, gimana kalau kita jalan-jalan bareng? Kalau Rurina mau, sih. Biar kita bisa makin akrab."

【Aku mau ikut. Sekarang. Secepatnya】(Seneng banget diajak, padahal baru kenal hari ini...)

"Hahaha! Aku jadi malu. Kalau gitu, yuk langsung jalan. Oh iya, Ritsu jadi tukang bawa barang ya. Sekalian jadi bodyguard."

"...Ya udahlah, mau gimana lagi?"

Akhirnya aku setuju juga.

Memang sih, kalau mereka berdua aja yang jalan, pasti bakal menarik perhatian orang, dan mungkin bisa jadi masalah nanti, kayak digodain orang nggak dikenal.

Jadi memang lebih baik kalau ada orang ketiga buat jagain mereka.

Sepertinya itu juga yang ada di pikiran Kirisaki, makanya dia nyebut aku 'bodyguard'.

Tapi Kurusu kelihatan nggak ngerti maksudnya.

Dia menatapku dengan tatapan merasa bersalah, seolah berkata, "Aku mau ikut, tapi malah nyusahin Kaburagi-kun..." seperti biasa.

"Kalau udah begini, nggak usah ragu. Aku bakal ikut walau kamu nolak. Semakin ramai semakin seru."

【Maaf nanti kamu harus bawa belanjaan ya】

"Ah, tenang aja. Ritsu itu dulunya traktor di kehidupan sebelumnya, jadi dia kuat banget. Lihat aja, badannya kurus tapi kuat."

"Oi, jangan pegang perutku, geli tahu."

"Ah jangan lebay, perutmu juga nggak kenapa-kenapa."

Bukan itu maksudku. Ini soal mental...

Maksudku, kalau mau nyentuh, ya nyentuh aja biasa.

Cara dia ngebelainya itu lho, terlalu menggoda dan bikin deg-degan.

【Dia kelihatan berotot】(Ternyata Kaburagi-kun punya rahasia di kehidupan sebelumnya...)

"Kurusu, kamu nggak harus percaya, kok."

Tolong dong, dipertanyakan sedikit kek...

Aku cuma bisa menghela napas melihat Kurusu yang tampaknya benar-benar percaya.

Kalau kesalahpahaman ini nggak dijelasin sekarang, pasti bakal jadi masalah nanti.

Waktu aku menoleh ke Kirisaki buat melampiaskan rasa frustrasi, dia malah tersenyum puas.



Perempuanm jika belanja bisa sangat lama.

Itu salah satu fakta di dunia ini.

Mereka bisa keluar masuk toko tanpa beli apa pun.

Kenapa mereka nggak pernah capek ya?

Sementara kita bisa tentukan dulu apa yang mau dibeli, cari, temukan, bayar. Selesai.

...Itu aja kok cukup, menurutku.

Yah, meskipun aku mikir begitu, aku nggak akan bilang, “Aku capek muter-muter, pengen pulang,” atau malah main HP atau game.

Itu bisa bikin ribut, dan kalau itu terjadi sama pasangan, bisa aja jadi penyebab putus.

Jadi, kalau lagi nemenin cewek belanja, ya tinggal temenin, kasih pendapat atau komentar.

Dan juga, aku harus kelihatan tertarik dan kasih kesan kalau aku juga menikmati belanjanya.

Itu aturan emasnya.

Jadi ya, aku ikut mereka keliling.

Cuma ngikutin dan sesekali ikut komentar... tapi,

"Tempat ramai gini bikin capek..."

Pada akhirnya, aku kelelahan dan harus istirahat di atap mal.

Sebenernya bukan aktivitas belanjanya yang bikin capek.

Aku justru khawatir sama Kurusu, makanya pengen terus jagain dia.

Tapi... terlalu lama di tempat yang berisik bikin kepala jadi berat.

Nggak bisa nggak denger, dan setengah waktuku dihabiskan dengan kepala yang berdenyut sakit seakan dipukul palu.

Awalnya masih bisa kutahan, tapi akhirnya harus istirahat juga.

"Ritsu, kamu nggak apa-apa? Kayaknya udah mendingan."

"Aku cuma agak mual. Tapi sekarang jauh lebih baik."

"Serius? Jangan maksain diri ya. Rurina akan beliin minuman."

"Ah... iya."

Aku menutupi mataku dengan tangan dan menatap langit lewat sela-sela jari.

Kurusu benar-benar peka...

Dia yang pertama sadar kalau aku nggak enak badan.

Dia langsung ajak aku keluar tanpa banyak tanya, dan akhirnya kami ada di sini.

"Kirisaki, makasih ya buat hari ini. Kamu udah bantu banyak."

"Hmm? Aku nggak ngelakuin apa-apa. Itu Rurina yang nyadar kamu lagi nggak enak badan."

"Bukan itu maksudku... maksudnya nemenin Kurusu belanja. Aku nggak ngerti gimana cewek milih baju."

"Hah, itu mengejutkan."

"Yah, aku cuma orang biasa."

"Hahaha, apaan sih kamu."

Kirisaki tertawa dan duduk di sebelahku.

Wajahnya tersenyum, tapi kayaknya dia masih khawatir.

Sesekali dia ngelirik aku dengan ragu.

Tapi waktu dia yakin kalau kondisiku udah membaik, dia mulai bicara lagi.

"Aku juga harus nyari baju buat diri sendiri. Cewek itu peka banget soal fashion, jadi penting buat tahu hal-hal kayak gitu."

"Ah, iya. Aku juga denger kalian ketawa-ketawa di ruang ganti, kalian ngobrolin apa sih?"

"Huh? Emangnya kenapa? Kamu kepo ya sama obrolan kita?"

"Nggak juga. Kalian kelihatan seru banget, dan ekspresimu agak aneh, jadi penasaran aja."

"Ah, gitu. Tapi cewek kan emang suka ngobrol, jadi tadi ngobrol banyak hal sampe aku lupa semuanya."

"Heee..."

Aku cuma bisa menghela napas waktu dia ngomong gitu.

Soalnya tadi aku sempet denger namaku disebut bareng kata-kata kayak ‘kelulusan’ dan juga ‘teman’, jadi ya wajar aku penasaran.

Asal aja dia nggak nyebutin soal nginep di rumahku kemarin...

Dari ekspresinya Kirisaki, kayaknya dia nggak keberatan?

Nggak ada tanda-tanda dia risih juga...

Huh. Aku nggak ngerti, aku sama sekali nggak bisa denger suara hatinya.

(Mesin minuman... Aku nyasar)

Saat aku coba amati Kirisaki, aku denger suara itu.

Aku menoleh ke arah suara itu.

Dan aku lihat Kurusu datang sambil bawa minuman.

(Kaburagi-kun... kelihatannya kondisinya udah membaik. Apa ini karena kejadian kemarin...?)

Kurusu menatapku dengan cemas lalu menaruh kompres dingin di dahiku.

Lalu dia mendinginkan leherku pakai minuman dingin itu, dengan sangat hati-hati.

Kirisaki yang lihat caranya langsung terkesan dan bilang, "Waa~".

"Makasih ya, Kurusu. Aku udah nggak apa-apa. Udah istirahat 30 menit."

【Jangan maksain diri】

(Nanti malah makin kurus lagi...)

"Kalian berdua nggak percaya aku ya..."

【Soalnya kamu udah pernah begitu sebelumnya】

"Mungkin sekarang aku udah berubah?"

(Orang nggak berubah semudah itu... soalnya aku juga sama aja)

Kurusu menggeleng pelan, tetap keras kepala.

Kalau begini terus, situasinya cuma akan terulang lagi seperti waktu di UKS sebelumnya.

Tapi aku juga nggak bisa istirahat terus.

Ini kesempatan bagus buat Kurusu kenalan sama orang lain selain aku, dan kalau aku halangi, malah jadi sia-sia.

Tapi sifat Kurusu nggak gampang nyerah.

...Aku jadi bingung sendiri.

"Kalau begitu, Ritsu tunggu di sini dulu, ya? Aku mau beli crepes sama Rurina."

Seolah menyadari kebingunganku, Kirisaki memberi usul.

【Meninggalkan Kaburagi-kun sendirian...】

(Padahal aku pengen ngobrol sama dia... tapi)

"Gak apa-apa. Aku istirahat aja di sini. Ah, kebetulan aku juga lagi lapar."

【Khawatir】

"Makasih. Tapi aku udah baikan kok. Ayo, pergi sana."

Aku tersenyum dan mendorong Kurusu yang masih ragu-ragu untuk pergi.

Sebenernya dia pengen pergi, tapi tetap aja dia lebih mikirin orang lain dulu.

Kurusu tetap nggak bergerak meski udah aku dorong, lalu Kirisaki langsung menggandeng tangannya dan bilang, "Ayo, Rurina," waktu sadar aku nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi.

"Kalau gitu, Ritsu, kami pergi dulu ya. Jangan pulang sebelum kami balik, oke?"

"Tenang aja. Aku tunggu kalian."

"Oke, oke."

Dia menjawab dengan nada santai sambil membawa Kurusu bersamanya.

Dan Kurusu terus menatapku sampai benar-benar menjauh.

Saat-saat seperti ini, keberadaan Kirisaki memang berguna. Dia tahu banget cara membaca situasi.

Waktu aku mikir soal itu, rasanya ada sedikit rasa sepi saat melihat punggung mereka menjauh.

Perasaan lemah dan kesepian itu seperti mengisi bagian dadaku yang tiba-tiba terasa kosong.

"...Aku nggak tahu lagi."

Aku bergumam pelan, menunggu mereka kembali.


Dua jam kemudian.

Kami berjalan menuju stasiun.

Sebenarnya aku harus mengantarnya lebih awal, tapi matahari sudah terbenam sebelum aku sadar.

Aku melihat mereka berdua berinteraksi dari belakang.

Interaksinya masih terlihat canggung, tapi Kirisaki sepertinya tidak keberatan, jadi sepertinya tidak ada masalah.

Begitu dia punya satu orang untuk diajak bicara, jumlah orang yang dia ajak bicara pasti akan bertambah nanti.

Jadi, mungkin inilah yang dimaksud Kurusu dengan "kelulusan" tadi.

Aku senang melihatnya tumbuh dan berubah.

Aku menatapnya dan tersenyum.

"Oke, aku pamit sampai di sini, ya."

Kirisaki melambaikan tangan dan pergi.

Aku tertawa melihat langkah kakinya yang seperti kucing.

【Terima kasih. Ini semua karena Kaburagi-kun】(Untuk pertama kalinya, aku bisa berinteraksi dengan orang lain selain Kaburagi-kun)

"Bukan, ini hasil usaha kamu sendiri, Kurusu. Responmu udah bagus, dan wajahmu juga nggak tegang kayak biasanya."

【Yeay】(Cukup maju. Aku akhirnya dapat 'lisensi'. Aku juga merasa lebih lega, walau cuma sedikit)

"Aku juga pikir begitu. Kamu beneran kerja keras, kan?"

Saat aku bilang begitu, dia menyipitkan mata dengan ekspresi bahagia.

Melihat perubahan ekspresinya, aku sadar dia sudah banyak berubah.

Masih ada bagian-bagian yang sulit untuk berubah, dan kadang dia masih menunjukkan wajah datar yang biasa, tapi secara keseluruhan, aku bisa memahami perubahan emosinya dari ekspresi wajahnya.

【Apa aku sekarang sudah lulus dari master?】(Aku mau coba sendiri sekarang, jadi aku harus lebih semangat. Aku khawatir, tapi...)

"Kalau Kurusu masih butuh bantuan, aku bakal bantu kok. Yah, setahuku, nggak ada garis akhir yang jelas dalam bersosialisasi. Tapi aku juga nggak sadar ternyata ini udah akhir bulan."

Dia mengangguk dan menatap ke langit.

Batas waktu yang aku tetapkan sebelumnya cuma cara untuk meyakinkan Kurusu saat itu.

Jadi, kalau dia masih ingin dibantu, aku akan bantu lagi, dan nggak akan menolak kalau dia meminta.

Tapi Kurusu yang serius sepertinya benar-benar ingin lulus dariku dan berusaha sendiri.

Kalau itu niatnya, aku harus menghormatinya.

Kalau aku malah mengekang dan membatasi pertemanannya, bantuanku jelas jadi sia-sia.

Jadi, mungkin lebih baik aku mendorongnya dan membantu dia menemukan teman-teman baru yang baik.

"Kurusu, yang kamu lakukan hari ini sudah bagus banget. Jadi, tinggal pelan-pelan menambah pengalaman ke depannya."

【Benarkah?】

"Aku nggak bohong. Kalau kamu gagal, aku akan bantu."

Setelah aku bilang begitu, Kurusu mulai menulis di tabletnya.

【Terima kasih, master. Terima kasih banyak sudah mengajar dan membantuku】

Mulut Kurusu sedikit melengkung, menunjukkan ekspresi senang.

Aku mengacungkan jempol saat melihat senyumnya yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Kurusu memeluk tasnya dengan hati-hati.

【Sampai jumpa】

"Iya, sampai jumpa."

Kurusu membungkuk dengan sopan dan pergi.

Meskipun itu hanya salam biasa darinya, entah kenapa aku merasa sangat berat melihatnya pergi. Aku juga menatap ke arahnya sampai tubuhnya menghilang di kerumunan.

Aku jadi berpikir, apakah dia masih akan berbicara denganku kalau nanti dia sudah punya banyak teman baru?

"...Aku juga harus pulang."

Aku bergumam pelan dan berjalan menjauh dari keramaian.

Tampaknya kali ini aku ingin pulang lewat jalan memutar.

"Ritsu?"

Aku mendengar suara itu dan merasakan seseorang menepuk bahuku.

Aku berbalik dengan kaget dan melihat Kirisaki tersenyum padaku, lalu jarinya menyentuh pipiku.

Dia tersenyum padaku, dan aku nggak bisa menahan tawa.

"Eh... Kirisaki? Kukira kamu udah pulang..."

"Ini baru jam enam sore, lho."

"Alasan macam apa itu?"

Waktu aku mengeluh begitu, Kirisaki mengusap pipiku dengan jari telunjuknya, seperti membelainya.

Aku menatapnya dengan kesal, merasa malu diperlakukan begitu di tempat umum.

Dia menarik tangannya, tersenyum, dan duduk di sebelahku. Lalu dia menatap langit dan menghela napas.

"Jadi kenapa, Ritsu? Kamu ditolak, ya?"

"Aku nggak bakal nembak cewek lain kalau udah punya pacar."

"Oh, gitu ya. Tapi kamu kelihatan sedih banget, jadi aku kira itu yang terjadi."

"...Sedih?"

"Iya, sedih, ekspresimu melankolis banget."

"...Aku nggak sadar kalau aku menunjukkan ekspresi kayak gitu."

...Aku paham.

Hubungan ini awalnya tumbuh dari rasa simpati terhadapnya, tapi kurasa aku menikmati hari-hari bersamanya lebih dari yang aku kira.

Hari-hari ketika aku bisa mendengar suara indah itu...

Aku menatap ke langit dan menghela napas.

Kabut putih menyebar di langit malam dan cepat menghilang.

───Yah, cepat atau lambat, seorang murid memang akan meninggalkan gurunya.

Aku mencoba menerimanya dan mengatur ekspresiku.

Kirisaki yang sedang mengamatiku, langsung menarik lenganku dan menyandarkan tubuhku ke arahnya.

"Ritsu selalu ngerti orang lain, tapi kamu sendiri nggak ngerti perasaanmu sendiri."

"Hahaha. Itu bener juga. Aku nggak sadar sampai ditegur orang."

"Ayo, Ritsu."

"Mau ke mana?"

"Karaoke. Aku pengen nyanyi. Pengen teriak sekencang-kencangnya."

"Oke, ide bagus."

"Oke, kalau gitu udah diputusin. Kita nyanyi terus sampai dapet nilai sempurna. Mungkin kamu nggak bakal bisa pulang hari ini, ya?"

"Nggak, nggak~ Aku 'Mr. Perfect', jadi itu gampang."

Aku berkata dengan bangga, dan Kirisaki tersenyum senang sambil berkata, "Kita lihat aja nanti."

"Terima kasih."

"Mn? Maksudmu apa?"

"Yah..."

"Oh iya, tapi... ini nggak dihitung sebagai janji untuk nemenin aku belanja, ya. Ini cuma kebetulan ketemu aja."

"Ugh, serius?"

"Tentu aja. Janji itu janji, kebetulan itu kebetulan. Jangan pura-pura lupa sama janji yang dulu."

"Hahaha. Oke, oke."

Saat aku mengangguk, Kirisaki berkata, "Yosh!" dan tersenyum padaku.

Lalu aku dan Kirisaki berjalan berdampingan di bawah malam.

Kami tidak banyak berbicara setelah itu.

Tapi untuk sekarang, aku merasa bersyukur.


<Prev [Toc] Next>

Komentar